• Login
  • Register
Selasa, 3 Oktober 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Parenting, Mental Health dan Kekerasan

Orang tua membebankan tuntutan sosial tersebut kepada anak dan terlalu sibuk untuk memenuhi materil hingga lupa memenuhi asupan psikologis anak dengan cinta kasih sayang dan kebersamaan

Anita Maria Supriyanti Anita Maria Supriyanti
11/11/2022
in Keluarga
0
Parenting

Parenting

648
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kita mungkin atau bahkan selalu berpikir bahwa dalam parenting, terlibat dalam permainan anak-anak agaknya terlalu berlebihan bagi orang dewasa. Karena bentuk kasih sayang seharusnya kita tunjukkan dengan memberikan apa yang mereka butuhkan alih-alih memenuhi apa yang mereka mau.

Namun dalam pemahaman yang konservatif ini adalah bahwa kebutuhan atau yang dibutuhkan anak adalah terbatas pada materil. Seperti makanan yang sehat, belanja yang cukup, ruang nyaman dan aman, akses pendidikan dan lain sebagainya. Semua itu adalah materi yang tampak dan dapat kita lihat secara nyata.

Justru tak banyak yang menyadari sebenarnya parenting yang sangat anak-anak butuhkan adalah kehadiran teman yang turut menyertai permainannya. Perhatian yang selalu menanyakan bagaimana perasaannya, pelajaran untuk belajar memahami diri dan lingkungan sekitar. Hingga kebebasan belajar untuk memilih dengan kita beri pilihan atau menentukan pilihan.

Tak sedikit orang tua lupa bagaimana membentuk pola pikir dan karakter anak agar selalu berupaya menghargai diri sendiri, karena terlalu hanyut pada tuntutan sosial. Harus menjadi anak baik versi masyarakat, kultur adat dan budaya, anak yang sukses, pintar, serba bisa, dan sebagainya. Sehingga orang tua tak sempat mengajarkan anak untuk mencintai diri sendirian. Mereka membebankan tuntutan sosial tersebut kepada anak dan terlalu sibuk untuk memenuhi materil hingga lupa memenuhi asupan psikologis anak dengan cinta kasih sayang dan kebersamaan.

Daftar Isi

    • Dampak Pola Asuh terhadap Psikologi Anak
  • Baca Juga:
  • Pernikahan Anak dalam Perspektif Mubadalah
  • Insecurity Laki-laki dan Strategi Ketahanan Mental Keluarga
  • Film Air Mata di Ujung Sajadah: Dilema Ibu Kandung dan Ibu Asuh, Siapa yang Lebih Berhak?
  • Berdakwahlah dengan Tanpa Kekerasan
    • Ketidakhadiran Orang Tua
    • Kesehatan Mental
    • Peran Orang Tua menjaga Kesehatan Mental Anak

Dampak Pola Asuh terhadap Psikologi Anak

Tak jarang juga, banyak dari orang tua yang melakukan kekerasan secara emosional hingga fisik. .Jika tuntutan sosial tak dilaksanakan anak, dengan kata lain anak yang membangkang atau kemungkinan juga tak sanggup memenuhi ekspetasi hingga berdampak tekanan secara mental.

Baca Juga:

Pernikahan Anak dalam Perspektif Mubadalah

Insecurity Laki-laki dan Strategi Ketahanan Mental Keluarga

Film Air Mata di Ujung Sajadah: Dilema Ibu Kandung dan Ibu Asuh, Siapa yang Lebih Berhak?

Berdakwahlah dengan Tanpa Kekerasan

Tak banyak survei terkait sejauh mana pemahaman orang tua terhadap kesehatan mental dan emosional anak. Meski pada realitanya kampanye mengenai parenting dan masalah mental masif kita laksanakan dalam dunia digital.

