• Login
  • Register
Minggu, 22 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Salahkah Jika Pendapatan Istri Lebih Besar dari Suami Menurut Islam?

Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta pada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
16/04/2022
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Pendapatan Istri lebih besar dari suami

Pendapatan Istri lebih besar dari suami

427
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id  – Dalam prinsip Islam, siapapun, laki-laki maupun perempuan, boleh memiliki harta selama dihasilkan dari cara yang halal, digunakan untuk hal-hal yang halal, dan telah mengeluarkan hak-haknya dalam hal zakat, sedekah, dan yang lain. Seseorang juga boleh bekerja untuk mencari pendapatan yang lebih baik dan lebih banyak, untuk memenuhi seluruh kebutuhan diri dan keluarganya. Lalu bagaimana Islam melihat jika ada pendapatan istri lebih besar dari suami?

Prinsip Pendapatan dalam Islam

Dalam hal pendapatan, pada prinsipnya dalam Islam, yang Islam pertimbangkan adalah darimana seseorang memperoleh harta atau pendapatan tersebut, dan untuk apa seorang Muslim menggunakannya. Bukan apakah yang memilikinya laki-laki atau perempuan.

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ (سنن  الترمذي، رقم: 2601).

Dari Ibnu Mas’ud ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Seseorang tidak akan bisa beranjak dari Tuhan, kelak pada hari Kiamat, kecuali setelah ada permintaan pertanggung-jawaban atas lima hal: tentang umurnya dalam hal apa dihabiskan, tentang kekuatan masa mudanya dalam hal apa digunakan, tentang hartanya darimana didapatkan, dan kemana dinafkahkan, dan tentang ilmunya apakah sudah diamalkan”. (Sunan Turmudzi, no. 2601).

Terlalu banyak ayat al-Qur’an yang meminta umat Islam untuk beriman dan bekerja secara baik. Di antara ayat-ayat ini, cukup banyak juga yang secara eksplisit menyebut kata perempuan. Ungkapan eksplisit ini perlu untuk menghindari pemahaman banyak orang, bahwa urusan bekerja hanyalah urusan laki-laki belaka.

Baca Juga:

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

Membangun Rumah Tangga yang Berdimensi Akhlak Mulia

Saat Menyelesaikan Masalah dengan Sang Istri, Nabi Muhammad Saw Memilih Negosiasi

Bekerja adalah baik

Setidaknya ada 4 ayat (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan perempuan, untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja. Salah satunya adalah ayat berikut ini:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa bekerja (untuk atau dalam hal-hal) kebaikan, laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia juga beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

Kata ‘amala di sini, yang berarti berbuat atau bekerja, tentu saja berarti luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu bergandengan dengan atribut shalihan, yang berarti kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, sudah sering mengenal ungkapan “amal shalih”, yang berarti segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan. Ia bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, di mana hanya berkaitan relasi seseorang dengan Allah Swt, atau ibadah horizontal dan sosial, berkaitan relasi dengan manusia dan alam.

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi dengan tujuan agar bisa membantu orang lain, adalah termasuk ibadah sosial, jika hanya bersifat horizontal tanpa ikatan vertikal dengan Allah Swt. Tetapi ketika hanya niat untuk patuh dan tunduk kepada-Nya, ia bisa bernilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal.

Bekerja Merupakan Teladan Kenabian

Kita tahu, al-Qur’an sering bercerita bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (seperti QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10).

Nabi Muhammad Saw sendiri memandang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabian yang patut kita lakukan. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta pada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw (Sahih Bukhari, no. 2111 dan 2113).

Bahkan, jika melalui bekerja itu, pendapatan istri menjadi jalan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang masih kecil, kedua orang tua yang sudah lansia, atau untuk dirinya sendiri agar tidak hidup secara sosial terhina, maka semua itu, kata Nabi Muhammad Saw, adalah perjuangan di jalan Allah Swt (fi sabilillah, lihat: al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

Pokok dari ayat-ayat dan hadits-hadits adalah, bahwa setiap orang, laki-laki maupun perempuan, keduanya ada tuntutan untuk beriman dan bekerja untuk kebaikan. Bekerja di sini berarti luas sekali. Dan sama sekali tidak menutup kemungkinan bekerja secara produktif untuk menghasilkan pendapatan, bagi pemenuhan kebutuhan diri maupun keluarga.

Artinya, ketika seorang perempuan, sebagai dampak dari pekerjaannya, lalu pendapatan istri lebih besar dari suaminya, sama sekali tidak terlarang. Pendapatan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang seseorang lakukan.

Ketika suatu pekerjaan itu baik dan Islam merestui, maka pendapatan istri yang ia hasilkan, adalah juga baik dan Islam restui. Dalam kaidah fiqh, restu atas sesuatu adalah juga restu atas juga restu atas hasil dari sesuatu tersebut (ar-ridha bish-shay’i ridhan bi maa yatawalladu minhu).

Perempuan Kaya pada Masa Nabi Saw

Di samping itu, kita juga memiliki preseden yang cukup banyak tentang para perempuan yang kaya raya. Karena kekayaannya, merekalah yang memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk suami dan anak-anaknya. Tentu saja, dalam hal ini, harta atau pendapatan istri lebih banyak dari yang suaminya miliki. Bahkan bisa jadi, menjadi satu-satunya pendapatan untuk kebutuhan keluarga mereka.

Teladan yang paling kentara adalah Sayyidah Khadijah ra istri baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau adalah saudagar yang kaya raya. Nabi Muhammad Saw, pada usia remaja bekerja padanya. Melihat kejujuran, kebaikan, dan keindahan budi pekerti Kanjeng Nabi Saw, Sayyidah Khadijah ra lalu kepincut dan melamar Nabi Saw yang masih berusia 25 tahun. Sementara Khadijah ra sendiri sudah berusia 40 tahun.

Pendapatan Khadijah ra sebagai saudagar dan pemilik perusahaan, tentu saja, jauh lebih banyak daripada Nabi Saw sebagai pekerja beliau. Bahkan, pada masa-masa kenabian sejak Nabi Saw berusia 40 tahun, hampir semua kebutuhan keluarga dan dakwah merupakan dukungan dari harta Khadijah ra. Sampai harta tersebut benar-benar habis, terutama karena terjadi boikot perekonomian dari pihak orang-orang Quraish kepada usaha Khadijah ra.

Nama lain, yang cukup publik kenal, adalah Umm Syuraik ra. Seorang perempuan yang kaya raya. Harta yang ia miliki tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, biasa menjadi rujukan para Sahabat Nabi Muhammad Saw, untuk meminta makan, minum, dan penginapan. Fathimah bint Qays ra pernah bercerita tentang hal ini dalam hadits Shahih Muslim (no. 7573, lihat: 60 Hadits Hak-hak Perempuan dalam Islam, 2018: 166-168).

Kita juga punya nama Zainab ats-Tsaqafiyah ra, istri Abdullah bin Mas’ud ra. Ia justru bekerja dan memiliki pendapatan istri yang digunakan untuk menafkahi keluarganya, suami dan anak-anaknya. Hal ini pernah diungkapkannya langsung ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Kisah ini, di antaranya dicatat oleh Sahih Bukhari (no. 1498, lihat: Qira’ah Mubadalah, 470-472).

Dengan demikian, dalam Islam, yang dipandang itu bukan siapa memperoleh pendapatan berapa. Melainkan, pendapatan itu darimana diperoleh dan untuk apa digunakan. Jika diperoleh dengan cara halal dan diperuntukkan bagi kebaikan, seperti pemenuhan kebutuhan keluarga, maka pendapatan istri yang lebih dari pendapatan suami adalah boleh. Bahkan, bisa jadi baik jika menambah kebaikan dan kebahagiaan bagi keluarga. Wallahu a’lam. []

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

Tags: hukum keluarga Islamistrikeluargaperempuan bekerjasuami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Fiqh Al Usrah

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

21 Juni 2025
Ekoteologi Kemenag

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

20 Juni 2025
Revisi Sejarah

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

19 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

18 Juni 2025
Istri Marah

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

17 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fiqh Al Usrah

    Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stereotipe Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Timbal Balik dalam Hubungan Intim Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas
  • Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan
  • Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan
  • Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri
  • Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID