Mubadalah.id – Bagi Tan Malaka, sepak bola adalah alat perjuangan, suaka konsolidasi sesama orang tertindas. Jika menengok mendiang Maradona, yang pernah bermain untuk Napoli dan Tim Nasional Argentina, sosoknya di luar lapangan adalah cerminan anti-imperialis. Kita bisa mengintip tato Che Guevara di lengan kanannya. Atau ketika ia mengenakan kemeja anti-George Bush, menemani Presiden Venezuela: Hugo Chavez.
Saya tidak akan mengajak merasakan iklim sepak bola Indonesia (bukan karena buruk), tapi ke Benua Biru: Eropa. Melihat sepak bola ke arah sudut yang lebih jauh, bukan terpaku pada si kulit bundar yang menggelinding di karpet hijau. Melainkan, sepak bola sebagai wahana yang bisa dinikmati siapa saja, tanpa melihat kelas, ras, dan gender. Oleh karenanya, ia mampu menjangkau ke luar lapangan, hingga menciptakan wacana alternatif menandingi wacana dominan yang diskriminatif.
Coba kita mendarat di tanah Inggris—konon sebagai negara di mana sepak bola berasal—di sana ada perhelatan sepak bola tingkat elit bernama Premiere League. Ketika menyorotkan mata ke bangku penonton, kita bisa melihat kalangan anak-anak sampai lansia dari semua gender sedang menikmati perpindahan bola dari kaki ke kaki. Atau di tribun suporter garis keras yang terus berdiri dan bernyanyi selama dua kali 45 menit, kadangkala mereka hanya fokus ke lapangan jika terjadi gol. Semua menikmati dengan cara masing-masing, menyisihkan akhir pekan untuk meredam stres.
Tapi kita juga perlu melirik kontribusi sepak bola sebagai sebuah struktur yang mendukung Hak Asasi Manusia. Ia bukan hanya mampu menggulirkan bola, tapi juga wacana. Salah satu contohnya adalah slogan No Room For Racism, untuk mendukung kampanye anti-rasis.
Lainnya adalah, setiap tahun Premiere League mengkampanyekan Stonewall’s Rainbow Laces Campaign atau penggunaan tali sepatu pelangi bagi seluruh pemain. Meski begitu, beberapa pemain memilih tidak menggunakannya—bukan karena tidak mendukung—karena tali sepatu memengaruhi permainan, misalkan saat melakukan free kick.
Kampanye tersebut berjalan sejak 2013 untuk melawan homophobia, biophobia, dan transphobia dalam olahraga—juga di dunia luas. Hal itu dilakukan untuk menjadikan sepak bola lebih inklusif, berhak dinikmati siapa saja melintasi semua gender dan orientasi seksual.
Bentuk lain untuk mendukung hak semua gender adalah, penggunaan ban kapten (armbands) berwarna pelangi. Jordan Henderson, kapten Liverpool, dalam kiriman instagramnya (5/11/2020) menyatakan, “Football is a game for everyone. No matter what. #RainbowLaces”. Atau playmaker sekaligus kapten Manchaster City, Kevin De Bruyne, yang diunggah oleh akun instagram @premiereleague di tanggal yang sama, bisa menjadi contoh.
Ramai perebatan di kolom komentar akun Premiere League pada unggahan tersebut. Ada yang mendesak sepak bola untuk jangan ikut campur perpolitikan, atau sepak bola terlalu jauh keluar. Tapi mereka menyatakan, bahwa kampanye tersebut bukanlah gerakan politik, itu murni soal Hak Asasi Manusia. Sepak bola bisa dinikmati siapa saja, tanpa memandang ras dan gender. Premiere League mendukung hak mereka, baik yang berada di dalam atau di luar sepak bola.
Terlihat dalam pertandingan 30 November sampai 5 Desember 2020, seluruh pertandingan Liga Primer menampilkan bendera lapangan (pitch flag), alas bola (ball plinth), papan jabat tangan dan papan pengganti (subtitutes board) bercorak bendera Rainbow Laces. Di luar lapangan, media sosial beberapa pemain dan klub Liga Primer terlibat dalam kampanye tersebut.
Saya cukup mengapresiasi keterlibatan dunia sepak bola dalam kampanye Hak Asasi Manusia, terkhusus untuk minoritas seksual dan gender. Sepak bola telah menggulirkan wacana serius untuk mengikis stereotipe gender, berusaha memberi contoh rangkulan bagi siapapun yang ada di dalam maupun di luar sepak bola.
Saya rasa, sepak bola juga berusaha mendorong cabang olahraga lainnya untuk turut serta bersikap inklusif. Minimal mengakui bahwa siapapun berhak berolahraga dengan aman, bahwa olahraga adalah wahana yang membuat orang tetap sehat—baik fisik ataupun mental. Hingga orang mengakui, bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan siapapun harus menghormati kehidupan orang lain.
Ada beberapa brand (sponsor) dalam sepak bola juga ikut dalam kampanye tersebut, seperti Adidas, Aon, Asos, Aviva, Barclays, eBay UK, Sky Sport dan Visa. Bran-bran tersebut dalam iklan mereka turut melibatkan kampanye keragaman gender. Hal tersebut adalah respon atas hasil penelitian badan amal Stonwall, yang menyatakan setegah dari transgender menyembunyikan identitas mereka di tempat kerja, dan satu dari karyawan transgender telah diserang secara fisik oleh rekan kerja atau pelanggan pada 2017.
Penelitian tersebut mendorong bran untuk mengevaluasi diri, apakah mereka sudah menghadirkan ekosistem yang aman bagi karyawan non-biner ketika melakukan rekruitmen. Misalkan membuat toilet netral gender, adalah salah satu terobosan membuat ekosistem aman.
Ini juga yang dilakukan dalam dunia sepak bola, Adidas dengan merekrut David Beckam dan penyanyi Liam Payne untuk kampanye “Prouder”. Mereka berinisiatif agar kampanye semakin meluas—meskipun saya melihat ada unsur kapitalisasi di sini, itu perdebatan lain.
“Ngapain nonton bola nggelinding?” kata teman saya suatu waktu. Saya menganggap ia hanya mengelilingi bola dan memastikan bahwa ia benar-benar bulat. Buang-buang waktu. Ia harus mencoba mengelilingi stadion, tribun penonton, gejolak luar lapangan, dan yang terpenting, kemanusiaan yang membalut si kulit bundar.[]