Ada fenomena yang menarik terkait pola asuh anak terhadap psikologis dan sosial anak yang bermuara pada kekerasan dan berdampak pada kurangnya kepercayaan diri dan  empati pada lingkungan sekitar. Menarik benang merah pada sejarah perjalanan manusia yang menggunakan hukum rimba sebagai aturan main bertahan hidup.

Sejatinya menjadi dasar kekerasan adalah solusi dalam menghadapi permasalahan. Kekerasan apa pun bentuknya pasti berdampak terhadap psikologis anak yang mempengaruhi pola berperilaku dan bertindak. Baik pada diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Kekerasan adalah pembunuh masa depan.

Orang tua begitu mudah menghakimi anak jika anak melakukan kesalahan. Ini lumrah terjadi bahkan dianggap normal, dan kita telah terbiasa dengan kekerasan yang telah mengakar menjadi budaya. Atau bahkan menganggapnya solusi untuk menjaga keseimbangan nilai sosial. Anak-anak yang terbiasa dengan pola asuh yang keras akan menjadi bingung ketika mereka berada dalam lingkungan yang penuh perhatian dan toleransi (cinta kasih).

Mereka mungkin akan bertanya-tanya pada dirinya “Di sini saya akan dipukul menggunakan apa jika melakukan kesalahan?” Setidaknya itu yang pertama kali akan terbesit di pikiran mereka.

Ketidakhadiran Orang Tua

Ketidakhadiran orang tua dalam keseharian anak dari sejak dini akan menjadi pembatas dalam kedekatan antara anak dan orang tua secara emosional, dan sangat mungkin jika orang tua tidak memahami kebutuhan anak secara psikologis.

Mungkin juga tak mengenal karakter anak secara utuh dan anak juga merasa tak diterima secara utuh sebagai seorang yang merdeka atas pilihannya. Tak jarang anak akan berusaha mencari lingkungan yang dirasa dapat menerima mereka, yang mampu memberi perhatian seperti yang mereka harapkan.

Saat melakukan penjelajahan di internet terkait masalah mental, kita dapat dengan mudah menemukan data demografi persebaran penduduk yang mengalami masalah mental. Tetapi kita lupa mengapa masalah mental bisa jadi seserius saat ini.

Apa karena mudahnya akses teknologi sehingga banyak dari orang yang merasa punya masalah terhadap mentalnya dan berupaya angkat suara? Atau hanya tren maraknya pembahasan masalah mental akibat semakin kompleksnya kehidupan sehingga adanya cocoklogi yang berujung diagnosis pribadi. Apa pun alasannya kesehatan mental tetap penting untuk kita perhatikan.

Kesehatan Mental

Menurut data dari hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018, ada 19 juta lebih pendudukan yang berusia di atas 15 tahun mengalami mental emosional dan 12 juta mengalami depresi. Mengutip data yang dataindonesia.id rilis pada oktober lalu, terkait hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS).

Sebanyak satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Nah dari temuan ini artinya masalah kesehatan mental sudah masuk dalam kategori darurat dan tidak bisa kita sepelekan.

Nah jika sudah demikian, orang tua memiliki peran penting dalam parenting, bagaimana mengamati gejala perilaku dan kepribadian anak untuk mengantisipasi masalah gangguan mental. Bisa kita bayangkan apa jadinya jika orang tua tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Bahkan belum seutuhnya memahami anak.

Semakin buruk lagi oleh kondisi kurangnya pemahaman terkait masalah mental yang sering kita sepelekan. Tak sedikit orang tua yang mengabaikan persoalan yang anak hadapi. Karena menganggap persoalan anak tak lebih penting dan kompleks ketimbang masalah yang dihadapi orang yang lebih dewasa.

Peran Orang Tua menjaga Kesehatan Mental Anak

Bagian terburuknya adalah pola asuh orang tua yang keras akibat turunan dari pola asuh yang sebelumnya. Kemudian juga menurun pada anaknya. Terkesan untuk tidak memikirkan persoalan mental atau lebih sederhananya perasaan. Ini menciptakan ruang dan jarak oleh anak terhadap orang tuanya. Bahkan juga menganggap rumah bukanlah ruang yang aman dan nyaman, atau rumah bukan tempat pulang.

