Mubadalah.id – Nikah sirri. Dua kata yang terdengar Islami, tapi begitu dilematis di telinga masyarakat Indonesia. Di satu sisi, pernikahan ini dianggap sah menurut agama. Tapi di sisi lain, negara tidak mengakuinya karena tidak tercatat secara hukum.
Ini seperti hubungan yang halal tapi dianggap ilegal. Sah tapi nggak sah. Dan ini jadi perdebatan panjang di masyarakat, bahkan jadi senjata bagi sebagian orang untuk menyiasati hukum, atau malah untuk menutupi dosa dengan dalih agama.
Nikah sirri sering kali berkaitan dengan jalan keluar dari zina atau hubungan tanpa ikatan. Misalnya dua sejoli yang sudah pacaran lama tapi belum siap nikah resmi karena belum dapat restu, belum mapan, atau bahkan karena perbedaan status sosial lalu mereka memutuskan “ya udah nikah sirri aja dulu.”
Sah secara agama? Mungkin iya. Tapi bagaimana dengan status hukum dan perlindungan terhadap istri dan anak? Di sinilah masalah besar muncul. Karena dalam sistem hukum di Indonesia, pernikahan yang tidak tercatat dianggap tidak ada. Alias tidak punya kekuatan hukum.
Artinya, sang istri tidak bisa menuntut hak nafkah, warisan, atau perlindungan hukum kalau terjadi apa-apa. Anak yang lahir pun bisa kehilangan haknya secara hukum, seperti akta kelahiran yang sah.
Islam sendiri punya prinsip perlindungan terhadap perempuan dan keturunan. Bukan cuma sekadar sah secara akad, tapi juga harus aman secara sosial. Hadis Nabi Muhammad ﷺ menyatakan:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Bergeser dari Nilai Sakralitas Agama
Sahnya nikah menurut agama Islam bukanlah karena pencatatan di negara, tapi karena terpenuhi syarat-syarat dalam agama seperti wali dan saksi. Inilah celah yang sering terpakai oleh pelaku nikah sirri. Mereka merasa sudah cukup dengan memenuhi syarat agama saja, dan merasa tidak perlu pengakuan negara.
Kalau kita jujur mau jujur di lapangan, praktik nikah sirri ini sudah jauh bergeser dari nilai kesakralan agama. Banyak yang menyalahgunakannya. Contoh paling umum adalah suami yang sudah punya istri sah secara hukum, tapi ingin menikah lagi diam-diam tanpa izin istri pertama.
Maka dipilihlah jalan nikah sirri. Hasilnya Perempuan yang dinikahi kedua jadi tidak punya perlindungan hukum apa pun. Kalau suatu hari ditinggal, ditelantarkan, atau bahkan jadi korban kekerasan, ia tidak bisa mengadu ke negara. Laporan ke polisi pun mental karena tidak ada bukti sah pernikahan.
Yang lebih miris lagi adalah nikah sirri sering juga jadi tameng untuk menghalalkan hubungan diam-diam para selebritas, pejabat, hingga tokoh agama. Masyarakat pun jadi bingung—ini agama dibela atau malah dipermainkan?
Banyak orang mengira bahwa selama niatnya baik dan sah secara agama, maka tidak ada masalah. Tapi lupa bahwa di negara hukum seperti Indonesia, hukum agama dan hukum negara harus jalan beriringan. Seorang perempuan menikah sirri, lalu suaminya meninggal. Apakah ia bisa menuntut warisan? Tidak bisa. Karena menurut negara, pernikahannya tidak pernah ada.
Diskriminasi terhadap Anak
Parahnya lagi banyak anak yang lahir dari nikah sirri harus mengalami diskriminasi. Mereka sulit mendapatkan akta lahir atas nama ayah. Bahkan untuk sekolah pun bisa terkendala karena dokumen tidak lengkap. Ini bukan salah anak, tapi sistem yang tidak bisa mengenali pernikahan rahasia orang tuanya.
