• Login
  • Register
Selasa, 13 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Realitas Sosial Ulama Perempuan pada Abad ke-16 hingga ke-19

Pada abad ke-17 dan ke-18, ada Sultariah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kesultanan Aceh Darussalam, pemimpin yang peduli terhadap nasib perempuan dan mengembangkan pasukan Inong Balee.

Redaksi Redaksi
27/03/2025
in Hikmah, Pernak-pernik
0
Realitas Sosial Ulama Perempuan

Realitas Sosial Ulama Perempuan

903
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Realitas sosial ulama perempuan dipengaruhi oleh konteks geopolitik, budaya, dan proses asimilasi Islam dengan berbagai budaya lokal. Islam hadir di Indonesia diperkirakan pada abad ke-12 sebagai agama baru. Kehidupan keagamaannya terbuka bagi perempuan untuk beraktivitas di mana pun, termasuk di ruang publik.

Meskipun peran perempuan belum tercatat dalam sejatah Islam pada masa awal masuk ke Indonesia, pada abad ke-16 terdapat sejumlah perempuan yang memiliki peran cemerlang.

Jika mengacu pada dokumen sejarah perempuan Islam Indonesia dalam “Dokumen Resmi Proses dan Hasil KUPI I” yang dirangkum oleh Faqihuddin Abdul Kodir, tercatat kiprah sejumlah perempuan unggul.

Di antaranya Ratu Sinuhun (1642), istri Raja Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki karya monumental Kitab Simbur Cahaya. Kitab ini adalah undang-undang tertulis sebagai paduan hukum adat dengan hukum Islam yang melindungi perempuan.

Pada abad ke-17 dan ke-18, ada Sultariah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kesultanan Aceh Darussalam, pemimpin yang peduli terhadap nasib perempuan dan mengembangkan pasukan Inong Balee.

Ada pula Fatimah Al-Banjari, cucu pertama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, cendekiawan penulis kitab Arab Melayu yang populer di Banjar dan Melayu. Karyanya menjadi rujukan umat dalam beragama dan beribadah sampai sekarang, yakni Perukunan Jamaluddin.

Baca Juga:

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

Menilik Kiprah Ulama Perempuan dalam Menguatkan Hak Penyandang Disabilitas

Doa, Mubadalah, dan Spirit Penguatan Perempuan: Catatan Reflektif dari Kuala Lumpur

Menyoal Kesaksian Perempuan: Antara Teks dan Realitas

Kemudian, dari Sulawesi terdapat Siti Aisyah We Tenri Olle, Ratu Tanete di Sulawesi Selatan. Dari Kepulauan Riau, ada Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870-1924), cucu Raja Ali Haji, Riau. Ia menjadi penulis sejak remaja dan menyikapi ketidakadilan terhadap perempuan.

Di abad ke-19 hingga masa pergerakan kemerdekaan Indonesia ada nama Nyai Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, Rohana Koedoes, Hajah Rangkayo dan Rasuna Said. Bahkan Nyai Khoiriyah Hasyim dengan kiprahnya masing-masing.

Dalam dinamika realitas sosial dan kultural ini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir untuk menegaskan eksistensi ulama perempuan. Serta mengapresiasi peran dan kiprah mereka dalam mewujudkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. []

Tags: Abad Ke-16Abad Ke-19Realitassosialulama perempuan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

13 Mei 2025
Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

13 Mei 2025
Islam

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

11 Mei 2025
Menyusui

Menyusui adalah Pekerjaan Mulia

10 Mei 2025
Bekerja adalah

Bekerja adalah Ibadah

10 Mei 2025
Mengapa Bekerja

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

10 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version