Dengan kata lain, rumah menjadi sumber stres dan depresi. Lalu masih pentingkah mempertanyakan peran orang tua dalam menanggapi persoalan mental, jika yang menjadi persoalannya adalah kurangnya pemahaman terkait kesehatan mental dan pola asuh yang sudah tertanam sejak dini yang diterapkan turun temurun.

Terbiasa dengan pola asuh yang keras menjadikan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang normal, kecuali sudah merenggut nyawa. Setidaknya itulah pola pikir yang  masih tertanam dalam kebanyakan masyarakat, sehingga kurangnya kepedulian terhadap isu kekerasan ataupun KDRT.

Walaupun juga tak sedikit orang yang mengkampanyekan gerakan anti kekerasan. Dalam penyelesaian masalah ini, sebenarnya banyak kelas-kelas, seminar dan webinar yang tersedia untuk mengkampanyekan pentingnya parenting dan masalah kesehatan mental.

Namun seperti yang kita ketahui bersama adalah, harga yang tersedia juga tidak murah. Di mana hal itu hanya menyasar pada orang-orang yang mungkin sudah baik secara finansial dan tertarik mengikuti kelas yang demikian.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki kesadaran dalam hal yang demikian? Setidaknya hal terpenting yang dapat kita lakukan dalam memutus mata rantai pola asuh yang salah dan kekerasan adalah melalui literasi.

Tetapi pada kenyataannya Indonesia sendiri juga mengalami krisis literasi yang kita lihat dari rendahnya budaya dan minat baca penduduknya. Alternatif terbaik yang dapat kita lakukan saat ini adalah peningkatan literasi digital yang berupaya mengkampanyekan mengenai parenting, anti kekerasan dan kesehatan mental. []

Tags: anakKDRTkekerasankeluargaKesehatan Mentalparenting
Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti panggil aja An biar ga repot, kadang suka nulis tapi lebih sering malas nulis. punya cita cita jadi penulis yang sok misterius.

Terkait Posts

Ketahanan Mental Keluarga

Insecurity Laki-laki dan Strategi Ketahanan Mental Keluarga

30 September 2023
Masjid Ramah Perempuan

Sudahkan Masjid Ramah Perempuan dan Anak?

27 September 2023
Kerja Perawatan dan Pengasuhan

Apresiasi Peran Laki-laki dalam Kerja Perawatan dan Pengasuhan

25 September 2023
Anak Korban Perceraian

5 Dampak Psikologi bagi Anak Korban Perceraian

23 September 2023
Fenomena Fatherless Country

Fenomena Fatherless Country dalam Kacamata Islam

15 September 2023
Ibu Rumah Tangga

Mengembalikan Posisi Ibu Rumah Tangga yang Termarjinalkan

12 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menolak Perjodohan

    Perempuan Berhak Menolak Perjodohan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Fun Fact tentang Sayyidah Aisyah, Sosok Perempuan Inspiratif dalam Panggung Sejarah Kenabian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Gambar Perempuan Membatik masih Mewarnai Pamflet Hari Batik Nasional?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Istri adalah Hiasan Dunia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Insecurity Laki-laki dan Strategi Ketahanan Mental Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Suami dan Istri adalah Sama-sama Hiasan Dunia
  • Mengenal Mojokerto Melalui Buk Buk Neng
  • Relasi Mubadalah Pastikan Laki-laki Menjadi Saleh dan Perempuan Jadi Shalihah
  • Merayakan Hari Kesaktian Pancasila dengan Refleksi Ulang Implementasi Sila Kedua: Merawat Alam dan Lingkungan
  • Beragam Mitos Stereotip Negatif kepada Pendaki Perempuan

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist