Mubadalah.id – Adanya pembatalan dan pelarangan Jalsah Salanah di Kuningan merupakan isyarat halus dari situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang masih rumpang dan memprihatinkan. Muncul kecaman dari masyarakat sipil atas tindakan berlebihan dari polisi dan sikap Pemda. Bagi mereka hal itu mencederai demokrasi di Tanah Air.
Salah satu jemaat menyatakan pendapat bahwa tindakan aparat memblokade dan menakut-nakuti warga yang ingin hadir itu sewujud perundungan tak berdasar. Ia mempertanyakan apakah begitu sikap negara terhadap warganya yang ingin melaksanakan pertemuan keagamaan. Hal yang sama tidak mungkin terjadi kalau pihak yang menyelenggarakan berasal dari NU atau Muhammadiyah.
Sayangnya, peristiwa itu tidak hanya terjadi sekali. Ini cerminan dari persoalan serius dalam KBB yang perlu kita tinjau secara kritis. Jika menilik data tahun 2023, ada total 329 tindakan pelanggaran KBB. Dari keseluruhan, ada 114 tindakan yang melibatkan aktor negara.
Dua daftar pelanggar teratas ternyata pemerintah daerah dan kepolisian (Setara Institute, 2024). Ini tentu ironis. Mereka yang diberi mandat jabatan untuk mengupayakan rasa aman dan menjamin hak-hak warga sipil malah terbukti menjadi pelaku kekerasan simbolik dan struktural.
Dalam kasus di Kuningan awal Desember lalu, Jemaat Ahmadiyah selaku warga negara yang sah dan ikut membayar pajak seolah kita perlakukan sebagai ancaman. Langgam dalihnya hampir selalu sama: demi keamanan. Pertanyaannya, keamanan siapa? Aman dari apa? Sahihkah menjaga keamanan dengan cara-cara yang justru merenggut keamanan dan kenyamanan warga negara yang lain?
Inklusi Bersyarat
Pola semacam itu juga menamsilkan watak pemerintahan otoriter yang tersembunyi dan diskriminatif. Jenis pemerintahan ini pandai berkelit dan mentopengi dirinya dengan dalih-dalih keamanan, atau narasi patriotik tertentu. Contohnya seperti bela-negara (nasionalisme), persatuan, atau alibi mangkus yang lain.
Mereka juga lihai dalam menerapkan “inklusi bersyarat” (conditional inclusion) dan kewarganegaraan parsial (partial citizenship). Dalam politik inklusi bersyarat, hak-hak sebagai warga negara dari kelompok minoritas tertentu hanya terjamin secara parsial (Takashi Kazama, 2020).
Dengan kata lain, hak kaum minoritas sebagai warga negara dikorting. Bahkan sampai dosis yang parah, mereka dipersonan-non-gratakan secara sistemik. Chiara Formichi (2021) memandang panorama semacam itu sebagai sinyal akan adanya “intoleransi yang terinstitusi” (institutionalized intolerance) di tubuh otoritas negara maupun organisasi keagamaan.
Kita kerap menjumpainya dalam upaya pemerintah yang getol mempromosikan toleransi dan mencitrakan diri inklusif dan pluralis, namun di saat bersamaan mereka juga diam-diam terpeleset ikut bersikap intoleran dan membenci kelompok yang tidak sepaham tanpa kesediaan untuk berdialog.
Trauma dan Kecemasan Tersembunyi
Dalam kasus Ahmadiyah, ironisnya, mereka juga mengalami aneka bentuk kekerasan di banyak tempat. Wujudnya mulai dari penyegelan masjid, pelarangan aktivitas ibadah, penyerangan rumah, hingga nyawa yang terpaksa hengkang dari badan. Pengalaman kekerasan ini tidak sedikit. Banyak yang membekaskan trauma dan luka-luka baru sampai ke generasi muda.
Salah satunya Vera (nama samaran), narasumber saya saat meneliti anak muda lintas iman. Semasih SMA di Depok, Vera tak pernah mengungkapkan identitasnya ke teman sebagai Jemaat Ahmadiyah. Tiba suatu hari ada penyuluhan di sekolahnya dari Kemenag, Dinas Pendidikan, Bakor Pakem, dan MUI. Pada sesi itu, salah satu pemateri mensosialisasikan daftar aliran sesat di kelas. Ahmadiyah termasuk dalam daftar.
Vera mencoba mendebat dan mengaku di hadapan teman-teman bahwa dia Ahmadiyah yang disebut sesat itu. Dengan suara gemetar dan menahan tangis, ia bilang kalau tidak takut dianggap sesat oleh sesama manusia. Ia hanya yakin bahwa Tuhannya-lah yang maha mengerti dan menentukan.
Aspirasi Vera mendapat tepuk tangan dari teman-temannya. Namun peristiwa tidak berhenti di situ. Hari-hari selanjutnya teman sekolah dan guru-guru berubah sikap. Ia merasa terkucil. Cara salatnya diperhatikan, dites mengaji, dll. Dan Vera hanya satu dari sekian daftar panjang kaum minoritas dengan kisah yang boleh jadi lebih pedih. Banyak kelompok minoritas yang memeram keterasingan dan kecemasan terpendam.
Melihat itu, ada hal-hal yang perlu kita tegaskan. Negara dan pemerintah harus menjalankan konstitusi, yakni menjamin hak-hak dasar warga negaranya. Alih-alih memblokade dan melarang secara sewenang-wenang. Para penyuluh dan tenaga pendidik juga perlu kita berikan wawasan yang memadai terkait KBB.
Ini semua agar luka-luka lama itu tidak melanggengkan siklus ketidakadilan akibat perilaku yang diskriminatif terhadap sesama warga negara. Kalau tidak, sila kelima Pancasila hanya akan menjadi mitos. []