Mubadalah.id – Ayam Betina Yang Berkokok adalah sebutan untuk Rahmah El Yunusiyyah oleh seorang budayawan Minang, Khairul Jasmi, dalam bukunya Perempuan Yang Melampauai Zaman. Ya, memang ini adalah analogi yang cocok untuk menggambarkan kehebatan Rahmah El Yunusiyyah dalam mematahkan stigma-stigma ketidakberdayaan perempuan di masanya.
Jika di masa itu karena terbatasnya akses pendidikan dan kuatnya dominasi patriarki dalam adat dan agama, hanya ayam jantan sajalah yang boleh berkokok. Tapi Rahmah dengan segala kompleksitas kepribadian dan kepemimpinannya mematahkan stigma itu. Bahwa ayam betina tidak hanya bisa bertelur.
Ia dengan sensitifitasnya terhadap kaum perempuan maju menjadi seorang pelopor pendidikan Islam modern perempuan yang pertama di Minangkabau. Yakni dengan mendirikan sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang tahun 1923, di usianya yang masih sangat belia yaitu 23 tahun.
Rahmah juga lah yang maju ke garis terdepan menghadang kekuasaan Jepang di Meda. Guna menjemput para perempuan Minang yang Jepang sekap untuk mereka jadikan pekerja seks di rumah-rumah bordil. Di bawah komandonyalah negosiasi itu berhasil ia lakukan, dan dengan sedikit trik. Akhirnya para perempuan itu ia serahkan kembali ke kampung mereka di ranah Minang.
Bukan Perempuan Biasa
Rahmah memang bukanlah perempuan sembarangan. Ia berasal dari keluarga dengan darah keulamaan yang kental. Ayahnya merupakan seorang qadi di daerah Pandai Sikek, ibunya merupakan salah seorang dari garis keturunan Haji Miskin, seorang ulama dan tokoh perang Padri yang terkemuka di Sumatra Barat.
Tak hanya sampai di situ, kakaknya Zainuddin Labay El Yunusi juga merupakan seorang ulama dan pelopor pendidikan Islam modern pertama di ranah Minang. Seperti yang Deliar Noor sebutkan dalam Gerakan Modern Islam Di Indonesia. Ia dengan demikian lahir dalam lingkungan keluarga berdarah ulama dengan latar belakang adat kebudayaan Minangkabau sebagai lanskapnya.
Tahun 1900 merupakan tahun-tahun kolonialisme di Indonesia. Namun perempuan merupakan posisi yang paling rentan di masa-masa itu. Di tahun-tahun itu perempuan tergolongkan dalam kelompok subaltern. Yaitu sebutan untuk kaum perempuan di era kolonialisme di Indonesia. Mereka adalah kelompok dalam masyarakat Hindia-Belanda yang mengalami penjajahan dua kali. Baik itu oleh kolonial maupun oleh adat.
Kondisi Perempuan Minangkabau pada Akhir Abad 19
Kondisi ini jugalah yang perempuan Minangkabau alami pada akhir abad 19 hingga awal abad ke 20. Risa Marta Yanti dalam Jurnal Kafaah, mengatakan bahwa kehidupan perempuan saat itu telah diatur sedemikian rupa oleh adat dengan porsi yang pas. Pada tataran tertentu siklus kehidupan mereka tidak lepas dari siklus domestik belaka. Kiprah seorang perempuan tidak boleh melampaui kehidupan rumah dan anak-anaknya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Loeb E.M dalam Sumatera, Sejarah, dan Masyarakatnya, bahwa pada era itu gadis Minang yang memassuki masa pubertas akan dijaga dengan sangat ketat oleh pihak keluarga dan pesukuannya. Hal ini guna menjaga mereka dari hal-hal yang buruk di luar rumah. Sehingga peran mereka hanya berputar di dalam rumah gadang tanpa bisa melepaskan diri dari siklus peran sebagai anak perempuan, remaja perempuan, istri serta ibu bagi anak-anak mereka.
Meskipun lahir dan dibesarkan pada masa di mana masyarakat masih berpegang pada stereotype bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Di mana harapan, impian dan cita-citanya tidak sepenting semua tugas domestik yang dibebankan kepadanya.
Namun Rahmah El Yunusiyyah berhasil lolos dari suasana pengkerdilan terhadap perempuan tersebut. Dia justru tumbuh mekar, ranum, dan rindang. Dia berhasil tidak hanya mematahkan stigma namun juga membuktikan bahwa perempuan di tengah konteks social yang belum terlalu supportif bisa tumbuh menjadi apapun yang ia mau.
Sehingga dari perjalanan hidupnya yang unik itu, dapatlah kita ambil beberapa pelajaran hidup untuk konteks perempuan hari ini.
