Mubadalah.id – Patriarki dalam tulisan ini dimaknai sebagai sebuah keadaan tidak dilibatkannya perempuan dalam penyusunan pancasila. Dalam konteks sejarah pancasila, peran perempuan memang nyaris tak dilibatkan dalam momentum lahirnya ideologi dan dasar negara. Hal ini adalah sebuah kecelakaan sejarah, bagaimana sebuah ideologi justru lahir dari proses yang tidak mempertimbangkan keadilan gender.
Pancasila dirumuskan oleh panitia yang dikenal dengan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Negara). Panitia ini dibentuk sebagai sebuah upaya pemenuhan janji Jepang yang akan membantu proses kemerdekaan Bangsa Indonesia. Kekalahan Jepang pada Perang ke II telah mendistorsi kekuatan militer Jepang. Tak ada pilihan lain bagi Jepang kecuali merealisasikan janjinya. Dari sini awal sejarah pancasila bergulir.
Dari 67 anggota BPUPKI terdapat dua orang perwakilan perempuan, yaitu Maria Ulfa dan Soenarjo Mangoenpoespito. Namun sayang, peran kedua perwakilan perempuan tersebut tidak pernah disinggung dalam sejarah pancasila. Sejauh mana perannya, bagaimana pendapatnya, apa yang diperjuangkan, tidak terekam oleh sejarah pancasila. Informasi yang sampai kepada kita adalah tentang dialektika golongan agamis dan nasionalis dalam pembahasan dasar negara yang menghasilkan lima sila dalam Pancasila. Dan pada sidang kedua BPUPKI melahirkan Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah dasar negara dan UUD 1945 berhasil dirumuskan, BPUPKI dibubarkan. Selanjutnya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945. Seluruh anggota PPKI adalah laki-laki, dan sama sekali tidak melibatkan perempuan dalam kepanitiaannya. Hal ini tentu bertentangan dengan bagaimana perempuan ikut berjuang pada masa pra kemerdekaan.
Perempuan bekerjasama dengan laki-laki dalam menyingkirkan penjajah. Muncul banyak organisasi perempuan antara lain Poetri Mahardika 1912, Poetri Sedjati, Wanita Oetama, Jong Java, Pawijatan Wanito tahun 1915 di Magelang, Organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT) tahun 1917 di Manado, Poetri Boedi tahun 1919 di Surabaya, Wanita Taman Siswa (1922). Organisasi keagamaan juga mengambil peran, antara lain Aisyiyah 1917, Muslimat NU, dan Poesara Wanita Katolik. Namun perannya justru dihilangkan dalam proses penentuan dasar negara sejarah pancasila.
Melihat minimnya keterlibatan perempuan dalam penyusunan pancasila, lantas apakah substansi dari sila-sila di dalamnya akomodatif terhadap perempuan? Dan bagaimana seharusnya perempuan memaknai sejarah pancasila?
Pasang Surut Gerakan Perempuan Pasca Perumusan Dasar Negara Pancasila
Meskipun tidak dilibatkan dalam proses penyusunan Pancasila, namun tak menyurutkan semangat kelompok perempuan untuk menyuarakan haknya. Pasca kemerdekaan, perempuan membentuk sebuah organisasi politik seperti Wanita Marhaen yang merupakan bagian dari Partai nasional Indonesia. Kemudian Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Perwani (Persatuan Wanita Indonesia), dan masih banyak organisasi lainnya.
Gerwani berhasil mengantarkan anggotanya di kursi parlemen pada pemilu 1955 dengan mengusung isu perkosaan, memperjuangkan hak perempuan untuk menduduki jabatan lurah, mendirikan warung koperasi untuk pemberdayaan ekonomi perempuan, menuntut perubahan UU perkawinan agar lebih demokratis, dan masih banyak lagi agenda yang diusung untuk perempuan.
Gerakan menolak poligami juga santer diagungkan, gerakan ini berawal dari keputusan Presiden Soekarno untuk berpoligami di tahun 1954. Sehingga muncul aksi tuntutan penghapusan poligami namun sayangnya tuntutan itu diabaikan. Hal ini merupakan konsekuensi subordinasi perjuangan gender interest di bawah proyek nasionalisme yang harus ditanggung gerakan perempuan. Jika menolak poligami, beberapa pihak khawatir dianggap anti Soekarno dan anti nasionalis, karena Soekarno sebagai aktor poligami.
