• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Putri Pramodhawardhani: Tokoh Toleransi di Masa Mataram Kuno

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
06/07/2022
in Publik
0
Tokoh Toleransi

Tokoh Toleransi

471
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam satu video singkat di akun Tiktok @Buddhazine, Bhante Panyavaro menjelaskan, “…Raja-raja Syailendra dan rakyatnya gotong royong dengan penuh rasa bhakti, dengan iman yang kuat, mendirikan Borobudur yang selesai dua generasi. Sang ayah tidak melihat waktu peresmian Borobudur. Yang meresmikan adalah putrinya, Pramodhawardhani…,” demikian penggalan penjelasan Bhante Panyavaro dalam video tersebut.

Saya bukan akan membahas berita viral harga tiket Borobudur yang naik, namun saya tertarik pada penjelasan Bhante Panyavaro bahwa yang meresmikan Borobudur adalah Pramodhawardhani. Tentu perempuan ini bukan sosok yang biasa saja, namun adalah sosok yang pantas kita kenang dalam panggung sejarah Nusantara.

Sebagaimana penjelasan Drs. R. Soekomono dalam Pelita Borobudur, Seri A, No. 1 (1972), bahwa “Tjandi Borobudur berdiri sekitar tahun 800 tarich Masehi. Tidak ada informasi berapa lama tjandi itu berfungsi sebagai bangunan sutji agama Bud[dh]a….” Dan, sebagaimana penjelasan Bhante Panyavaro bahwa yang meresmikan Borobudur adalah Pramodhawardhani.

Tim Balai Konservasi Borobudur dalam laman @kebudayaan.kemdikbud.go.id, menjelaskan bahwa, pada tahun 842 M, Pramodhawardhani mengeluarkan prasasti, yang sekarang disebut Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan, untuk menganugerahkan tanah di desa Tri Tepusan. Hal ini ia lakukan untuk pemeliharaan sebuah bangunan suci bernama Kamulan I Bhumisambhara, atau tempat asal muasal Bhumishambara. J.G. de Casparis, seorang epigraf dari Belanda, mengartikan nama bangunan tersebut sebagai nama asli Borobudur.

Tokoh Toleransi Ini, adalah Perempuan Penguasa Mataram Kuno

Pramodhawardhani merupakan putri dari Raja Medang atau Mataram Kuno, yaitu Rakai Warak Dyah Manara atau terkenal sebagai Raja Samaratungga. Pramodhawardani  berasal dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Dia naik tahta menggantikan ayahnya, Raja Samaratungga, pada 833 M. Pramodhawardhani juga terkenal sebagai Sri Kahulunan.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Iswara N. Raditya dalam “Ratu Pramodhawardhani: Kawin Beda Agama, Menganjurkan Toleransi” (dimuat di Tirto.id) menjelaskan bahwa, ada pihak yang tidak setuju  dengan pengangkatan Pramodhawardhani sebagai penerus singgasana Samaratungga. Pihak tersebut adalah Balaputradewa dan pendukungnya.

Mengenai sosok Balaputradewa, ada yang mengatakan bahwa dia merupakan adik kandung Pramodhawardhani artinya anak dari Raja Samaratungga. Menurut pendapat ini, Balaputradewa merasa lebih berhak menduduki tahta Medang (Mataram Kuno).

Hal itu karena menurut Balaputradewa tahta raja hanya untuk laki-laki, bukan perempuan, sehingga meski dia adalah adik dan Pramodhawardani adalah anak tertua, namun dia lah yang lebih berhak menduduki tahta. Pendapat lain mengatakan kalau Balaputradewa merupakan paman Pramodhawardhani atau adik dari Raja Samaratungga. Sehingga, Balaputradewa merasa berhak atas tahta, sebab kakaknya tidak memiliki anak laki-laki.

Pemikiran bahwa raja (penguasa) harus laki-laki juga mewarnai isi kepala sebagian orang pada masa itu. Dalam hal ini, pandangan raja seharusnya laki-laki, bukan perempuan, dijadikan alasan untuk merebut tahta oleh Balaputradewa. Namun, Raja Samaratungga agaknya memiliki pemikiran yang lebih maju, sehingga tetap mewariskan tahta kepada anak tertuanya, Putri Pramodhawardhani, meski sang anak adalah perempuan.

