• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Pilihan Estetika dalam Titik Temu Perbedaan

Dalam kehidupan sehari-hari menyangkut berbedaan budaya dan agama, di dalamnya tentu ada perbedaan persepsi, kepekaan dan pilihan atas estetika

Listia Listia
24/11/2021
in Pernak-pernik
0
Estetika

Estetika

67
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya bersyukur, siang tadi mendapatkan banyak wawasan yang menggembirakan di forum “Etalase Pemikiran Perempuan”. Saya kebagian di Panel 1 dengan tema ‘Perempuan, Budaya dan Pendidikan Alternatif’,  membagi cerita tentang pendidikan keagamaan alternatif, yaitu model pendidikan interreligius yang dikembangkan oleh perkumpulan Pappirus.

Ada pertanyaan menarik dan mengejutkan karena saya pribadi belum merefleksikan hal ini. Saya berterimakasih bahwa forum ini membuat saya berfikir lebih luas. Pertanyaannya kurang lebih begini ; bagaimana pendidikan keagamaan yang menekankan adanya titik temu dalam perbedaan ini, berbicara tentang pilihan estetika?

Dalam kehidupan sehari-hari menyangkut perbedaan budaya dan agama, di dalamnya tentu ada perbedaan persepsi, kepekaan dan pilihan atas estetika. Ini adalah hal yang tampaknya bukan hanya saya yang kurang memperhatikan, tapi kemungkinan banyak orang sering mengabaikan.

Katakanlah saya ambil contoh dari tradisi agama saya soal suara azan, yang bagi orang dari tradisi lain mungkin terdengar seperti ‘nyanyian’, yang  bagi masyarakat muslim biasa saja atau mudah diterima apa pun vokal dan nada yang digunakan, namun hal itu tidak mudah dinikmati (atau bahkan mungkin karena bernada sumbang dan frekuensi sangat keras sehingga ‘mengganggu’) bagi telinga orang yang tidak berkepentingan dengan tradisi agama ini. Ke -indah-an/ tidak indah suara di udara terbuka milik umum ini perlu disadari sebagai hal yang penting untuk didialogkan.

Di lain kesempatan beberapa tahun lalu saya mengantar anak-anak kampung mengunjungi Candi Borobudur di pagi berangkat lepas subuh. Karena saya berpakaian brukut; baju panjang plus kerudung, saya merasa sudah cukup sopan untuk memasuki  area tempat suci itu.

Baca Juga:

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Ternyata saya masih dicegat petugas, “Mba, untuk yang dewasa harus pakai kain ini”. Oh ternyata baju saya yang panjang belum cukup. Saya pun mengambil kain yang disediakan dan membebatkan kian seperti pakai jarik sambil mikir perbedaan persepsi tentang pakaian yang sopan ini. Dalam konteks interreligius, estetika tidak bisa bebas nilai karena keberadaanya terkait dengan segi-segi kehidupan manusia lain.

Menurut saya rasa keindahan itu ada sisi-sisi yang bersifat bentukan lingkungan budaya, geografis dan ragam sarana yang digunakan yang membentuk kebiasaan sehingga menghasilkan perbedaan, tetapi ada sisi-sisi yang universal berupa ketersentuhan hati-nurani-intelektual oleh suasana yang menciptakan gairah karena hadirnya makna dalam suatu konteks hidup personal atau kelompok.

Di sinilah saya menjawab pertanyaan dengan menghadirkan pemikiran Mahatma Gandhi. Kebetulan tokoh pergerakan kemerdekaan India seorang spiritual yang mengambil inspirasi dari berbagai sumber  ajaran agama.

Di antara pemikiran Gandhi yang dikenal luas adalah tentang tujuh dosa sosial (Kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa hati nurani, pendidikan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa sikap mau berkorban dan politik tanpa prinsip).

Saya mengutip dosa sosial  ‘kesenangan tanpa hati nurani’ dalam menjawab soal pilihan estetika ini. Bahwa dalam ruang hidup yang penuh perbedaan agama, budaya, cara hidup, …semua orang atau kelompok tidak dapat memaksakan pilihan estetikanya pada semua orang;  bahwa persepsi, kepekaan dan pilihan estetika selalu perlu didialogkan dengan tolok ukurnya adalah kedamaian bagi semua pihak.

Bila ada pemaksaan nilai keindahan (termasuk nilai kebaikan dan kebenaran) pada semua orang, maka yang terjadi adalah kekerasan yang bertentangan dengan hati nurani . Estetika sebagai bagian dan hasil dari suatu persitiwa kemanusiaan, bila dimunculkan dengan tanpa hati nurani maka hal itu bagian dari dosa sosial karena memiliki dampak merusak hubungan-hubungan.

Namun bila pilihan estetika yang dihadirkan tanpa memaksa semua orang menikmati , tanpa kekerasan simbolik pada publik, maka kehadirannya mendamaikan, adalah sumber kebahagiaan yang meluhurkan martabat kemanusiaan dan mendorong lahirnya kreativitas yang lain. []

Tags: agamaBudayaEstetikaperbedaan
Listia

Listia

Pegiat pendidikan di Perkumpulan Pendidikan Interreligus (Pappirus)

Terkait Posts

Dipaksa Menikah

Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

19 Juni 2025
Perkawinan

Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

19 Juni 2025
Pasangan Hidupnya

Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya

19 Juni 2025
Sister in Islam

Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

18 Juni 2025
Kekerasan dalam

Saatnya Mengakhiri Tafsir Kekerasan dalam Rumah Tangga

18 Juni 2025
Pemukulan

Nabi Tak Pernah Membenarkan Pemukulan Terhadap Perempuan

18 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • SIS Malaysia

    Berproses Bersama SIS Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Tak Pernah Membenarkan Pemukulan Terhadap Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya
  • Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan
  • Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID