• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Previlage Pinangki Dampak Dari Perjuangan Kesetaraan Gender?

Kasus Pinangki ini tentu harus mendapat atensi khusus dari semua penegak hukum di Indonesia karena membuka peluang bagi para perempuan untuk secara sadar maupun tidak, telah dimanfaatkan pihak lain guna melakukan korupsi karena previlage nya sebagai koruptor perempuan.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
17/06/2021
in Publik
0
Pinangki

Pinangki

354
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Hamil aja dulu terus korupsi”. Adalah sebuah cuitan netizen yang geram dengan pengurangan hukuman Pinangki. Sebagai representator kesetaraan perempuan di wilayah publik, jaksa Pinangki bisa dimasukkan sebagai salah satunya.  Namun secara mengejutkan, di tahun 2020 ia terbukti terlibat dalam pusaran skandal suap Djoko Candra.  Uang sebesar US$ 500 ribu atau setara Rp 7,3 miliar, ia terima untuk memuluskan kasus Peninjauan Kembali yang diajukan Djoko Candra di Mahkamah Agung.

Minggu ini, publik dihebohkan kembali dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengurangi hukuman Jaksa Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun. Salah satu pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim yang diketuai oleh Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik adalah karena Pinangki adalah seorang ibu dan perempuan yang memiliki seorang anak balita berusia 4 tahun dan membutuhkan kehadirannya sebagai ibu.

Sontak, putusan yang syarat akan narasi domestikasi perempuan ini menuai kritik dan hujatan. Tak hanya pada kasus Pinangki saja, namun pada gerakan kesetaraan perempuan secara menyeluruh. Banyak pihak yang menyatakan bahwa kesetaraan yang diperjuangan tak lagi menuntut kesamarataan, namun menuntut “previlage” untuk perempuan. Termasuk previlage ketika perempuan terbukti melanggar tindak pidana. Perempuan ingin dimengerti, dihargai, dan meminta belas kasihan karena ia seorang perempuan.

Perlukah perbedaan perlakuan hukum berdasarkan jenis kelamin?

Kesetaraan gender adalah suatu kesamaan akan kondisi yang ada bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, dan juga mampu berperan dan juga berpartisipasi dalam segala kegiatan-kegiatan dalam berbagai aspek. Sering ditekankan bahwa gerakan kesetaraan gender bukanlah gerakan untuk menomosatukan salah satu jenis kelamin dan menomorduakan yang lainnya. Namun sebuah perjuangan untuk memberikan hak kepada semua jenis kelamin untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang seimbang.

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

Menurut Graham D.S dalam buku Keberagaman Gender di Indonesia, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan juga berlaku dalam perlindungan hukum represif. Ketika keduanya tidak taat hukum dan melakukan perbuatan yang masuk dalam ranah tindak pidana, akan diberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahannya. Maka memberikan keringan hukuman dengan dalih bahwa Pinangki adalah seorang perempuan justru bertentangan dengan nilai dan ruh perjuangan kesetaraan gender.

Rasional hukum yang dinyatakan Hakim dalam putusannya juga minim akan wawasan kesetaraan gender. Pelanggengan narasi domestikasi dalam putusan menempatkan perempuan sebagai satu-satunyan orang yang bertanggungjawab dalam urusan anak. Padahal anak adalah tanggung jawab orang tua yang meliputi ayah dan ibu. Pun demikian dengan kasih sayang, juga harus diberikan oleh ayah dan ibu secara bersamaan.

Maka memberikan keringanan hukuman dengan dalih Pinangki adalah seorang ibu yang dibutuhkan anaknya juga bertentangan dengan nilai kesetaraan gender. Seolah menafikan peran ayah dalam memberikan pendidikan dan kasih sayang pada anak. Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta masih sangat patriarkis dan  menempatkan perempuan di wilayah domestik serta tidak memahami perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan. Pinangki harus mempertanggungtawabkan tindakannya, sedangkan tanggung jawab pendidikan anak dilanjutkan oleh ayahnya.

Dalam tindak pidana jarimah seorang perempuan yang melakukan tindak pidana memang ditangguhkan hukumannya sampai sang anak di sapih. Penangguhan hukuman ini diberikan karena memang hanya perempuanlah yang bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ini adalah peran kodrati perempuan yang tidak bisa diganti oleh laki-laki. Namun setelah habis masa menyusui, perempuan pelaku jarimah tetap menjalani hukumannya tanpa pengurangan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Pinangki yang anaknya sudah lepas dari masa sapih.

Dalam teori pidana neo klasik Stephen Schapper dijelaskan bahwa orientasi hukum pidana tidak hanya kepada pelaku akan tetapi juga terhadap akibat-akibatnya. Perilaku koruptif yang dilakukan Pinangki jelas menciderai korban-korbannya, yaitu seluruh masyarakat Indonesia. Keringanan hukuman yang diberikan pada Pinangki tidak akan memberikan efek jera sebagaimana tujuan dari teori pidana absolut.

Mansour Fakih menyatakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang memang melekat pada diri perempuan dan juga pada diri laki-laki. Pun saya juga sepakat dengan pendapat tersebut. Bagaimanapun secara biologis laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perempuan mengalami menstruasi, hamil, nifas, melahirkan dan menyusui yang bersifat given dari Allah. Dalam  menyikapi perbedaan jenis kelamin ini saya menyepakati bahwa dalam hal tertentu, perbedaan perlakuan hukum antara laki-laki dan perempuan memang diperlukan.

Seperti membedakan bentuk penjara bagi narapidana laki-laki dan perempuan, memperbanyak rasio jumlah kamar mandi, memberikan ruangan laktasi untuk pumping, menyediakan tempat pembuangan pembalut, memang harus berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena secara biologis keduanya memiliki kebutuhan yang berbeda.

Namun dalam kasus Pinangki, teori Feminist Jurisprudence Hary Chand yang memperjuangkan keadilan perempuan dan pemberian hukuman pidana berdasarkan pengalaman perempuan sebagaimana kasus fasilitas penjara perempuan, KDRT dan perkosaan tidak bisa diterapkan. Karena dalam tindak pidana korupsi, kesalahan yang dilakukan Pinangki adalah sebuah kejahatan yang terstruktur dan masif.

Pengalaman Pinangki sebagai pelaku yang sekaligus sebagai perempuan tak perlu dijadikan sebagai pertimbangan hukuman untuk memberikan keringanan. Korupsi yang ia lakukan jelas bertujuan untuk memperkaya dirinya. Bukan sekedar memenuhi kebutuhan pokok anaknya seperti membeli susu dan makanan 4 sehat 5 sempurna. Ia juga bukan single parent yang terlahir dari keluarga miskin. Ia perempuan dengan gaji yang sangat cukup sebagai seorang abdi negara, namun dengan sadar melakukan pertemuan dengan buronan koruptor dan menerima milyaran uang darinya.

Tak jarang juga banyak yang menyamakan kasus Angelina Sondakh dengan Pinangki. Lawrence M Friedman menyatakan bahwa setiap kasus memang memiliki ciri khas masing-masing. Sehingga tidak bisa menyamakan antara satu kasus dengan yang lainnya dan mengharapkan putusan yang sama. Namun kekhasan dalam kasus Angelina Sondakh dengan Pinangki sangat identik, sama-sama koruptor perempuan dan sama-sama memiliki balita. Dalam hal pengasuhan anak, Angelina Sondak lebih menyedihkan karena ia seorang janda. Suaminya meninggal beberapa saat sebelum vonis ditetapkan. Namun Angelina Sondakh mendapat hukuman belasan tahun dan Pinangki hanya 10 tahun dan masih dipotong lagi menjadi 4 tahun.

Maka kasus Pinangki ini tentu harus mendapat atensi khusus dari semua penegak hukum di Indonesia karena membuka peluang bagi para perempuan untuk secara sadar maupun tidak, telah dimanfaatkan pihak lain guna melakukan korupsi karena previlage nya sebagai koruptor perempuan. Dan tentunya menciderai gerakan kesetaraan gender yang telah lama diperjuangkan. []

 

 

 

 

Tags: DiskriminatifGenderHukum IndonesiakeadilanKesetaraanKorupsiKoruptorperempuan
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Merapi

Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

12 Mei 2025

Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

12 Mei 2025
Paus Leo XIV

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

12 Mei 2025
Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Merapi

    Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak
  • Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha
  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version