Pramodhawardhani tidak menyerah dari gangguan Balaputradewa. Dia mempertahankan haknya, tahta Medang, dengan melawan Balaputradewa. Dengan bantuan suaminya, Rakai Pikatan yang berasal dari Wangsa Sanjaya, pada 833 M Balaputradewa dapat terkalahkan dan lari ke Sumatera.

Sejak saat itu, Ratu Pramodhawardhani menjadi penguasa Kerajaan Medang. Sebagaimana penjelasan Iswara N. Raditya, bahwa tidak diketahui pasti kapan Ratu Pramodhawardhani meninggal. Tapi, kira-kira pemerintahannya berakhir pada 856 M. Itu artinya, Ratu Pramodhawardhani menjadi penguasa Medang (Mataram Kuno) selama 23 tahun, sejak 833 hingga 856 M, meski di tahun-tahun terakhir jabatan Pramodhawardhani kendali kekuasaan beralih kepada Rakai Pikatan.

Tokoh Toleransi di Masa Mataram Kuno

Pada masa Ratu Pramodhawardhani, agama Buddha berkembang dengan baik. Saking majunya peradaban Buddha kala itu telah mampu mengembangkan arsitektur rumah suci khas Nusantara. Hal ini tergambar dalam penjelasan Bhante Panyavaro, “Para Raja Syailendra, nenek moyang kita sendiri, bukan orang asing. Dan langgam Borobudur, ukirannya itu tidak sama dengan di India, di negara lain, mboten sami. Itu unik Borobudur….”

Jadi, pada masa itu, agama Buddha berkembang dengan baik di Nusantara, sehingga mampu melahirkan Borobudur sebagai rumah suci agama Buddha yang memiliki kekhasan Nusantara.

Pramodhawardhani adalah seorang Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, meski begitu agama Hindu juga tumbuh dengan baik di bawah kekuasaannya. Bahkan, dalam catatan sejarah pada tahun 832 M, Pramodhawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang berasal dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Tim Balai Konservasi Borobudur pada laman @kebudayaan.kemdikbud.go.id, bahwa dalam sejarah Nusantara kuno, pernikahan Ratu Pramodhwardhani dengan Rakai Pikatan, dianggap sebagai salah satu momen pertama pernikahan lintas agama antara ratu dan raja yang berkuasa terhadap sebuah kerajaan. Secara tidak langsung hal ini membuat Borobudur menjadi bukti toleransi beragama pada periode Mataram Kuno.

Pada masa Ratu Pramodhawardhani, banyak candi Buddha dan Hindu yang terbangun. Candi Plaosan–yang berada di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten–dibangun dengan perpaduan arsitektur Hindu-Buddha.

Sebagaimana penjelasan Muhammad Iqbal Birsyada Sahruni dalam “Makna Akulturasi Hindu Buddha pada Arsitektur Candi Plaosan,” bahwa setelah membandingkan Candi Plaosan dengan candi Hindu (yaitu Candi Prambanan) dan candi Buddha (yaitu Candi Borobudur), terlihat Candi Plaosan memiliki arsitektur candi Hindu dan Buddha.

Hal ini paling nampak dari bentuk dan struktur bangunan Candi Plaosan. Yaitu, terdapat bangunan menjulang tinggi yang merupakan ciri candi peninggalan Hindu, dan dasar candi dengan struktur yang lebar menunjukkan ciri candi peninggalan Buddha. Sehingga, Candi Plaosan menunjukkan wujud akulturasi Hindu-Budha pada masa Ratu Pramodhawardhani.

Majunya agama Buddha dan Hindu di masa Ratu Pramodhawardhani menunjukkan bahwa kepemimpinan sang ratu dijalankan dengan memerhatikan nilai toleransi antar pemeluk agama. Meski Pramodhawardhani memeluk agama Buddha, namun sang ratu tidak membatasi perkembangan agama Hindu. Sikap dan peran Ratu Pramodhawardhani ini menjadikannya sebagai sosok tokoh toleransi pada masa Mataram Kuno. []

Tags: IndonesiakeberagamanMataram KunoNusantaraPerdamaiansejarahtoleransi
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID