Mubadalah.id – Relasi suami dan istri dalam sebuah perkawinan seharusnya setara. Sayangnya, di negeri kita sering terjadi suami dianggap sebagai pihak yang lebih dominan. Dalam masyarakat patriarki, dominasi pria dianggap sebagai hal yang wajar. Tak heran jika sering ditemukan suami yang tidak memberikan kontribusi berarti dalam melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Bahkan dalam banyak rumah tangga tugas mengasuh anak pun nyaris sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri. Jadi bagaimana kunci pernikahan yang baik?
Minimnya peran suami dalam tugas-tugas domestik rumah tangga kadang memaksa istri lebih memilih untuk tinggal di rumah, melepaskan pekerjaan dan karier agar bisa lebih fokus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak yang memang membutuhkan banyak energi. Kalaupun istri memutuskan tetap bekerja, bebannya justru semakin berlipat karena masih harus berkutat dengan urusan domestik dan anak di rumah.
Devia, seorang mompreneur dan ibu satu balita, mengaku pernah ada dalam fase kode-kodean kepada suami agar mau ikut terlibat dalam urusan domestik. Namun kini masa tersebut telah berlalu. Saat ini untuk melakukan tugas rumah tangga, selalu ada pembagian kerja yang jelas seperti siapa melakukan apa.
“Kebanyakan istri itu ekspektasinya tinggi, sementara suami tidak peka. Karena kesal sendiri, akhirnya saya sampai pada titik ngomong langsung agar dia mengerjakan urusan rumah. Ternyata kalau diomongin, suami mau kok ngerjain. Pasutri itu satu tim seumur hidup, kalau komunikasinya hanya kode ya mau sampai kapan?” ujarnya.
Devia memperhatikan bahwa sikap cuek suaminya berasal dari pola didik di masa kecil yang keras, sehingga cenderung pasif dan kerap memendam perasaan. Devia pun berusaha mencoba cara berkomunikasi lain yang santai.
“Setiap hari saat pillow talk, kami selalu review seharian tadi ada kejadian apa. Kemudian saya bilang tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Saya ingatkan juga bahwa anak perempuan kami suatu hari nanti bakal cari sosok ideal untuk pasangan hidup dan role modelnya adalah ayahnya sendiri,” ungkap Devia.
Setelah beberapa kali berdiskusi, suami Devia pun perlahan berubah dan mau turut kerjasama dalam pekerjaan rumah tangga dan pola didik anak, terutama untuk membiasakan kata “tolong”, “terima kasih”, dan “maaf”. Suaminya juga kini tidak lagi memandang permintaan maaf adalah sesuatu yang mahal atau gengsi.
“Untuk ada di titik seperti sekarang itu tidak mudah. Semuanya berproses. Sekarang setelah relasi kami lebih baik dan lancar menuangkan pikiran, perasaan saya lebih happy. Meskipun capek ngerjain tugas domestik rasanya tetap senang aja. Saat menghadapi anak pun lebih mindfull,” sambungnya.
Pentingnya Berbagi Peran
Kesetaraan dalam relasi tak hanya berkutat dalam urusan mengerjakan urusan rumah tangga, tetapi juga dalam peran sebagai orang tua dalam pengasuhan anak. Seperti yang dialami Orin, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi sekaligus ibu dari dua anak.
“Untuk urusan domestik, suami mendatangkan asisten rumah tangga. Kami juga berbagi tugas secara alami saja. Namun untuk urusan anak awalnya aku sendiri yang mesti struggling karena latar belakang keluargaku demokratis, sedangkan suami bukan seperti itu. Merasa urusan anak ya tugas istri. Awalnya sulit buatku, namun akhirnya suami sadar juga. Kami sepakat untuk mengasuh secara bersama,”
Orin sempat jadi kaum sumbu pendek dan sering melampiaskan omelan kepada anak. Lelah dan stres adalah penyebabnya. Ia pun mengakui berkontribusi terhadap tumbuh kembang emosional sang anak yang jadi sering marah dan sensitif.
“Setelah konsultasi dengan psikolog, anakku perlu manajemen emosi yang baik dan aku harus berupaya memperbaikinya supaya tidak jadi innerchild saat dia dewasa,” tuturnya.
Setiap orang mengalami stres dan beban berbeda. Ketika seseorang menyadarinya, ini adalah pertanda yang baik. Namun budaya di negeri ini masih belum sepenuhnya sadar akan kesehatan mental dan masih enggan ke profesional karena masih takut akan stigma sakit jiwa dari lingkungan.
