Mubadalah.id – Pada kesempatan ini kami mewawancarai Dr. Nur Rofiah mengenai qira’ah mubadalah sebagai tafsir keadilan untuk kemaslahatan manusia. Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm adalah dosen Pascasarjana Ilmu al-Quran dan Tafsir Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) Jakarta. Perempuan yang akrab disapa Mbak Nur ini sejak 2001 sudah meraih gelar doktor bidang tafsir di Ankara Universitesi-Turki.
Studinya dimulai dari jurusan Tafsir Hadis di Universitas Agama Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan selesai pada tahun 1995. Kemudian Mbak Nur melanjutkan studi S2-nya bidang tafsir di Ankara Universitesi-Turki dan selesai pada tahun 1999.
Selain sebagai dosen, Mbak Nur juga dikenal sebagai seorang aktivis, peneliti, penulis dan akademisi. Bahkan, Mbak Nur aktif menjadi pembicara dalam forum-forum, diskusi, halaqoh-halaqoh dan seminar terkait penafsirannya terhadap isu-isu feminis, gender dan anak.
Ketika menjadi pembicara pada Majelis Mubaadalah ke-19 di Aula lantai 2 kampus 1 UIN Walisongo Semarang, Senin, 25 Maret 2019. Mbak Nur bersedia diwawancarai Reporter Mubadalah. Inilah hasil wawancara ekslusif dengan Beliau terkait Qira’ah Mubadalah sebagai tafsir keadilan untuk kemaslahatan manusia.
***
Apa pandangan Anda terkait Qira’ah Mubadalah?
Qira’ah Mubadalah adalah bagaimana menyelami teks keislamaan terutama al-Quran dan hadis. Dan ini sangat penting sekali, karena Qira’ah Mubadalah ini, secara pribadi saya mengatakan bahwa Mas Faqihuddin Abdul Kadir (Penulis Buku Qira’ah Mubadalah) ini jenius sekali.
Mas Faqih telah menemukan suatu konsep yang membantu kita untuk menghadapi dilema. Di satu sisi, kita yakin bahwa al-Quran dan hadis itu punya pesan inti tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan tidak hanya kesetaraan tetapi juga keadilan hakiki bagi perempuan.
Bagaimana pendapat Anda terkait penafsiran Kiai Faqih di dalam buku Qira’ah Mubadalah ?
Ada 3 model cara melihat al-Quran yang kemudian berimplikasi kepada hubungan antara teks dengan realitas dan arah tafsir. Pertama, al-Quran adalah qadim. Dia sudah ada sejak zaman azali. Karenanya, al-Quran itu bukan universal dan absolut.
Nah cara pandang seperti ini, lalu melahirkan cara melihat Quran antara teks dengan realitas. Di mana realitas tunduk mutlak kepada teks. Kalau tidak bisa ditundukan realitas itu. Maka realitas itu tidak Qurani, tidak islami.
Kedua, al-Quran itu makhluk. Dia baru, karena itu tidak mutlak, absolut dan juga tidak universal. Paradigma seperti ini akan melahirkan cara pandang relasi antara teks dengan realitas. Di mana titik ekstrem-nya adalah teks tunduk kepada realitas. Maka teks selalu di cari-cari hanya untuk melegitimasi saja.
Nah cara pandang seperti ini, maka tafsir tidak menemukan makna baru. Pandangan ini menganggap kita jangan terpenjara oleh pengalaman dan pengetahuan masyarakat terhadap masa lampau, dimana al-Quran itu diturunkan.
Ketiga, al-Quran itu kalamullah yang azali. Yang dimaksudkan al-Quran di sini bukanlah deretan lafadz-nya melainkan makna yang ada dibalik lafadz itu. Makna yang ada di balik lafadz itu adalah pesan universalnya.
Makanya sama-sama kalamullah, tapi ke Nabi Musa menjadi Kitab Taurat, ke Nabi Isa menjadi Kitab Injil dan sebagainya karena pesannya sama yaitu tauhid dan kemaslahatan.
Misalnya apakah adil atau tidak ini menjadi nilai yang stagnan. Cara pandang tafsirnya itu untuk memahami makna klasik dulu tetapi tidak berhenti. Karenanya Mas Faqih dan Fazlur Rahman akan ketemu.
Mungkin caranya saja yang berbeda tetapi pada prinsipnya sama-sama, bahwa prinsip universal itu harus dipegang erat. Teks tidak boleh dipahami bertentangan dengan prinsip universalnya.
Dari prinsip universal tersebut. Menurut Anda bagaimana cara menerapkan metode mubadalah sebagai sebuah pendidikan ?
