Mubadalah.id – Semangat belajar Nyai Khairiyah Hasyim memang patut kita teladani. Pada masanya, di mana pendidikan perempuan masih dinilai sebagai hal yang tidak penting, namun beliau mampu membuktikan bahwa perempuan bisa berdaya melalui pendidikan.
Nyai Khairiyah Hasyim adalah putri kedua dari tokoh besar NU, K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah yang lahir pada tahun 1906. Meskipun sama-sama turut memajukan dunia pendidikan bagi kaum perempuan, nama Nyai Khairiyah Hasyim tidak sepopuler RA. Kartini, Rohana Kudus, atau Dewi Sartika.
Hal ini dikarenakan pemikiran yang dilahirkan hanya mengkhususkan untuk dunia pesantren dan lembaga pendidikan Islam saja. Namun meskipun begitu, pemikirannya telah menjadi episentrum bagi pendidikan perempuan di dunia pesantren
Walau tidak mendapatkan kesempatan seperti saudara laki-lakinya yang bisa menimba ilmu hingga keluar rumah, tetapi tidak membuatnya kehilangan semangat belajarm. Menurutnya belajar bisa ia lakukan di mana saja. Seperti di balik tirai mendengarkan dengan cermat penjelasan sang ayah kepada santrinya.
Nyai Khairiyah Hasyim Memperoleh Pengajaran dari Ayahnya
Layaknya buah hati KH. Hasyim yang lain, Nyai Siti Khairiyah Hasyim juga memperoleh pelajaran khusus dari ayahnya. Selain belajar ilmu Al-Quran dan kitab kuning, ia juga mempelajari keterampilan dan ilmu pengetahuan umum lainnya.
Sang ayah adalah sosok pembimbing utama Nyai Khaririyah, baik dalam membentuk kepribadiannya maupun latar belakang keilmuannya. Selain itu karakter Nyai Khairiyah yang memang tekun, mandiri dan tidak manja. Dengan begitu, tidak heran jika dasar pengetahuan agamanya sangat baik dan menancap kuat di dalam dirinya.
Nyai Khairiyah menikah dengan salah seorang santri ayahnya yang bernama Maksum Ali yang berasal dari keluarga besar Pesantren Maskumambang Gresik. Maksum Ali dikenal sebagai santri yang alim dan pandai.
Meskipun sudah berstatus isteri, Nyai Khairiyah tetap memiliki semangat belajar. Memiliki suami yang alim dan pandai membuat Nyai Khairiyah semakin giat memperdalam berbagai ilmu. Ia mengaji langsung kepada suaminya sebagai upaya mengembangkan pengetahuan yang selama ini ia peroleh dari ayahnya.
Melansir dari laman Tebuireng.online, bahwa kitab yang suaminya ajarkan antara lain Tafsir Jalalain, Fathul Muin, Tahrir Asymuni, Jauhar Maknun Alfiyah, Jamiul Jawami, Al Hikam, dan lain-lain.
Sejarah Pesantren Seblak Jombang
Tiba waktunya menetas dalam keilmuan, pada tahun 1921 ia mendampingi suaminya mendirikan Pesantren Seblak atas dawuh dari ayahnya. Mereka mendirikan Madrasah Salafiyah Syafiliyah dan TK Ibtidaiyah yang masih tingkatan sifir awal dan tsani (tahun pertama dan kedua atau persiapan memasuki madrasah lima tahun berikutnya).
Seiring berjalannya waktu ia menjalani kehidupan sebagai seorang isteri Kiai Maksum Ali, hingga pada tahun 1933 suaminya tutup usia dan mewariskan kepengurusan pesantren Seblak pada dirinya. Memimpin sebuah pesantren adalah hal yang amat langka dilakukan oleh perempuan pada masa itu.
Setelah lima tahun kepergian suaminya, seorang ulama yang berasal dari Lasem Jawa Tengah bernama KH. Muhaimin mempersuntingnya. Setelah menerima pinangan dan menjadi isteri sahnya, KH. Muhaimin memboyongnya ke Makkah, di mana pada saat itu Kiai Muhaimin menjadi Kepala Madrasah Darul Ulum menggantikan Syekh Yasin Al-Fadany, seorang ulama besar Nusantara yang bermukim di sana.
Nyai Khairiyah Mukim Di Makkah
Karena sangat mencintai dunia pendidikan, di Makkah Nyai Khairiyah juga tidak bisa lepas dari dunia tersebut. Beliau mendedikasikan ilmunya karena sangat prihatin dengan kondisi pendidikan perempuan di sana. Pasalnya belum ada sekolah perempuan saat itu di Makkah. Banyak yang tidak bisa baca tulis bahkan tidak bisa berhitung meskipun secara sederhana.
Rasa prihatin tersebut melahirkan sebuah gagasan untuk sebuah madrasah putri pertama di Makkah. Dan pada tahun 1942, gagasan tersebut akhirnya terwujud.
Madrasah itu diberi nama Madrasatul lil Banat / Madrasah Kuttabul Banat / Madrasah al Banat yang merupakan bagian dari Madrasah Darul Ulum tempat suaminya mengajar. Sebagai perempuan Muslim Indonesia, kita patut bangga karena beliau mampu membuka madrasah perempuan pertama di Tanah Suci.
Perjuangannya di dunia pendidikan tidak selamanya berada di tanah suci. KH. Muhaimin meninggal dunia, pada tahun 1956 ia kembali ke Tanah Air setelah hampir 20 tahun bermukim di Makkah. Kepulangannya ke Indonesia juga bukan karena perkara yang remeh.
Presiden Soekarno mengutusnya untuk membantu mengatasi persoalan pendidikan Islam, dan mengembangkan pesantren di Indonesia. Bagi Soekarno, Indonesia membutuhkan sosok-sosok hebat seperti Nyai Khairiyah untuk membantu perjuangan memajukan pendidikan perempuan di Indonesia.
Bak Srikandi di zamannya, Nyai Khairiyah dianggap bukan perempuan biasa. Kedalaman ilmu dan kepiawaiannya memimpin institusi pendidikan sudah banyak terakui oleh berbagai kalangan. Bahkan beliau mendapat julukan ‘Kiai Putri”.
Aktif Menjadi Anggota Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Kembalinya Nyai Khairiyah ke tempat kelahirannya, menjadikan ia satu-satunya perempuan yang mampu menjadi anggota Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU). Bahtsul Masail merupakan kumpulan para ulama dan kiai sepuh yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu agama. Kecerdasannya terpancar melalui cara beliau berargumen dengan kiai-kiai lain di Bahtsul Masail.
Di lain kesempatan beliau pernah menolak mengajarkan kitab “Uqud Al-Lujain”. Kitab yang membahas tentang hubungan suami istri dan hak kewajiban perempuan, pasalnya menurut Nyai Khairiyah, kitab tersebut berat sebelah karena penulisnya seorang lelaki.
Dia berpendapat seharusnya ada kitab semacam ini yang perempuan tulis. Pada zaman sekarang, hal ini sama persis dengan apa yang digagas oleh Shinta Nuriyah, isteri Gus Dur. Beliau mengkaji ulang kitab tersebut dan langkah ini telah melahirkan wajah baru relasi suami isteri yang bersumber dari telaah ulang atau kajian kembali tentang kitab Uqud al-Lujjayn karya Muhammad Ibn Umar al-Banten al-Jawy oada tahun 1877 M.
Aktifitas belajarnya tidak hanya di dunia pendidikan, Ia juga aktif untuk menulis di berbagai media massa. Salah satu tulisannya adalah yang berjudul ”Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya”. Tulisan itu termuat di majalah Gema Islam pada Agustus 1962.
Pada masa itu, tulisan dari kaum perempuan biasanya membahas dunia domestik, style, dll. Namun, Nyai Khairiyah keluar dari anggapan tersebut. Beliau menulis tentang pentingnya sikap tasamuh atau toleransi dalam menganut ajaran agama Islam.
Salah satu penggalan narasinya adalah “Tidaklah ada jalan lain dalam pembinaan masyarakat Islam di bawah naungan tasamuh antar mazhab, kecuali belajar dan tekun.”
Benih ilmu yang ia tabur merentang dari Jombang hingga Makkah. Seorang perempuan ulama yang kontribusinya begitu besar di dunia pendidikan. Melalui Madrasah yang ia dirikan, telah mengangkat harkat dan martabat perempuan Arab dalam dunia pendidikan secara sistematis, yang sebelumnya masih terbelakang dan terkungkung dalam sangkar istana rumah tangga. []