Sejak dibukanya pendaftaran Women Writer’s Conference (WWC) Cirebon, saya yang waktu itu menjadi salah satu narahubung, banyak sekali menanggapi beberapa pertanyaan dari pendaftar. Mulai dari jenis tulisan apa saja yang bisa dikirim untuk mendaftar kegiatan WWC, sampai pada pertanyaan mengapa laki-laki tidak bisa ikut mendaftar. Kebetulan panitia memang men-syaratkan kegiatan WWC ini hanya bisa diikuti oleh perempuan saja, mengapa? Salah satu tujuannya ialah kami ingin memberi akses pengetahuan bagi penulis-penulis perempuan di Indonesia.
Tetapi, dari semua pertanyaan yang cukup membuat saya berpikir lama ialah pertanyaan dari beberapa perempuan yang mempunyai anak yang masih kecil. Misalnya seperti ini “mba jika saya lolos seleksi dan menjadi peserta WWC, bolehkah saya membawa anak saya, dia masih usia 11 bulan. Jadi tidak bisa ditinggal di rumah”. Saya langsung bertanya dalam hati, loh mengapa tidak boleh, bukankah setiap orang termasuk perempuan harus diberi akses yang sama dalam setiap kebaikan?
Setelah merenung beberapa lama, ya saya baru ingat, saya pernah mengikuti beberapa kegiatan yang pesertanya khusus perempuan, dan waktu itu panitia penyelengara tidak memperbolehkan membawa anak-anak. sehingga ada beberapa teman-teman perempuan yang tidak jadi ikut. Adapun, mereka yang tetap hadir, mereka kesulitan sekali mencari orang yang mau mengasuh anaknya selama kegiatan secara relawan. Jika dititipkan di tempat daycare, kita tau sendiri biayanya memang tidak murah.
Dengan begitu, saya dan teman-teman panitia WWC berembug bagaimana caranya supaya para peserta tidak kesusahan mengurus anak-anaknya selama kegiatan berlangsung. Kemudian, setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, kami memutuskan untuk mencari relawan yang bisa membantu dalam pengasuhan anak-anak peserta tersebut.
Ketika saya tawarkan kepada teman-teman mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, kebetulan ada dua orang yang bersedia membantu. Kami sangat senang sekali. Terimakasih mba Tuti dan mba Siti. Kalian luar biasa.
Sebenarnya kami sama sekali tidak melarang mereka membawa serta anak-anaknya ke dalam ruangan pelatihan, tetapi kami berpikir jika ada yang membantu mngasuh, ibu-ibunya bisa dengan tenang mengikuti seluruh rangakaian kegiatan WWC tanpa harus mengkhawatirkan anak-anaknya.
Inisiatif begini memang terlihat remeh, tetapi jutaan orang banyak yang tidak menyadari bahwa bantuan-bantuan dalam pengasuhan anak itu sungguh mulia. Karena pekerjaan ini tidak mudah.
Sejauh ini, saya belum mengalami bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, saya sering dititipi anak kakak, guru ngaji atau anak –anak siapapun yang memang ibunya tengah menyelesaikan pekerjaan lain. Saya tidak bisa menapikan, betapa lelahnya mengasuh anak-anak tersebut, terutama jika anaknya lagi demam. Sudah pasti, membutuhkan kesabaran yang ekstra. Berangkat dari pengalaman tersebut, kita memang tidak seharusnya meremehkan pekerjaan pengasuhan anak.
Melalui tulisan sederhana ini, saya juga ingin menyampaikan bahwa tidak seharusnya akses bagi perempuan untuk mencari pengetahuan, pengelaman atau pekerjaan ditutup karena alasan mempunyai anak yang masih dalam masa pengasuhan. Bukankah kewajiban mencari ilmu dan harta juga tidak hanya untuk laki-laki saja. Dengan begitu sebaiknya kita memang mengupayakan keduanya mendapatkan kesempatan yang sama, baik dalam pelatihan-pelatihan seperti WWC maupun dalam ranah pekerjaan.
Selain itu, kita juga bisa meneladani kehidupan Nabi yang ikut serta dalam pengasuhan anak-anaknya. Seperti yang tergambar dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sunan al-Turmudzi yang artinya “Abu Burdaidah bercerita” Suatu saat, Rasulullah Saw. sedang berkhutbah di depan kami, lalu datang Hasan dan Husein berbaju merah berjalan dan terjatuh. Nabi Muhammad Saw. turun dari mimbar, menggendong dan membawa mereka dipangkuan baginda “ (Sunan al-Tirmidzi, no. 4143)
Hadis ini ingin memperlihatkan bahwa Islam mengajarkan baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tugas yang sama dalam pengasuhan anak, dan siapapun yang melakukannya berhak untuk diapresiasi karena itu bagian dari ajaran dan teladan kenabian, dan tentu saja Islam mengapresiasinya dengan memberi pahala.[]