Agama Menjadi Ruh Kemajuan Perempuan
Satu hal yang kental ketika menyebut Rahmah El Yunusiyah adalah keulamaanya. Karena keulamannya dan kepeloporannya di bidang pendidikan Islam bagi perempuan yang ia berikan. Rahmah mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar. Itu adalah gelar syaikhah pertama yang Al-Azhar berikan untuk seorang perempuan, dan itu adalah sebuah kebanggaan bagi perempuan, Minang, dan Indonesia.
Besar dan tumbuh dari keluarga ulama, serta menjadi seorang ulama pula menjadikan Rahmah memaknai agama sebagai sebuah dorongan yang kuat untuk maju. Jika tradisi adat saat itu cenderung memposisikan perempuan di sudut-sudut rumah. Hal ini ia timpali pula oleh agama dengan narasi-narasi teologisnya menganggap perempuan sebagai fitnah yang juga harus dirumahkan.
Maka secara kultur dan diperkuat oleh narasi teologis saat itu, perempuan secara psikologis terjebak dalam asumsi bahwa suara mereka tidak berarti. Keterlibatan mereka akan menimbulkan fitnah, dan kepemimpinan mereka akan memunculkan masalah baru. Tapi Rahmah berjalan menghadang semua stigma itu dan muncul dengan sebuah pembuktian.
Ia dengan baju keulamaan perempuannya, kemudian maju menjadi seorang komandan perempuan TKR Pertama di Sumatra Barat, yang melatih siswi-siswinya untuk bergerilya. Padahal pemimpin perempuan saat itu adalah ketidakwajaran. Ia dengan baju keulamaanya pula yang memprakarsai dilepaskannya para gadis Minang yang diculik dan di bawa ke Medan.
Menjadi Anggota DPR
Rahmah dengan baju keulamaannya maju menjadi anggota DPR mewakili Masyumi di tahun 1955. Dan dia pulalah dengan tangannya sendiri berbalut baju kurung basiba dan lilik menjadi perempuan yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di halaman sekolahnya tepat ketika mendengar kabar kemerdekaan bangsanya.
Pembatasan-pembatasan yang telah hukum adat tetapkan terhadap perempuan. Serta pengetahuan agama yang pada zaman itu masih kental dengan dominasi patriarki. Sama sekali tidak menghalangi Rahmah untuk maju. Baginya agama adalah ruh kemajuan, yang sama sekali tidak membatasi perempuan untuk melampaui dinding rumah dan anak-anaknya.
Dengan demikian kiprah Rahmah yang luas di masa-masa hidupnya, tidak dapat kita lepaskan dari spirit Islam itu sendiri. Spirit Islam yang selalu melekat di dalam diri Rahmah mengajarkan perempuan hari ini untuk percaya, bahwa Islam dan kemajuan perempuan adalah dua hal yang berkelindan bukan saling bertentangan. []
Impian yang Berorientasi Kontribusi Menjadikan Abadi
Benang merah yang dapat diambil dari perjalanan kehidupan Rahmah El Yunusiyah adalah kegigihannya dalam mewujudkan cita-citanya untuk kaum perempuan. Dan semua yang dia lakukan dalam hidupnya selalu menuju kembali kepada goal besarnya itu. Yaitu kemajuan untuk para perempuan.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa ternyata Rahmah telah lama mempraktikkan apa yang baru-baru ini Angela Lee Duckworth sebut dengan the grit. Yakni sebuah faktor paling menentukan kesuksesan hidup seseorang. The grit dapat kita artikan sebagai kegigihan yang tinggi. Di mana hal itu berperan paling besar dalam menentukan kejayaan seseorang.
Spirit inilah yang tampaknya selalu mengilhami Rahmah dalam perjalanannya memperjuangkan hak-hak pendidikan perempuan. Sehingga meskipun sekolahnya diguncang dan diluluhlantahkan gempa beberapa kali, ia tetap bangkit dan terus lahir dengan semangat baru yang lebih kuat untuk membangun ulang Diniyyah Putri Padang Panjang.
Membaca Rahmah akan mengubah paradigma kita tentang menjadi perempuan yang sukses. Jika sukses selalu masyarakat asosiaskan sebagai pencapaian dan kepemilikan. Namun Rahmah mengajarkan melalui cerita hidupnya. Bahwa sukses bukanlah tentang berapa banyak penghargaan yang kamu terima, atau berapa banyak harta yang kamu kumpulkan. Melainkan melampaui itu semua yakni kontribusi yang tulus untuk perempuan dan kemanusiaan.
Rahmah seperti perempuan, yang hari ini tidak dipusingkan oleh tren pakaian terbaru. Lalu status sosial yang tinggi, dengan pencapaian apa lagi untuk melambungkan nama baik. Rahmah telah berpikir keluar dari diri sendiri. Ia telah melebur menjadi kehidupan orang banyak. Sehingga apa yang menjadi pertanyaan awalnya saat menatap kehidupan adalah apa yang dapat aku berikan. []