Dalam Al-Qur’an pun ada prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi atau akad, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Walaupun konteksnya tentang utang piutang, prinsipnya bisa kita terapkan dalam akad nikah. Karena pernikahan jauh lebih kompleks dari sekadar utang. Ada hak perempuan, hak anak, dan tanggung jawab sosial yang menyertainya. Jadi, mencatatkan pernikahan bukan hanya formalitas, tapi bentuk nyata dari kehati-hatian dan tanggung jawab.
Namung sayangnya, sebagian tokoh agama atau masyarakat malah membenarkan praktik nikah sirri secara membabi buta. Mereka terlalu fokus pada “asal sah menurut agama,” tanpa melihat akibat sosial dan hukum dari keputusan tersebut. Ini yang membuat publik semakin bingung dan bertanya-tanya: agama kok jadi alat untuk melarikan diri dari tanggung jawab?
Nikah Sirri Sebagai Jalan Pintas
Tidak sedikit juga yang menjadikan nikah sirri sebagai jalan pintas untuk menghindari biaya mahal nikah resmi, urusan administrasi, atau takut terbongkar aibnya. Tapi sayangnya, yang menanggung akibatnya hampir selalu pihak perempuan dan anak.
Dalam masyarakat patriarki seperti Indonesia, suami bisa lepas tangan dan kembali ke kehidupan normal. Sedangkan istri dan anak dari nikah sirri harus menghadapi stigma, keterbatasan hak, dan minimnya perlindungan hukum.
Banyak yang baru sadar pentingnya pencatatan nikah saat semuanya sudah terlambat. Ketika istri ditinggal tanpa kejelasan, anak tidak terakui, dan konflik rumah tangga harus dibawa ke pengadilan tapi tak punya bukti hukum. Di titik itu, barulah muncul penyesalan, Padahal mencatatkan pernikahan bisa dilakukan dengan mudah jika sejak awal diniatkan serius dan bertanggung jawab.
Bahkan negara pun telah memberi jalan keluar. Misalnya melalui isbat nikah di pengadilan agama. Bagi mereka yang sudah menikah sirri, proses ini bisa menjadikan pernikahan mereka sah di mata hukum.
Tapi sayangnya, banyak yang tetap enggan melakukannya. Takut terbongkar, takut tertolak, atau memang sejak awal niatnya hanya untuk nikah sesaat. Inilah mengapa banyak yang menyebut nikah sirri sebagai legalisasi kawin kontrak, atau lebih pedas lagi sebagai zina terselubung yang terbungkus agama.
Melek Literasi Hukum
Tentu saja tidak semua nikah sirri berniat buruk. Ada juga pasangan yang terpaksa menempuhnya karena kondisi tertentu. Tapi tetap saja tanpa pencatatan resmi, potensi kerugian di masa depan terlalu besar. Apalagi di era sekarang di mana legalitas bukan sekadar status, tapi juga perlindungan terhadap hak-hak dasar.
Masyarakat Indonesia harus mulai melek hukum dan sadar bahwa sah menurut agama saja belum cukup. Di negara ini, yang sah juga harus terakui oleh negara. Negara bukanlah musuh agama justru hadir untuk menjamin hak-hak yang sudah terjamin oleh agama.
Maka jangan heran jika kini banyak kampanye nikah resmi digaungkan oleh pemerintah dan tokoh masyarakat. Karena masalah yang timbul dari nikah sirri tidak main-main dari pengabaian hak perempuan hingga munculnya anak-anak yang statusnya tidak jelas.
Nikah sirri memang menjadi perdebatan panjang. Di satu sisi, ia bisa jadi solusi namun di sisi lain ia bisa jadi bencana. Semuanya tergantung niat dan tanggung jawab para pelakunya. Tapi satu hal yang pasti pernikahan bukan hanya tentang cinta dan sahnya akad, tapi juga tentang keadilan, perlindungan, dan tanggung jawab jangka panjang. []