Mubadalah.id – Selain ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk memaksimalkan akal, Al-Quran juga memuat banyak ayat tentang persuasi untuk melakukan perjalanan. Perjalanan itu sendiri adalah bagian dari kegiatan berpikir dan belajar. Dalam Al-Quran terdapat ayat berbunyi “….karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [Qs.Ali-Imran (3):137] dan ayat-ayat lain yang semisalnya.
Rasulullah sendiri melakukan perjalanan dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Begitu pun para sahabat, ahli hadist, ahli fiqih, ulama dari kalangan tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya. Salah satu bait syair indah yang disampaikan oleh Imam Asy Syafii berbunyi, “Pergilah (safar), maka kamu akan menemukan orang seperti yang kamu tinggalkan.” (Muhammad Ibrahim Salim (pen), Syarah Diwan Imam Syafii, 2019).
Terdapat tiga aspek penting dalam setiap ayat Al-Quran yang berbicara tentang perjalanan (safar). Ketiga aspek itu terdiri atas anjuran melakukan perjalanan, membaca serta memikirkan tentang tanda-tanda kebesaran Allah (tafakkur), dan mengambil pembelajaran (ibrah) dari setiap pengalaman yang dilalui.
Makna Perjalanan dalam Islam
Artinya perjalanan dalam Islam bukan hanya mengandalkan aspek kesenangan semata. Perjalanan kita lakukan untuk suatu tujuan, yakni melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan mengambil pembelajaran dari proses yang kita lalui. Ada begitu banyak pelajaran yang dapat kita petik dalam melakukan perjalanan jika seseorang menyadari aspek yang lain di luar kesenangan dalam proses-proses yang kita lalui.
Ada banyak motif dan alasan untuk melakukan sebuah perjalanan. Untuk pergi hura-hura, untuk mendapatkan pemandangan, perjalanan dinas, penelitian, dan sebagainya. Kendati demikian, seorang hamba harus memiliki mata yang selalu mengamati, telinga yang selalu mendengar, dan perasaan yang peka, sekali pun niatnya bepergian adalah untuk bersenang-senang
Seseorang yang melakukan perjalanan semestinya tetap menjadikan indra-indra mereka sebagai alat untuk menangkap dan membaca realita sosial. Membaca buku itu penting. Tapi membaca masyarakat, alam, kehidupan juga tidak kalah penting. Manusia tidak mungkin untuk terlepas dari lingkungan sosialnya sendiri. Hanya dengan cara seperti itu manusia dapat hidup.
Agak terasa sia-sia jika suatu perjalanan hanya untuk bersenang-senang.
Membaca tanda-tanda kebesaran Allah
Allah Swt telah berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Quran) itu adalah benar..” [Qs. Al-Fushilat (41): 53].
Perjalanan (safar) adalah momentum seorang hamba untuk lebih mengenal Allah jika dilakukan dengan maksimal. Perjalanan, dalam artian apa pun, jalan-jalan, liburan, atau memang kita niatkan untuk suatu kepentingan tertentu, maka bisa kita maknai sebagai suatu proses belajar menjadi hamba. Tatkala seseorang mengecilkan diri dia sendiri, di sanalah hadirnya Allah sangat terasa.
Perjalanan manusia bisa menjadi ajang dalam membaca ayat-ayat kauniyyah. Ayat-ayat yang tidak tertulis di dalam Al-Quran (ayat-ayat qauliyyah). Tapi, ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah dalam kehidupan, di seluruh alam semesta dan pada diri manusia itu sendiri. Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kebesaran Allah. Ayat juga bisa kita artikan sebagai tanda, yaitu tanda keagungan Allah swt.
Tugas seorang hamba adalah mengenal Allah dari tanda-tanda ini. Allah adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Ia ingin kita kenali, kita dekati, dan kita pahami. dalam ayat-ayat ini, alam semesta dan jiwa manusia itu sendiri tidak lain merupakan clue yang Allah berikan. Bersamaan dengan itu, Allah memberikan akal dan selalu mengingatkan manusia untuk menyelesaikan tanda tanya tersebut dengan akal, afalaa tafakkaruun?
Jika memungkinkan, lakukanlah perjalanan untuk tujuan menjadi hamba. Tidak perlu jauh, tapi dalam setiap langkah hendaknya kita niatkan untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah. Dengan banyaknya kita membaca ayat-ayat Allah yang terdapat di segenap penjuru, akan menjadikan kita sebagai hamba yang berwawasan lebih luas, yang senantiasa bersyukur. Wallahu ‘alam bi shawwab. []