Mubadalah.id – Kepemimpinan perempuan masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, terutama di pondok pesantren. Pada umumnya, pondok pesantren sebagai tempat pendidikan dan pendalaman ilmu agama Islam lebih identik dipimpin seorang laki-laki yang disebut kiai oleh para santri dan masyarakat. Sedangkan perempuan (nyai) anggapannya hanya pelengkap keberadaan kiai sebagai pimpinan.
Ketika kiai wafat maka yang menggantikan takhta kepemimpinan adalah puteranya. Meskipun kompetensi dan keunggulan-keunggulan dalam memimpin pesantren lebih dimiliki oleh anak perempuan. Laksana sebuah kerajaan. Setiap ganti generasi, pesantren memiliki aset ekonomi, politik, dan sosial yang besar bagi para pewarisnya. Identitas kelaki-lakian mungkin hadir menjadi sosok yang berkepentingan menguasai berbagai aset-aset dunia termasuk pesantren.
Sementara itu, seperti sudah menjadi aspek mutlak di mana kiai lebih mendominasi dalam sistem kepesantrenan. Meskipun secara formal terdapat organisasi dan struktur kepengurusan dalam pesantren, kehadiran dan pengaruh seorang tokoh yang bernama kiai itu tetap terpandang menonjol.
Kepercayaan tersebut sudah melekat di masyarakat, di mana laki-laki lebih pantas dan mampu memimpin pondok pesantren dibanding perempuan. Selain itu, mereka yakini juga bahwa laki-laki (kiai) lebih berkuasa karena keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang ia miliki.
Perempuan dalam Pesantren
Perempuan dalam lingkup kuasa pesantren menjalani semacam subordinasi. Ketaatan total perempuan pada laki-laki menjadi pandangan hidup yang terus menerus dikonstruksi di pesantren. Keluasan ilmu yang perempuan miliki tidak serta merta menjadikannya memiliki hak ijtihadi.
Meskipun pada kenyataannya tidak sedikit juga pesantren yang dipimpin oleh seorang perempuan (nyai). Di mana ia menjadi pusat penentu arah dan pengambil kebijakan. Akan tetapi peranan mereka kurang mendapat apresiasi di kalangan pesantren. Begitu pula dengan boleh tidaknya pesantren dipimpin seorang nyai masih menjadi kontroversi.
Pengaruh pemahaman agama atas termarginalnya kaum perempuan dalam kepemimpinan pesantren banyak dilegitimasi oleh kajian kitab kuning yang santri pelajari. Dengan kata lain pesantren masih eksis mempertahankan kajian kitab klasik warisan masa lalu.
Di lain pihak, justru bertahannya kitab klasik tanpa adanya reinterpretasi akan kandungan dan materi dalam tema-tema pembelajaran, menyisakan pemahaman-pemahaman dengan bias gender yang amat kental. Seperti kitab Ghayah at-Taqrib, kitab fikih madzhab Syafii yang di dalamnya juga membahas tentang konsep perwalian, kesaksian, dan sebagainya yang jika tidak kita reinterpretasi lebih cenderung melemahkan posisi perempuan.
Begitu pula dengan hadis-hadis yang secara turun temurun masih dijelaskan dengan cara pikir misoginis. Sebagaimana hadis tentang teori-teori penciptaan dalam Islam, yang mengatakan perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Berdasarkan kisah ini jika kita tafsirkan secara tekstual, baik muslim maupun non-muslim percaya bahwa Adam tercipta melalui cara yang lebih unggul dari Hawa.
Penafsiran yang Keliru
Penafsiran ini telah menjadi kebenaran publik yang menentukan bagaimana status laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Begitu pun dengan ayat alquran yang mengatakan laki-laki sebagai pemimpin. Seperti dalam surat An-Nisa ayat 34.
“Laki-laki adalah qawwam bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Annisa:34)
Padahal jika kita teliti lebih lanjut, ayat ini tidak sedang berbicara mengenai kepemimpinan laki-laki. Namun mengenai norma tanggung jawab yang harus diemban oleh mereka yang memiliki kapasitas, kemampuan, dan harta yang cukup.
Penjelasan dalam ayat ini adalah bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab untuk menopang perempuan. Karena biasanya secara sosial, merekalah yang memiliki kapasitas dan kemampuan. Setidaknya, laki-laki lebih awal memiliki harta karena faktor tertentu.
Namun dalam praktiknya, ada juga perempuan yang memiliki kapasitas, kemampuan, dan harta yang cukup. Maka mereka pun memiliki tanggung jawab yang sama untuk menopang dan menolong orang-orang yang lemah dan tidak berkecukupan.
Ayat Qimawah tidak Bicara Kepemimpinan
Baik dari keluarga sendiri maupun domestik. Artinya, ayat ini (qiwamah) bukan berbicara tentang kepemimpinan. Melainkan tanggung jawab orang kuat terhadap orang yang lemah, yang berilmu kepada yang tidak berilmu, yang memiliki harta pada yang tidak memiliki harta. Dan secara normatif, tanggung jawab ini bukan berkaitan jenis kelamin, melainkan dengan kapasitas dan kemampuan.
