• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Pelecehan Bukan Candaan

Pelecehan verbal adalah salah satu contoh komunikasi yang tidak sopan, sekaligus membuat orang yang kita ajak bicara menjadi sangat tidak nyaman

Hesti Anugrah Restu Hesti Anugrah Restu
31/01/2024
in Personal
0
Pelecehan Bukan Candaan

Pelecehan Bukan Candaan

911
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Warna baju Mbak seperti warna sprei di rumah, jadi pengen saya tidurin.”  Itu kalimat yang  Felix Seda sampaikan kepada Mbak Nana (Najwa Shihab) dalam acara Desak Anies di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Jelas itu adalah pelecehan verbal.

Mendengar ucapan itu beredar di media sosial, aku merasa sangat marah. Dan yang membuat aku lebih marah lagi adalah, ketika Felix Seda mengucapkan itu, banyak orang di sekeliling ruangan itu justru ikut tertawa.

Mari kita bayangkan jika itu terjadi kepada saudara, anak perempuan, atau ibumu. Seorang perempuan sedang dipermalukan di khalayak umum dan masih banyak yang bisa tertawa melihatnya?

Ini membuktikan bahwa masih minimnya kesadaran dan pengetahuan tentang pelecehan. Maka layak untuk kita pertimbangkan agar kasus-kasus serupa tidak dianggap bercanda. Meskipun video permintaan maaf pelaku sudah tersebar pula di media sosial, namun itu tidak serta merta menyembuhkan luka korban.

Wajah Mbak Nana tampak merah dan matanya agak basah, itu pasti berat untuknya. Mbak Nana berharap pelaku juga punya sensitivitas gender ke depan untuk menyampaikan lawakan yang lebih baik.

Baca Juga:

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

Mbak Nana mau memaafkan, tapi dengan catatan pelaku tidak mengulangi, mau berubah lebih baik. Benar, apalah arti kata maaf tanpa perubahan yang berarti. Aku langsung terlempar pada sebuah ingatan, ketika kuliah sempat mengikuti salah satu acara Fakultas yang narasumbernya adalah Bu Zulfa Nh.

Tidak Menormalisasi Pelecehan

Saat itu adalah pertama kalinya aku paham mengapa menertawakan hal-hal yang bersifat pelecehan dan merendahkan perempuan tidak boleh kita lakukan, pun tidak boleh kita tertawakan. Ketika itu, Bu Zulfa menyampaikan untuk tidak menormalisasi menggunakan stiker-stiker, atau foto yang berbau seksual, sekalipun di media sosial tertutup seperti WhatsApp.

Bu Zulfa bercerita bahwa ketika itu ada acara yang pada saat slide presentasi terakhirnya justru menyuguhkan candaan dengan menampilkan gambar anggota tubuh perempuan. Semua yang hadir di situ tertawa bahkan salah satu doktor laki-laki yang kami kenal juga ikut tertawa. Hal ini memperlihatkan bahwa seseorang akademisi sekalipun tidak menjamin seseorang memiliki sensitivitas gender yang baik.

Aku sangat ingat bagaimana tegasnya Bu Zulfa menyampaikan hal itu. Sejak saat itu pula, aku lebih berhati-hati, lebih peka, meski proses ini tidak terjadi secara mendadak. Tapi membayangkan bagaimana gambar anggota tubuh perempuan dipertontonkan, meski itu bukan tubuhku, aku pasti akan ikut merasa sangat malu dan marah.

Kadang aku merasa mengapa masyarakat Indonesia masih menganggap wajar candaan-candaan seksis. Bisa jadi karena sejak kecil kita tidak pernah mendapatkan pengetahuan terkait hal itu. Bahkan istilah-istilah tentang alat vital dan anggota tubuh, kerap ditutupi karena dianggap tabu, tapi juga sering menjadikan pelecehan bahan candaan.

Sebut Anggota Tubuh dengan Nama Seharusnya

Dulu ketika masih mondok di pesantren, saat ngaji kitab, aku ingat dengan istilah baru yang diciptakan untuk mengalihkan dan mengganti kosa kata aslinya kita gunakan. Misalnya, menyebut payudara dengan pepaya gantung.

Awalnya aku tidak tahu mengapa kita sebut demikian. Namun rasanya kesal juga jika kita samakan dengan pepaya. Karenanya, tiap ada pepaya terlihat, kadang ada santri laki-laki yang menjadikan itu sebagai bahan candaan.

Selain itu, penamaan anggota tubuh dengan nama yang tidak seharusnya, memang menjadikan itu sebagai bahan olok-olokan, seperti penyebutan penis dengan burung. Sehingga ketika melihat hewan burung, yang terjadi juga adalah candaan yang tidak sopan.

Karenanya, menurutku memang perlu mengajarkan anak sejak kecil untuk mengenali anggota tubuhnya dengan nama yang seharusnya tanpa harus menganggap itu sebagai sesuatu yang tabu atau memalukan.

Sebenarnya tidak apa-apa kok, anak tahu apa saja nama sesungguhnya dari anggota badan yang ia miliki. Hal ini mengantisipasi anak untuk tahu dengan jelas apa yang harus ia lakukan ketika seseorang berani melakukan hal yang tidak wajar pada anggota tubuhnya, sekaligus melaporkan secara jelas.

Memberikan kosakata yang sesuai dengan nama anggota tubuh sekaligus memberikan kesan bahwa ciptaan Allah bukanlah sesuatu yang memalukan. Memangnya apa yang memalukan dari memiliki kemaluan dan anggota-anggota tubuh reproduksi yang memiliki fungsi yang baik?

Victim Blaming

Ketika kita berani mengangkat isu seperti ini, Tak jarang masih ada orang yang menganggap bahwa korban adalah pihak yang sangat mudah tersinggung. Ini adalah victim blaming. Sudahlah menjadi korban, masih kita salahkan pula, dengan dalih, “ah cuma candaan doang, kamunya aja terlalu gampang tersinggung.”

Padahal, bukan korban yang terlalu gampang tersinggung, pelaku pelecehan verbal yang tidak tahu cara menyampaikan candaan yang baik.

Hal ini diperkuat dengan orang-orang sekitar yang ikut tertawa ketika candaan itu diluncurkan. Semakin lengkaplah penderitaan korban, sudahlah dilecehkan di tempat umum, ditertawakan beramai-ramai, pelaku malah seakan dibela. Itulah mengapa pentingnya membekali diri, orang terdekat, keluarga, dengan pengetahuan gender yang cukup.

Kita tidak akan lepas dari aktivitas berinteraksi dengan orang lain, namun apa yang Rasulullah contohkan adalah interaksi yang memberikan ketenangan antara si pembicara dengan yang mendengarkan.

Pelecehan verbal adalah salah satu contoh komunikasi yang tidak sopan, sekaligus membuat orang yang kita ajak bicara menjadi sangat tidak nyaman. Sebagai manusia yang berakal budi, sudah selayaknya kita mau dan mampu belajar untuk mengetahui mana candaan, dan mana yang pelecehan.

Semoga jangan sampai terjadi lagi kejadian serupa, terlebih di forum-forum yang berisi orang-orang cerdas. []

Tags: Candaan Seksisfelix sedaNajwa ShihabPelecehan Bukan Candaanpelecehan seksual
Hesti Anugrah Restu

Hesti Anugrah Restu

Perempuan yang suka belajar, sedang berkhidmah di Afkaruna.id dan Rumah KitaB, bisa dihubungi melalui Facebook: Hesti Anugrah Restu Instagram: @perikecil97_______

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID