Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang kepala rumah tangga, maka, perempuan bisa dan boleh menjadi kepala keluarga, bahkan dalam kondisi tertentu bisa wajib, jika tidak ada lagi orang yang bisa bertanggung jawab dan memimpin.
Bisa juga suami istri mempraktikkan kepemimpinan bersama dengan saling berbagi peran untuk memastikan tanggung jawab berumah tangga.
Kisah Zainab r.a dalam Hadis no. 1489 pada kitab Shahih al-Bukhari yang menafkahi suami dan anak-anaknya adalah preseden baik dari sejarah awal Islam tentang perempuan sebagai kepala rumah tangga dalam hal nafkah.
Jadi, jika menggunakan logika Imam Malik dan kerangka maqashid Ibn ‘Asyir. Serta merujuk pada preseden Zainab r.a. pada awal Islam, laki-laki sebagai kepala keluarga bukanlah hal yang pokok dalam syariah Islam.
Pokok utama dalam berumah tangga adalah tanggung jawab memastikan kebutuhan spiritual, fisik, psikis, material, dan yang lain bisa terpenuhi bagi seluruh anggota keluarga.
Cara, strategi, dan siapa yang melakukan adalah implementasi dari ajaran pokok tersebut.
Pandangan Ibn ‘Asyir
Pendekatan Imam Malik pada QS. al-Baqarah (2): 233 dituturkan oleh seorang ulama karismatik Tunisia, Syekh Muhammad Thahir bin ‘Asyir (w. 1973) dalam kitabnya, Maqashid al-Syari’ah al-Islimiyyah.
Penjelasan QS. al-Bagarah |2|: 233 tersebut dalam konteks pentingnya menemukan tujuan syariah (maqashid syari’ah) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Kerangka maqashid dalam memahami ayat ini diperlukan agar kita tidak terjebak pada pemahaman dan tafsir yang parsial dan terpisah dari tujuan besar syariah Islam.
Tanpa kerangka maqashid ini, pemahaman kita terhadap ayat dan Hadis ini bisa terjebak menjadi literal alih-alih bermuatan moral sesuai dengan agenda besar Islam, yang rahmat li al ‘Alamin dan akhlak karimah.
Agenda besar ini dalam konteks kehidupan di dunia adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dan menghilangkan kerusakan dari kehidupan mereka (jalb al-mashalih wa dar al-mafasid ‘an al-nas).
Dalam skala lebih kecil, yaitu kehidupan keluarga. Tujuan dasar dari syariah (maqashid al-syari’ah) adalah memastikan kemaslahatan seluruh anggota keluarga, terpenuhi segala kebutuhan.
Termasuk memperoleh keamanan, pendidikan, dan tentu saja termasuk ibadah, dan terhindar dari segala bahaya dan kerusakan.
Salah satu cara terpenuhinya tujuan ini secara teknis dengan meminta tanggung jawab laki-laki untuk memimpin dan menafkahi.
Karena secara sosial, laki-laki biasanya memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memenuhinya lebih awal jika dibandingkan perempuan.
Namun, tidak berarti melarang para perempuan untuk ikut bertanggung jawab melakukan hal-hal yang bisa memaksimalkan tujuan syariah ini.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.