Salah satu solusi untuk memutus rantai penyebaran covid-19 adalah WfH, Work from Home, bekerja dari rumah. Tapi apa itu “ rumah”? Jelas itu bukan sekedar bangunan melainkan sebuah konsep yang sangat dinamis dan kompleks. Didalamnya mengandung elemen-elemen sosial, politik, ekonomi, gender bahkan agama.
WHO dan negara-negara di dunia telah mencari solusi dalam penanggulangan covid-19, yang salah satu pilihannya setiap orang bekerja dari rumah, tinggal di rumah, beraktivitas dari rumah. Kita paham itu adalah solusi minimal yang paling aman. Namun kita juga menyadari ada bias dalam konsep itu.
Seolah-olah setiap orang punya rumah, dan setiap rumah memenuhi syarat untuk dihuni bersama oleh anggota keluarganya dengan tetap mempertahankan jarak fisik / sosial di antara anggota keluarganya. Tapi memang apa boleh buat, itu merupakan strategi yang paling mungkin dilakukan; bekerja, beraktivitas dari rumah.
Saya tak hendak membahas keluarga-keluarga yang rumahnya cukup layak untuk dihuni bersama oleh anggota keluarga inti. Minimal ada kecukupan ruangan untuk tidur bagi tiap anggota keluarga, ada minimal satu atau dua kamar mandi, ada ruang tengah atau serba guna (untuk makan, bercengkrama dan belajar) , ada dapur serta ruang untuk mencuci dan menjemur pakaian. Itu adalah rumah ideal. Di atas itu berarti istimewa, di bawah itu penanggulangan covid dari rumah jelas perlu dipikirkan.
Hunian, terutama di kota-kota besar merupakan problem yang sangat kompleks. Secara statistik, kita bisa berhitung kasar terutama untuk kota-kota besar soal komposisi perumahan yang timpang. Jika ada 10 rumah, komposisinya mungkin ada satu rumah istimewa, dua buah rumah ideal, tiga buah rumah lumayan, selebihnya adalah rumah tipe SSSS, (Sederhana Sempit Sumpek Sekali).
Untuk type SSSS ini bagaimana upaya penanggulangan covid dapat dilakukan? Saya bukan ahli tata ruang, tapi saya peneliti. Upaya pencegahan covid di perumahan yang SSSS itu harus melibatkan pengaturan tata ruang dengan melihat upaya pen-jarak-annya.
Ketika saya penelitian untuk penulisan buku “Menolak Tumbang: Narasi Permepuan Melawan Pemiskinan” (2014), saya masuk ke wilayah-wilayah hunian sempit di Surabaya dan Jakarta Utara. Ketika itu di Jakarta sedang heboh upaya pemindahan warga dari wilayah padat dan rawan banjir ke rumah sewa tipe susun (rusun) dan rumah deret. Upaya itu tampaknya kurang sukses dilihat dari tak berkurangnya orang yang meninggalkan hunian di wilayah padat sementara rusun tetap terisi. Ini artinya ada hunian dari kelas sosial lain yang mendapatkan manfaat untuk mengisi rusun itu. Wallahu’alam.
Saya berkesempatan ngobrol dengan warga untuk mencoba mengerti mengapa mereka sulit sekali diajak pindah. Tentu saja pertama-tama soal biaya sewa, tak semua dapat menjangkaunya. Kedua, tempat tinggal mereka, meskipun bersempit-semput biasanya cukup dekat dengan tempat kerja, atau penciptaan jaringan kerja. Hal lain, dan ini jarang dipahami, wilayah itu ternyata bukan sekedar batas-batas geografis melainkan sebuah lempeng sosial di mana perempuan menjadi perekatnya.
Rumah mereka memang sempit. Namun sebetulnya hubungan-hubungan sosial yang telah terbangun merupakan luasan wilayah jelajah mereka. Seorang perempuan berdapur sempit, membuka dapurnya untuk memasak makanan bagi keluarga-keluarga yang tak berdapur atau tak sempat memasak dengan membuka warung makanan jadi.
Hal itu berarti satu dapur menjadi dapur bagi banyak keluarga-keluarga lain. Seorang perempuan penjaga toko, menitipkan anaknya di RT lain sepanjang hari. Jadi baginya seluas itulah “rumah”nya. Dan yang paling ajaib, di malam hari, lempeng sosial itu menjadi rumah dan tempat tidur luas bagi warga utamanya kaum lelaki. Ada yang tidur di mushala, pos ronda, gardu air, emper warung dan kolong rumah panggung.
Dengan bantuan imajinasi lempeng sosial ini, usaha penanggulangan covid 19 di wilayah SSSS tampaknya dapat dilakukan dengan mendayagunakan ruangan-ruangan publik yang tersedia. Jadi mushala, atau sekolah justru tidak ditutup melainkan dijadikan ruang aman untuk menghindar dari berdesak-desaknya mereka di rumah yang memang sudah SSSS. Bahkan tanah lapang seharusnya dapat dimanfaatnya untuk penjarakan fisik/ sosial dengan penyiapan infrastruktur yang memadai.
Tentu saja pengaturan keamanan, pengaturan protokol pencegahan covid 19 harus terlebih dahulu disosialisasikan disertai penyediaan sarana infrastruktur penggunaan ruang publik untuk “mengungsi” agar penjarakan fisik dapat dilakukan. Tanpa itu, keharusan mereka tingga di rumah sebagai prasyarat pencegahan penularan wabah, sementara rumah itu terlalu sempit untuk dihuni bergerak dan bernafas, covid justru akan menular di dalam rumah sendiri. Saya kok melihatnya begitu? []