• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Refleksi Hari Kartini: Mengenal Awal Gerakan Emansipasi

Perjuangan Kartini belum usai! Faktanya masih banyak budaya yang dulu dihancurkan oleh Kartini, justru sekarang masih dipopulerkan bahkan dianggap budaya baik.

Hoerunnisa Hoerunnisa
27/04/2021
in Pernak-pernik
0
Kartini

Kartini

163
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari lalu kita tenggelam dalam euforia perayaan hari Kartini, hampir semua organisasi perjuangan han-hak perempuan mengadakan agenda-agenda berupa diskusi, perlombaan, nonton bareng film Kartini dan lain-lain, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan Kartini untuk perempuan. Bagaimana tidak, Kartini adalah salah satu perempuan hebat yang memperjuang perempuan untuk keluar dari belenggu budaya patriarki, yang kita kenal salah satu strateginya yaitu lewat pendidikan.

Namun sebelum jauh membahas bagaimana perjuangan Kartini, pernah tidak terfikirkan bagaimana kartini bisa sampai pada fase kesadaran yang menghasilkan pemberontakan terhadap budaya patriarki? Karena setiap pemberontakan pasti ada latar belakangnya, untuk kemudian membentuk sebuah kesadaran. Tentunya asal usul pemberontakan Kartini sangat menarik untuk dibahas.

Di dalam buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang” berisikan kumpulan surat-surat Kartini yang dikirim kepada sahabat penanya, salah satu suratnya, Kartini menceritakan bagaimana asal mula pemberontakannya terbentuk. Hal tersebut berawal dari percakapan sederhana dengan teman sekolahnya.

Siang hari, di lorong sana tampaknya Kartini sedang berusaha membujuk Lesti, salah satu teman sekolahnya untuk menceritakan isi sebuah buku yang telah selesai dibacanya. Tetapi Lesti menolak keras, karena pada saat itu sedang sibuk belajar bahasa belanda, padahal bukan jam pelajarannya.

“Ayolah Les ceritakan isi buku itu sakarang, belajar bahasa belanda bisa nanti sepulang sekolah!” bujuk Kartini dengan nada memohon. Lestipun menjawab dengan sigap tanpa berfikir panjang “Ni, aku harus bekerja keras belajar bahasa belanda, karena dengan itu aku bisa sekolah untuk mewujudkan cita-citaku menjadi guru. Ohiya Ni kalau cita-citamu menjadi apa?”

Baca Juga:

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

Pertanyaan yang sederhana, tetapi membuat Kartini berputar memikirkannya “Tidak tau Les!” jelas dia tanpa basa basi. “Hayolah Ni masa tidak punya cita-cita?” Tanya Lesti penuh dengan keheranan, karena tidak habis pikir seorang siswa cerdas seperti Kartini tidak memiliki cita-cita. Lalu sepulang dari sekolah sampai rumah, pertanyaan itu masih menghantui kartini, “apa cita-citaku? Seberapa penting cita-cita itu?” Kartini mulai diambang ke galauan.

Setelah tiba di rumah dan menyimpan alat tulisnya, Kartini langsung bergegas menghampiri ayahnya “Yah, akan jadi apa aku kelak nanti?” Kartini bertanya dengan penuh harapan bisa menemukan jawaban dari ayahnya. Tetapi tidak sesuai ekspetasi, ayahnya terdiam dan hanya tersenyum sambil mencubit pipi Kartini.

Di tengah obrolan mereka, ternyata kakaknya mendengar percakapan mereka sehingga menghampirinya “Hah harus jadi apakah para gadis? Ya tentunya menjadi Raden Ayu!” jawab kakaknya sambil tertawa nyinyir. Kartini langsung terdiam “Raden Ayu? Apakah Raden Ayu itu?” pertanyaan itu terus terbayang dan Kartini mencoba menemukan jawabannya.

Setelah berfikir dan mencoba memandang sekelilingnya, akhirnya Kartini menemukan maknanya. Raden Ayu adalah gelar kebangsaan Jawa yang diberikan kepada seorang perempuan keturunan ningrat yang menikah dengan seorang laki-laki dari generasi kedua hingga ketujuh dari raja terdekat. Dan pada saat itu menjadi salah satu tradisi yang dijunjung tinggi, dimana para gadis harus kawin, harus jadi milik laki-laki tanpa bertanya apa, siapa dan bagaimana.

Dari sana mulailah pemberontakan Kartini, dia merasa perempuan berhak memiliki cita-cita sebagai manusia utuh dan kawin itu bukan tujuan ataupun cita-cita perempuan. Apalagi setelah kawin perempuan adalah hak mutlak milik laki-laki, padahal menurut kesadarannya perempuan berhak atas penentuan nasibnya sendiri. Dan dalam penentuan perkawinanpun perempuan berhak seutuhnya memilih kapan dan dengan siapa dia akan menikah.

Praktik perjodohan saat ini masih marak, begitupun budaya yang beranggapan menikah itu cita-cita dan tujuan hidup perempuan, bukan kah ini suatu kemunduran besar? Jika dulu Kartini berjuang untuk mengeluarkan perempuan dari belunggu tersebut, lantas apa alasan kita sekarang untuk tetap mempertahankannya? Sebuah hal yang bodoh dan sia-sia bukan?.

Saya jadi teringat salah satu kutipan Kartini yang sangat popular “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tidak bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam” seharusnya kutipan ini menjadi semboyan para perempuan untuk senantiasa bercita-cita tinggi dan menggapainya, perempuan bebas bercita-cita apapun, terserah! Setinggi apapun!

Perjuangan Kartini belum usai! Faktanya masih banyak budaya yang dulu dihancurkan oleh Kartini, justru sekarang masih dipopulerkan bahkan dianggap budaya baik. Mari menjadi Kartini abad 21, menjadi Kartini artinya menjadi seseorang yang selalu konsisten dalam memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. []

Tags: emansipasiGendergerakan perempuanhari kartinipahlawan nasionalPahlawan Perempuanperempuan
Hoerunnisa

Hoerunnisa

Perempuan asal garut selatan dan sekarang tergabung dalam komunitas Puan menulis

Terkait Posts

Nabi Saw

Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

18 Juli 2025
rajulah al-‘Arab

Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

18 Juli 2025
Sejarah Perempuan

Mengapa Perempuan Ditenggelamkan dalam Sejarah?

18 Juli 2025
Rabi’ah al-Adawiyah

Belajar Mencintai Tuhan dari Rabi’ah Al-Adawiyah

18 Juli 2025
Sejarah Perempuan dan

Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

17 Juli 2025
Menjadi Pemimpin

Perempuan Menjadi Pemimpin, Salahkah?

17 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID