• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Perjalanan Mempelajari Feminisme

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
13/07/2020
in Personal
0
mempelajari feminisme

Ilustrasi Oleh Nurul Bahrul Ulum

197
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Suatu saat saya berkomentar di status teman saya. Saya mengomentarinya dengan pertanyaan “kapan wisuda nih?,” niat saya bercanda, diakhir saya bubuhi juga emoticon tertawa. Teman saya lalu menjawab “percuma belajar feminisme.”

Jawaban itu membuat saya tidak bisa fokus mengerjakan aktifitas lainnya. Saya kefikiran. Di satu sisi, saya ingin membela diri saya sendiri. Tapi di sisi lain, saya membenarkan kritik teman saya tersebut. Saya tidak peka, padahal harusnya pertanyaan berawal “kapan” tidak keluar dari jempol saya.

Guru saya, suatu saat pernah bercerita. Dia menyatakan, mungkin jika anak laki-lakinya menikah dengan perempuan, kemudian suatu saat si Ibu main ke rumah anak laki-laki tersebut lalu melihat anak laki-lakinya mengepel dan sang istri memainkan gawai, dia juga akan tetap kaget. Walaupun Guru saya ini juga guru feminisme.

Mayoritas kita semua dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur patriarki. Maka meski pun kita mempelajari feminisme, sangat mungkin kita masih memiliki bias, rasis, tidak adil sejak dalam pikiran juga hal-hal lainnya yang bertentangan dengan feminisme.

Suatu kali, saya membaca cerita menarik di media sosial. Seorang guru memberikan pelajaran kepada anak didiknya tentang rasisme kepada kulit hitam dengan bertanya “kalau kalian liat gambar ini (gambar orang kulit hitam, apa yang kalian pikirkan?,” jawabannya kemudian beragam. Ada anak yang bahkan menyatakan bahwa dia mengingat gorilla.

Baca Juga:

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Sejarah Kartini (1879-1904) dan Pergolakan Feminis Dunia Saat Itu

Nenengisme: Gerakan Perempuan Akar Rumput

Mengapa Harus Tubuh Perempuan yang Diatur?

Hebatnya, Ibu Guru itu tidak marah. Dia lalu menjelaskan bahwa jawaban itu adalah salah satu akar rasisme. Dari sana lah dia membangun kesadaran bahwa ada sistem, ada politik, ada budaya yang membuat anggapan itu terkenal dan menjadi legitimasi rasisme yang dilakukan.

Dalam perkembangan kehidupan saya. Saya juga sering sekali bias, rasis dan tidak adil sejak dalam pikiran. Ketika melihat orang yang gendut sekali misalnya, saya dulu ngumpet-ngumpet untuk ketawa. Ketika melihat orang Timur yang hitam, saya membandingkan kulitnya dengan kulit saya. Ketika melihat perempuan bercadar, saya menganggap ilmu agamanya tidak luwes. Ketika melihat laki-laki menangis, saya menganggapnya cemen.

Saya lalu mendapatkan privilege untuk mengakses pengetahuan dan pertemanan yang lebih luas. Cara pandang kehidupan saya lalu berubah. Saya belajar untuk tidak rasis, tidak bias, juga tidak adil. Meski pun tentu saja sebagai manusia yang dibesarkan di kultur patriarki, dan dalam satu sistem, lantas secara spontan saya masih sering rasis, bias juga tidak adil.

Sehingga saya kira, pernyataan dalam bukunya Jessa Crispin sangat relevan. Bahwa kita sebagai feminis, harus terus menerus self-criticise (mengkritisi diri kita sendiri). Sangat mungkin, diri kita yang mengaku feminis ini ternyata juga masih memiliki banyak bias. Misalnya, guru saya yang laki-laki menanyakan: mengapa ya perempuan-perempuan yang belajar gender itu kok ga mau kalau perempuan lain jadi Ketuanya?

Awalnya, saya kira ini semata-mata tentang subjektifitas saja. Tapi kemudian beberapa kali saya menemukan kejadian seperti itu bahkan saya menjadi pelakunya. Melihat perempuan lain yang sukses kok rasanya lebih iri ketimbang melihat laki-laki yang sukses. Tapi kemudian kesadaran feminis coba saya bangunkan. Kalau sesama perempuan saja saling menjatuhkan, bagaimana bisa perempuan maju? Maka lalu saya coba untuk turut mendukungnya.

Mungkin memang budaya patriarki membuat kita tidak terbiasa melihat perempuan menjadi pemimpin. Ketika ada, akhirnya diri kita sebagai perempuan yang terjajah itu tidak rela jika perempuan lain bisa menjadi pemimpin. Ini lah yang saya suka dari menjadi feminis.

Saya bisa menggunakan kaca mata feminis untuk membaca kasus-kasus yang saya alami setiap hari. Saya menganalisanya, mengkritisi diri saya sendiri, lalu memperbaiki perilaku saya. Hingga suatu saat saya berada di kesadaran kemanusiaan perempuan tertinggi (ya meski pun sulit atau bahkan utopis).

Jadi ya, meski pun saya mengaku feminis. Sangat mungkin sekali saya masih bias, rasis dan tidak adil. Saya sedang berusaha untuk mengkritisi diri saya sendiri. Tentu saja saya senang jika teman-teman membantu saya dengan kritik yang membangun. Tulisan ini juga sebagai permintaan maaf, jika ternyata saya pernah melukai hati dengan perilaku atau kata yang bertentangan dengan feminisme. []

Tags: belajar feminismeCerita PerempuanEco-Genderfeminisme
Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version