Mubadalah.id – Penyusuan anak dalam wacana fiqh dibahasakan dengan istilah ar-radhâ’ (ar-radhâ’ah) atau biasa dibaca al-ridhâ’ (al-ridhâ’ah). Kata ini berasal dari kata kerja radha’a (radhi’a) – yardhi’u (yardha’u) – radh’an, yang berarti menyusui (menetek).
Oleh karena itu, bayi yang menyusu disebut ar-radhî’ atau al-râdhi’, sedangkan ibu yang menyusui anaknya dinamakan al-murdhi’. Sementara ibu susuan atau perempuan yang menyusui anak orang lain disebut al-murdhi’ah.
Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau al-ridhâ’ah adalah sebuah nama bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang.
Dalam pengertian etimologis tidak menjadi syarat bahwa yang ibu susui itu (ar-radhî’) berupa anak kecil (bayi) atau bukan. Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-radhâ’ah sebagai berikut:
وصول لبن آدمية إلى جوف طفل لم يزد سنه على حولين
Artinya: “Sampainya (masuknya) air susu manusia [perempuan] ke dalam perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.”
3 Unsur Batasan
Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa kita sebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah (persusuan yang berlandaskan etika Islam). Yaitu, pertama, adanya air susu manusia (labanu adamiyyatin).
Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi (wushûluhu ilâ jawfi thiflin). Ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun (dûnal hawlayni).
Dari unsur-unsur pengertian ini, dapat kita pahami bahwa seorang bayi laki-laki atau perempuan yang meminum air susu hewan, misalnya susu sapi atau susu kambing, tidak termasuk dalam pengertian ar-radhâ’ah al-syar’iyyah. Ia tidak terkena konsekuensi syara’, seperti keharaman menjalin hubungan pernikahan atau hubungan syar’iyyah lain.
Baik masuknya air susu itu melalui mulut ataupun hidung, asalkan si anak itu belum berusia dua tahun, tetap bisa disebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah. Jadi, batasan maksimal usia anak yang disusui adalah dua tahun.
Sebab sampai pada usia dua tahun, perkembangan biologis anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya. Susuan pada usia ini sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis anak.
Oleh karena itu, apabila sudah di atas usia dua tahun, susuan seorang perempuan kepada sang anak tidak kita anggap sebagai ar-radhâ’ah al-syar’iyyah.
Tiga Unsur
Dengan demikian, rukun ar-radhâ’ah al-syar’iyyah bisa kita katakan ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu (ar-radhî’). Kedua, perempuan yang menyusui (al-murdhi’ah).
Ketiga, kadar air susu (miqdâr al-laban) yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus (qadliyyah) bisa kita sebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini bisa kita temukan padanya.
Apabila salah satu unsur saja tidak kita temukan, maka ar-radhâ’ah dalam kasus itu tidak bisa kita sebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak berlaku padanya.
Adapun sifat-sifat perempuan yang menyusui itu telah tersepakati oleh para ulama (mujma’ ‘alayh) bisa berupa perempuan yang sudah baligh atau belum baligh, sudah menopause atau belum menopause, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil.
Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang ia susui. []