Gerakan perempuan pada masa ini memiliki bargaining position yang tinggi. Di tengah upaya Indonesia mencari pola-pola pemerintahan dan demokrasi yang akan diambil, perempuan masuk ke dalam diskusi wacana politik didalamnya. Sehingga banyak aspirasi perempuan yang ikut dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan negara.
Namun di periode selanjutnya, gerakan perempuan mengalami kemunduran. Diawali dengan dibubarkannya Gerwani pada pada tahun 1965 karena dianggap melakukan pemberontakan terhadap Orde baru dan berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Secara otomatis, gerakan perempuan yang tadinya massif memperjuangkan kesetaraan gender menjadi mati suri. Muncul kekhawatiran dianggap sebagai “organisasi kiri” jika terus menuntut pada rezim. (Ruth:1996).
Perwani yang tadinya sangat aktif menentang langkah poligami Soekarno, berubah menjadi organisasi yang beranggotakan istri-istri pegawai yang kegiatannya dikhususkan bagi perempuan dari kalangan menengah keatas. Program yang dijalankan sebatas pada pemberian dukungan pada suami-suami yang bekerja.
Kemudian di tahun 1974 dibentuklah persatuan istri-istri pegawai negeri atau Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi sebagai organisasi yang beranggotakan istri-istri ABRI. Program yang dijalankan oleh organisasi ini adalah mengajak para perempuan untuk kembali pada “kodrat” nya.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi kebersihan rumah, sebagai istri yang tunduk pada suami, sebagai ibu yang wajib mendidik anak-anak. Organisasi perempuan mengalami domestikasi dan pengebirian yang massif. Perempuan tak lagi menjadi manusia merdeka yang bebas mengekspresikan ide-idenya untuk kemajuan perempuan dari sisi perempuan. (Hubies: 2001).
Gerakan perempuan kembali bangkit pasca reformasi 1998. Peristiwa yang terjadi pada Mei 1998 adalah pembuka keran reformasi di Indonesia. Berawal dari tuntutan demonstran yang menginginkan rezim Soeharto dilengserkan akibat krisis moneter yang menjerat Bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut juga menjadi titik awal pergerakan perempuan yang sebelumnya terbelenggu oleh kebijakan Orde baru yang diskriminatif terhadap perempuan.
Perlawanan memuncak menjadi gerakan yang masif dan terstruktur saat gerakan perempuan juga menuntut penyelesaian tragedi 12-14 Mei 1998 di Jakarta. Banyak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, hak bicaranya dibungkam, dan hak politiknya dikebiri.
Maka bersamaan dengan mosi menggulingkan Soeharto, isu tentang keberdayaan perempuan juga dimunculkan. Hingga pada 14 Desember-22 Desember 1998 diadakanlah Kongres Perempuan di Yogyakarta dengan agenda memperjuangkan keterwakilan 30% suara perempuan dalam parlemen. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, beliau mengangkat secara langsung 4 menteri perempuan dalam kabinetnya. Kemudian pada periode keduanya, Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat 5 menteri perempuan.
Sudahkah Sejarah Pancasila Akomodatif Terhadap Perempuan?
Berkaca pada pasang surutnya gerakan perempuan pasca perumusan pancasila, tampak bahwa akomodatif atau tidaknya pancasila terhadap perempuan sangat tergantung pada dua hal. Pertama; sejauh mana kemauan negara untuk merumuskan kebijakan yang adil gender, kedua; sejauh mana negara mau melibatkan perempuan dalam mengambil kebijakan. Meskipun kesadaran perempuan akan kesetaraan tinggi, namun tidak akan berdampak jika negara enggan mengakomodir dan memfasilitasi dalam bentuk regulasi dan keterbukaan akses.
Kita telah melihat tingginya semangat toleransi pada sila pertama, kemanusiaan pada sila kedua, persatuan pada sila ketiga, gotong royong pada sila keempat, dan keadilan substantif pada sila kelima. Jika kelima sila tersebut diaplikasi dengan baik dalam bentuk kebijakan, maka tidak akan ada lagi peluang berlaku tidak adil.
Perempuan juga harus menyadari bahwa gerakan menuju keadilan gender belum sampai pada garis finish. Masih ada perjuangan panjang yang harus terus dikawal. Untuk memastikan tidak ada lagi domestikasi, diskriminasi, subordinasi, dan marginalisasi terhadap perempuan. []