• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Parenting, Mental Health dan Kekerasan

Orang tua membebankan tuntutan sosial tersebut kepada anak dan terlalu sibuk untuk memenuhi materil hingga lupa memenuhi asupan psikologis anak dengan cinta kasih sayang dan kebersamaan

Anita Maria Supriyanti Anita Maria Supriyanti
11/11/2022
in Keluarga
0
Parenting

Parenting

695
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kita mungkin atau bahkan selalu berpikir bahwa dalam parenting, terlibat dalam permainan anak-anak agaknya terlalu berlebihan bagi orang dewasa. Karena bentuk kasih sayang seharusnya kita tunjukkan dengan memberikan apa yang mereka butuhkan alih-alih memenuhi apa yang mereka mau.

Namun dalam pemahaman yang konservatif ini adalah bahwa kebutuhan atau yang dibutuhkan anak adalah terbatas pada materil. Seperti makanan yang sehat, belanja yang cukup, ruang nyaman dan aman, akses pendidikan dan lain sebagainya. Semua itu adalah materi yang tampak dan dapat kita lihat secara nyata.

Justru tak banyak yang menyadari sebenarnya parenting yang sangat anak-anak butuhkan adalah kehadiran teman yang turut menyertai permainannya. Perhatian yang selalu menanyakan bagaimana perasaannya, pelajaran untuk belajar memahami diri dan lingkungan sekitar. Hingga kebebasan belajar untuk memilih dengan kita beri pilihan atau menentukan pilihan.

Tak sedikit orang tua lupa bagaimana membentuk pola pikir dan karakter anak agar selalu berupaya menghargai diri sendiri, karena terlalu hanyut pada tuntutan sosial. Harus menjadi anak baik versi masyarakat, kultur adat dan budaya, anak yang sukses, pintar, serba bisa, dan sebagainya. Sehingga orang tua tak sempat mengajarkan anak untuk mencintai diri sendirian. Mereka membebankan tuntutan sosial tersebut kepada anak dan terlalu sibuk untuk memenuhi materil hingga lupa memenuhi asupan psikologis anak dengan cinta kasih sayang dan kebersamaan.

Dampak Pola Asuh terhadap Psikologi Anak

Tak jarang juga, banyak dari orang tua yang melakukan kekerasan secara emosional hingga fisik. .Jika tuntutan sosial tak dilaksanakan anak, dengan kata lain anak yang membangkang atau kemungkinan juga tak sanggup memenuhi ekspetasi hingga berdampak tekanan secara mental.

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Tak banyak survei terkait sejauh mana pemahaman orang tua terhadap kesehatan mental dan emosional anak. Meski pada realitanya kampanye mengenai parenting dan masalah mental masif kita laksanakan dalam dunia digital.

Ada fenomena yang menarik terkait pola asuh anak terhadap psikologis dan sosial anak yang bermuara pada kekerasan dan berdampak pada kurangnya kepercayaan diri dan  empati pada lingkungan sekitar. Menarik benang merah pada sejarah perjalanan manusia yang menggunakan hukum rimba sebagai aturan main bertahan hidup.

Sejatinya menjadi dasar kekerasan adalah solusi dalam menghadapi permasalahan. Kekerasan apa pun bentuknya pasti berdampak terhadap psikologis anak yang mempengaruhi pola berperilaku dan bertindak. Baik pada diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Kekerasan adalah pembunuh masa depan.

Orang tua begitu mudah menghakimi anak jika anak melakukan kesalahan. Ini lumrah terjadi bahkan dianggap normal, dan kita telah terbiasa dengan kekerasan yang telah mengakar menjadi budaya. Atau bahkan menganggapnya solusi untuk menjaga keseimbangan nilai sosial. Anak-anak yang terbiasa dengan pola asuh yang keras akan menjadi bingung ketika mereka berada dalam lingkungan yang penuh perhatian dan toleransi (cinta kasih).

Mereka mungkin akan bertanya-tanya pada dirinya “Di sini saya akan dipukul menggunakan apa jika melakukan kesalahan?” Setidaknya itu yang pertama kali akan terbesit di pikiran mereka.

Ketidakhadiran Orang Tua

Ketidakhadiran orang tua dalam keseharian anak dari sejak dini akan menjadi pembatas dalam kedekatan antara anak dan orang tua secara emosional, dan sangat mungkin jika orang tua tidak memahami kebutuhan anak secara psikologis.

Mungkin juga tak mengenal karakter anak secara utuh dan anak juga merasa tak diterima secara utuh sebagai seorang yang merdeka atas pilihannya. Tak jarang anak akan berusaha mencari lingkungan yang dirasa dapat menerima mereka, yang mampu memberi perhatian seperti yang mereka harapkan.

Saat melakukan penjelajahan di internet terkait masalah mental, kita dapat dengan mudah menemukan data demografi persebaran penduduk yang mengalami masalah mental. Tetapi kita lupa mengapa masalah mental bisa jadi seserius saat ini.

Apa karena mudahnya akses teknologi sehingga banyak dari orang yang merasa punya masalah terhadap mentalnya dan berupaya angkat suara? Atau hanya tren maraknya pembahasan masalah mental akibat semakin kompleksnya kehidupan sehingga adanya cocoklogi yang berujung diagnosis pribadi. Apa pun alasannya kesehatan mental tetap penting untuk kita perhatikan.

Kesehatan Mental

Menurut data dari hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018, ada 19 juta lebih pendudukan yang berusia di atas 15 tahun mengalami mental emosional dan 12 juta mengalami depresi. Mengutip data yang dataindonesia.id rilis pada oktober lalu, terkait hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS).

Sebanyak satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Nah dari temuan ini artinya masalah kesehatan mental sudah masuk dalam kategori darurat dan tidak bisa kita sepelekan.

Nah jika sudah demikian, orang tua memiliki peran penting dalam parenting, bagaimana mengamati gejala perilaku dan kepribadian anak untuk mengantisipasi masalah gangguan mental. Bisa kita bayangkan apa jadinya jika orang tua tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Bahkan belum seutuhnya memahami anak.

Semakin buruk lagi oleh kondisi kurangnya pemahaman terkait masalah mental yang sering kita sepelekan. Tak sedikit orang tua yang mengabaikan persoalan yang anak hadapi. Karena menganggap persoalan anak tak lebih penting dan kompleks ketimbang masalah yang dihadapi orang yang lebih dewasa.

Peran Orang Tua menjaga Kesehatan Mental Anak

Bagian terburuknya adalah pola asuh orang tua yang keras akibat turunan dari pola asuh yang sebelumnya. Kemudian juga menurun pada anaknya. Terkesan untuk tidak memikirkan persoalan mental atau lebih sederhananya perasaan. Ini menciptakan ruang dan jarak oleh anak terhadap orang tuanya. Bahkan juga menganggap rumah bukanlah ruang yang aman dan nyaman, atau rumah bukan tempat pulang.

Dengan kata lain, rumah menjadi sumber stres dan depresi. Lalu masih pentingkah mempertanyakan peran orang tua dalam menanggapi persoalan mental, jika yang menjadi persoalannya adalah kurangnya pemahaman terkait kesehatan mental dan pola asuh yang sudah tertanam sejak dini yang diterapkan turun temurun.

Terbiasa dengan pola asuh yang keras menjadikan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang normal, kecuali sudah merenggut nyawa. Setidaknya itulah pola pikir yang  masih tertanam dalam kebanyakan masyarakat, sehingga kurangnya kepedulian terhadap isu kekerasan ataupun KDRT.

Walaupun juga tak sedikit orang yang mengkampanyekan gerakan anti kekerasan. Dalam penyelesaian masalah ini, sebenarnya banyak kelas-kelas, seminar dan webinar yang tersedia untuk mengkampanyekan pentingnya parenting dan masalah kesehatan mental.

Namun seperti yang kita ketahui bersama adalah, harga yang tersedia juga tidak murah. Di mana hal itu hanya menyasar pada orang-orang yang mungkin sudah baik secara finansial dan tertarik mengikuti kelas yang demikian.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki kesadaran dalam hal yang demikian? Setidaknya hal terpenting yang dapat kita lakukan dalam memutus mata rantai pola asuh yang salah dan kekerasan adalah melalui literasi.

Tetapi pada kenyataannya Indonesia sendiri juga mengalami krisis literasi yang kita lihat dari rendahnya budaya dan minat baca penduduknya. Alternatif terbaik yang dapat kita lakukan saat ini adalah peningkatan literasi digital yang berupaya mengkampanyekan mengenai parenting, anti kekerasan dan kesehatan mental. []

Tags: anakKDRTkekerasankeluargaKesehatan Mentalparenting
Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti

Seorang penulis pemula, mula-mula nulis akhirnya cuma draft aja

Terkait Posts

Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID