Mubadalah.id – Satu hal yang menarik untuk dicermati, bahwa dalam salah satu kisah, al-Qur’an mengungkap seorang perempuan yang sukses pemilik otoritas politik suatu bangsa yang besar. Para ahli tafsir menyebut nama perempuan tersebut dengan Ratu Balqis, seorang Ratu dari negeri Saba, Yaman.
Kesuksesannya memimpin negara tercatat dalam al-Qur’an dengan menuturkan pribadinya yang rasional, menghargai pikiran, dan mendengar pendapat orang lain.
Suatu ketika Sulaiman, seorang Raja sekaligus Nabi, mengajaknya meng-Esa-kan Tuhan, dia mengatakan kepada para menterinya: “Berikan pendapatmu mengenai ajakan ini. Aku tidak dapat membuat keputusan sendiri tanpa kalian.”
Kisah ini memperlihatkan sebuah contoh bahwa perempuan mampu menjadi kepala pemerintahan. Tampak pula dari kisah itu bahwa keberhasilan memimpin sebuah bangsa tidak berdasarkan atas jenis kelamin tertentu, melainkan pada bentuk mekanisme yang seharusnya seorang pemimpin lakukan.
Permintaan Ratu Balqis kepada para menterinya menunjukkan bahwa dia menggunakan mekanisme syura atau demokrasi, sebuah mekanisme normatif universal yang seharusnya melandasi setiap pengambilan kebijakan publik atau politik.
Sayangnya, informasi al-Qur’an terkait kisah tersebut seringkali terabaikan oleh banyak kebudayaan mainstream. Bahkan banyak pandangan justru mengingkari kemampuan perempuan memimpin sebuah komunitas, apalagi sebuah bangsa.
Berbeda dengan mainstream tersebut, Ibnu Arabi dalam master piece-nya, al-Futuhat al-Makiyyah, mengungkapkan apresiasi yang sangat tinggi terhadap perempuan:
Perempuan adalah belahan laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh wadag
Keduanya satu dalam eksistensi: sang manusia
Perbedaan mereka adalah aksiden
Keduanya dibedakan oleh budaya
Raja para penyair Arab, Ahmad Syauqi, dan Penyair Nil, Hafiz Ibrahim menampilkan puisi-puisi penguak fakta sejarah masa lampau saat begitu banyak perempuan Islam tampil di panggung sejarah peradaban manusia. []