Selain itu, rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa laki-laki dan perempuan miliki. Meskipun ayat ini tidak berbicara mengenai larangan kepemimpinan perempuan, tetap saja perempuan ditempatkan pada kelas kedua dan dianggap tidak layak menjadi pemimpin.
Padahal sejatinya sama seperti laki-laki, perempuan juga layak menempati posisi yang sama dalam kehidupan sosial. Karena setiap manusia memiliki tanggungjawab terhadap diri sendiri dan masyarakatnya. Perempuan sebagai sendi dasar bagi kehidupan masyarakat juga memiliki hak mencetak generasi penerus dan melakukan pembinaan di lingkungan masyarakatnya.
Sementara itu, sebagai makhluk Allah, perempuan harus mengabdi kepada-Nya sebagaimana juga laki-laki. Pengabdian makhluk kepada penciptanya atau biasa kita sebut ibadah juga merupakan kewajiban yang harus perempuan lakukan. Sehingga dapat kita pahami bahwa ia memiliki kebebasan seluas-luasnya, baik dalam masalah ubudiyah maupun sosial kemasyarakatan, baik dalam arti sempit maupun luas.
Pemimpin Perempuan di Pondok Pesantren
Jika kita menelaah lebih lanjut ternyata ada beberapa ulama perempuan yang memiliki peran besar dalam mengatur dan mengembangkan pesantren. Ia juga memiliki potensi jiwa kepemimpinan yang tidak jauh berbeda keahliannya dalam memberi arahan, mengajar maupun beretorika atau bahkan memberikan gagasan.
Misalnya Ny.Hj.Masriyah Amva pimpinan pondok pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Ciwaringin, Cirebon. Beliau adalah sosok ulama yang mampu memimpin pesantren dan membuatnya maju semakin pesat di tengah persaingan pesantren di Indonesia.
Pengetahuan dan pengalamannya yang luas mampu menjadikan pesantrennya sebagai pusat pendidikan yang tidak hanya membekali ilmu agama, namun juga membekali para santrinya agar siap terjun ke masyarakat luas. Dengan tetap mempertahankan pendidikan formal dan berbagai kegiatan ekstrakulikuler.
Sebagai seorang pemimpin, Ny.Hj.Masrivah Amva dalam setiap keputusan beliau selalu mempertimbangkan berbagai hal dari sisi sosial, ekonomi dan sebagainya. Beliau juga sangat terbuka dengan masukan-masukan yang para pengurus dan pembantu yayasan sampaikan.
Begitu pula Nyai Nafisah Sahal, pendiri Pesantren Putri al Badiiyyah Kajen, Pati, Lembaga Pendidikan Terpadu Sekolah An Nismah, guru di Perguruan Islam Mathali’ul Falah. Selain memimpin pesantren, beliau tercatat memiliki kiprah di berbagai bidang perjuangan. Baik dalam bidang pendidikan, politik, maupun dalam organisasi sosial keagamaan. Melihat kesuksesan tersebut tidak dapat kita katakan bahwa perempuan tidak punya kecakapan dalam memimpin pondok pesantren.
Ibu Nyai Panutan Santri
Karena pada praktiknya yang kita harapkan tidak saja bertanggung jawab dalam urusan pengelolaan pesantren, tetapi juga menjadi guru dan pembimbing spiritual serta panutan bagi para santri dan masyarakat sekitarnya. Kepemimpinan tidak membedakan apakah laki-laki atau perempuan.
Bagi kedua-duanya berlaku persyaratan yang sama. Karena dalam Islam, yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas ketakwaan, kebaikannya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang tertinggal setelah ia meninggal.
Sebagaimana Gus Dur pernah sampaikan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya mempunyai derajat yang sama, memiliki persamaan hak, kewajiban dan kesamaan kedudukan. Ia mendasarkan pada konsep al-kulliyah al-khams (lima prinsip umum) yang ada dalam Islam.
Konsep itu antara lain, hak dasar bagi keselamatan fisik, hak keselamatan keyakinan, kesucian keturunan dan keselamatan keluarga, hak keselamatan milik pribadi, dan hak keselamatan profesi atau pekerjaan. Kelima hak ini merupakan hak dasar yang perempuan dan laki-laki miliki secara bersama-sama.
Untuk itu tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin di pondok pesantren karena keduanya adalah objek setara. Dengan tuntutan dapat bertanggung jawab, mengajarkan akhlak mulia (akhlakul karimah), mengamalkan kebaikan, membawa kemaslahatan, menegakkan keadilan, dan menghadirkan rahmatal lil alamin dalam setiap lini kehidupan. dan menjadi contoh yang baik untuk para santri dan masyarakat di sekitarnya. []