“Harus diakui kultur di Indonesia belum bisa mendukung penuh kaum ibu. Patriarki membuat hal ini jadi luar biasa sulit dan belum optimal. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang punya kesadaran akan hal ini karena yang lebih berpengaruh itu ya kultur. Padahal dalam perspektif hukum, setiap orang punya hak sehat secara mental. Hukum normatif menjamin kesehatan yang tidak hanya fisik, tapi juga mental,” papar Orin yang pernah mengenyam pendidikan magister hukum di Prancis ini.
Beban yang bertumpuk pada satu pihak saja akan menyulitkan diri dalam memberi ruang untuk meregulasi emosi dan stres. Perlu adanya pembagian tugas dan peran yang jelas dalam setiap keluarga melalui diskusi yang melahirkan kesepakatan terkait hak dan tanggung jawab untuk meminimalisasi stres.
Menurut psikater dr. Elvine Gunawan komunikasi merupakan strategi terkait pembagian peran. Ketika dalam hubungan ada yang otoriter atau merasa superior maka tidak aka nada pola komunikasi yang sehat. Ini yang jadi sumber stres dan biasanya sang ibu yang lebih banyak mengalami.
“Apabila salah satu pasangan terus menerus dituntut kewajiban tanpa diberikan hak, tentu itu akan menyebabkan gangguan mental dan emosional. Ini adalah hal yang penting disadari karena kontrol terhadap stres akan menentukan apakah suatu keluarga itu menjadi wellbeing atau disfungsional,” tutur dr. Elvine.
Dampak Negatif Relasi Timpang Orang Tua Kepada Anak
Role model pertama bagi seorang anak adalah orang tuanya. Hubungan antar orang tua pun akan menjadi gambaran kepada anak tentang bagaimana pola relasi yang bijak. Keharmonisan dan komunikasi efektif tentu hanya bisa terjadi dalam relasi yang setara.Tak heran jika dalam relasi yang timpang, akan selalu ada pihak yang merasa bebannya paling berat.
Menumpuknya rasa stres yang terpendam tentu bisa berakibat fatal karena dapat meledak kapan saja. Alhasil pada akhirnya perpaduan kelelahan fisik, kewajiban domestik, dan tekanan mental kerapkali menjadikan anak sebagai sasaran pelampiasan karena istri tak mampu mengomunikasikannya kepada suami akibat ketimpangan relasi sejak awal.
Kejadian ini bisa diperparah jika si suami yang merasa dominan justru menganggap sang istri tak memiliki rasa bersyukur dan kurang iman. Bahkan jika sang anak berulah di luar rumah, ibu atau istrilah yang selalu disalahkan, seperti ujaran “Ibu kemana? Ngapain aja? Kok anaknya bisa nakal dan susah diatur kayak gini?”
Fenomena tersebut menjadi gambaran bahwa relasi yang tidak setara memiliki efek domino dan berdampak kemana-mana. Tak hanya ketimpangan relasi bersama pasangan, tetapi juga terhadap pengasuhan anak. Ibarat kendaraan, ibu yang lelah secara mental itu kayak mobil yang tangki bahan bakarnya kosong karena tidak dapat kenyamanan, keamanan, dan cinta. Ini bisa terjadi jika support system di sekitar ibu tidak menyuplainya. Kalaupun dipaksa jalan tentu akan mogok, ada masalah di perjalanan, bahkan bisa meledak.
“Apalagi di zaman sekarang yang seolah tolak ukurnya adalah media sosial. Ibu yang tangkinya kosong akan semakin sulit menjalankan mindfull parenting. Miris juga kalau ada apa-apa, tameng pertama yang disalahkan adalah si ibu. Padahal warganet tak tahu seperti apa ibu tersebut diperlakukan oleh support system, misalnya suami atau mertua,” ujar Devia.
Menurut dr. Elvine, kondisi mental yang tidak baik pada ibu akan berpengaruh terhadap pola pemikiran, respon emsoi, dan respon perilaku yang mengakibatkan trauma lebih lanjut kepada anak. Proses negatif tersebut akan menjadikan ibu menjadi lebih reaktif dan mudah memberikan kekerasan kepada anak-anaknya.
Perilaku tersebut kemudian berpengaruh pada pola asuh toksik yang akan memunculkan masalah kepercayaan diri anak, konsep diri, bahkan persepsi anak yang menjadi negatif. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan kematangan dalam proses pertumbuhan kepribadian anak, sehingga berdampak pada gangguan mental emosionalnya di masa remaja.
Pentingnya Kesepakatan Sejak Sebelum Menikah
Kesepakatan antar pasangan semestinya sudah dibangun sebelum pernikahan terjadi. Perbincangan bukan sekedar fokus pada pemilihan vendor seperti dekorasi atau penata rias untuk hari H, melainkan juga tentang bagaimana tujuan dan fungsi keluarga. Penting juga mengomunikasikan peran masing-masing, misalnya istri bekerja tak hanya untuk kebutuhan ekonomi, tetapi juga ekspresi diri dan kebermanfaatan kepada banyak orang.
“Sebelum nikah, perbincangan aku dan suami fokus ke karir, bisnis, dan hal lain tentang kami berdua. Tidak ada pembicaraan how we will grow our family dan tentang mengasuh anak. Ini salah banget karena kami lupa tidak ngobrolin. Aku terlalu berpikir positif yang kemudian zonk karena kami datang dari kultur keluarga yang berbeda. Sempat banyak perbedaan dan akhirnya jadi sumber stres. Ternyata sepenting itu membicarakan pola asuh anak. Menjadi orang tua harus berjuang bersama membesarkan anak,” ungkap Orin.
Sementara itu Devia juga mengaku tidak melakukan diskusi tentang pembagian peran sebelum menikah. Alhasil dia dan suami baru melakukannya ketika sudah sah dan memiliki anak.
“Ibarat baru belajar berenang pas sudah keburu menyemplung. Nah ini harus jadi perhatian kepada calon pasangan lain supaya tidak kayak gini. Apalagi sekarang di media sosial sudah banyak yang ngasih ilmu pranikah, sekolah pranikah juga banyak, jadi tidak ada alasan tidak punya ilmu sebelum menikah. Memperbaiki di tengah jalan itu sulit banget makanya sebelumnya harus diobrolkan, termasuk batasan pekerjaan dan pengelolaan keuangan,” tukasnya.
Pernikahan dibangun oleh pondasi komunikasi yang baik, sehingga penting adanya saling terbuka dan sepakat. Menurut dr. Elvine, pertengkaran tak mungkin dihindari karena setiap orang punya kepribadian masing-masing, membawa pola asuh yang berbeda dari masa lalu, serta membawa perkembangan yang berbeda.
“Tentu sulit untuk menyeragamkan kebiasaan, tetapi ketika ada keinginan beradaptasi dan saling menyesuaikan, itu jadi bagian dari proses pendewasaan. Proses ini bisa dicapai bila kita mengetahui seperti apa pola kepribadian dan komunikasi pasangan, terutama saat berkonflik,” paparnya.
Potensi perilaku kekerasan sebenarnya bisa terdeteksi jika salah satu pasangan memiliki tipe yang melarikan diri dari masalah, misalnya cenderung diam. Sedangkan di sisi lain, pasangannya justru tipikal cemas dan terus menerus berbicara tanpa kontrol yang akhirnya bisa memicu kekerasan.
“Semoga ini bisa jadi pengetahuan untuk remaja yang memutuskan menikah padahal secara emosi kan belum matang. Apabila saat pacaran ada konflik yang berujung kekerasan maka perlu dipikirkan lebih lanjut apakah bisa dilanjutkan ke pernikahan atau tidak,” tutur dr. Elvine menyarankan.
Pesan Untuk Pasangan yang Akan Menikah
Sebelum menjadi suami istri, setiap pasangan perlu melakukan komunikasi secara jujur dan terbuka. Misalnya cita-cita pernikahan, arah gerak keluarga, kestabilan ekonomi, mimpi bersama, termasuk tanggung jawab yang diemban.
“Hal ini penting supaya ketika masuk babak baru dalam rumah tangga, antar pasanga tidak membawa beban masa lalu. Seringkali permasalahan muncul ketika suatu hal baru ketahuan saat menikah, sehingga pasangan merasa selama ini dibohongi dan ada yang ditutupi,” tambah dr. Elvine.
Pola komunikasi terbuka, spesifik, jujur, berdinamika harus berjalan dua arah untuk saling mengetahui apa yang masing-masing perlu dan harapkan secara berani dan detail. Kejelasan berkomunikasi akan membantu mengurangi mispersepsi antar pasangan. Kebutuhan komunikasi yang efektif juga akan membantu pasutri saling memahami satu sama lain.
Pernikahan adalah proses yang dinamis, sehingga perlu pertimbangan kematangan mental dan perilaku serta saling pengertian. Jangan sampai ketimpangan yang terjalin memberikan efek lanjutan yang negatif kepada keturunan kelak. []