Kita harus meyakini bahwa perempuan dan laki-laki itu sama-sama subjek kehidupan, baik di dalam rumah tangga (domestik) maupun ruang publik. Maka jelas kedua-duanya perlu berilmu dan mencari pengetahuan.
Hal ini agar kemaslahatan manusia itu bisa pertimbangkan dari kedua belah pihak. Perempuan yang berpendidikan itu kuat. Maka penting untuk dipertimbangkan dalam rumusan kemaslahatan keluarga dan kemasalahatan di ruang publik.
Maka dari itu metode mubadalah lebih kepada keseimbangannya. Mubadalah itu laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas kemaslahatan, dan sama-sama punyak hak untuk dihindarkan dari kemafsadatan
Menurut Anda sejauhmana kesadaran masyarakat terhadap perempuan ?
Ada 3 tingkat kesadaran tentang kemanusiaan perempuan. 1). Kesadaran paling rendah, perempuan itu bukan manusia. Mungkin di alam bawah sadar kita mengatakan bahwa manusia adalah laki-laki. Sehingga seringkali masyarakat masih mewarisi satu cara pandang bahwa perempuan bukan manusia. Karena bukan manusia, tentu perempuan diperlakukan tidak manusiawi.
2). Kesadaran berikutnya adalah perempuan itu manusia tapi standar kemanusiaannya adalah laki-laki. Maka hanya pengalaman dan unsur dari perempuan yang sama dengan laki-laki disebut manusia.
Lalu bagaimana yang tidak?. Apakah yang tidak belum disebut sebagai bagian dari kemanusiaan melainkan baru dipahami sebagai keperempuanan?
Saya mencontohkan, misalnya angka kematian ibu tinggi, tetapi belum dianggap sebagai problem kemanusiaan. Kenapa demikian. Karena hanya perempuan yang mengalaminya. Atau bahkan korban kekerasan seksual sudah berjatuhan sedemikian rupa, tetapi belum dianggap sebagai problem kemanusiaan.
Nah kesadaran menengah ini maka akan ada cara berpikir. Pertama, apa yang maslahat bagi laki-laki pasti maslahat bagi perempuan, padahal belum tentu seperti itu. Misalnya yang buruk bagi laki-laki, bisa jadi sangat bahaya untuk perempuan. Contohnya adalah perkawinan anak.
Kedua, secara sosial yaitu sistem patriakhi. Maka perempuan bisa mengalami bentuk ketidakadilan hanya karena dia perempuan, seperti stigmasisasi, perempuan sumber fitnah.
Ketiga, marjinalisasi. Perempuan dipinggirkan bahkan terkait hal penting dalam hidupnya. Misalnya nikah secara paksa. Padahal perempuan itu akan mempunyai anak (reproduksi). Kenapa tidak ditanya setuju atau tidak.
Keempat, subordinasi. Mereka masih menganggap perempuan tidak penting. Sehingga perempuan hanya sebagai objek seksualnya saja, tidak dilihat dari sisi hak-haknya.
3). Nah kesadaran terakhir adalah melihat laki-laki dan perempuan sama-sama manusia. Standar kemanusiaannya sama, yaitu memperhatikan kekhasan perempuan secara biologis dan secara sosial.
Maka kemaslahatan agama mempertimbangkan secara biologis dan sosial. Baru itu yang disebut dengan kesadaran tertinggi. Dan ketika Islam menentukan Rukun Iman itu laki-laki dan perempuan sama persis. Maka, perempuan juga harus salat tetapi ada dispensasi, seperti menstruasi. Itu perhatian kepada kondisi khas perempuan secara biologis.
Kemudian posisi kesadaran kita saat ini menurut Anda ada dimana ?
Masyarakat modern atau kita saat ini masih ada di kesadaran menengah. Buktinya masih ada Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Padahal sudah ada Komnas Hak Asasi Manusia (HAM).
Kita harus menuju pada kesadaran tertinggi, karena Islam mengajarkan tauhid. Di samping tauhid, manusia juga menjadi khalifah fil ard yang punya mandat untuk berbuat kemaslahatan di muka bumi.
Artinya perempuan tidak boleh menyembah kepada laki-laki dan laki-laki tidak boleh menuntut perempuan untuk menyembah kepada dirinya. Karena keduanya hanya boleh menyembah kepada Allah.
Apa pesan Anda untuk masyarakat ?
Perempuan itu bukan mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan laki-laki. Tetapi laki-laki dan perempuan sama-sama, yaitu sebagai khalifah fil ard. Mengabdikan hidupnya untuk kerjasama demi kemaslahatan makhluk Allah dimuka bumi atas dasar iman kepada Allah. Dan itu sangat dahsyat sekali. []