Sejarah manusia sesungguhnya lebih kompleks dari sekedar pergulatan antara kebenaran dan kebatilan, seperti yang sering disuarakan beberapa pihak. Karena di dalam barisan “orang-orang yang benar” selalu ada dinamika yang lebih rumit lagi. Begitupun di antara kelompok yang dianggap “orang-orang batil”, selalu ada sisi lain yang bisa dipersepsi sebagai kebenaran.
Sekalipun al-Qur’an tidak memberi perhatian pada detail sejarah, tetapi ia sangat kentara memberi pelajaran pada kita tentang kompleksitasnya. Kita harus paham dan waspada dengan hal ini, yang sepertinya akan terus terjadi sepanjang sejarah ke depan. Tetapi kita juga harus selalu berkomitmen pada jalan lurus yang kita yakini, yang menjadi panduan hidup, yang nilai-nilainya sesungguhnya juga tertanam kuat pada hampir semua manusia dari berbagai suku dan bangsa.
Kisah, atau sejarah Bani Israil yang digambarkan al-Qur’an termasuk dari gambaran yang paling banyak mengambil ruang dan paling kompleks. Ada berbagai sketsa yang bisa didiskusikan lebih lanjut, dengan berbagai pelajaran yang bisa dipetik. Salah satu pelajaran penting, biasanya eksplisit dalam ayat, adanya kesamaan prinsip dan nilai yang bisa menjembatani hubungan kemanusiaan antar berbagai suku dan bangsa.
Kesamaan yang bisa menjadi titik temu (kalimatun sawaa’) bagi segala bentuk kerjasama peradaban dan kemanusiaan. Tentu saja, kerjasama ini hanya mungkin terjadi jika ada kesamaan pada suatu titik tertentu. Dan akan lebih epik, jika didasarkan pada kesalingan cinta dan kasih sayang. “Seseorang tidak akan dianggap beriman, sehingga bisa mencintai untuk semua manusia apa yang dicintai untuk dirinya” (Musnad Ahmad, no. hadits: 14083).
Ayat 40-141 Surat al-Baqarah berbicara mengenai kompleksitas sejarah Bangsa Israil. Di samping ada ayat-ayat lain di berbagai surat al-Qur’an. Kisah-kisah mereka, seputar kenabian, komitmen, peribadatan, loyalitas, kerja-kerja kemanusiaan di satu sisi. Juga mengenai penyangkalan pada kebenaran, pengkhianatan, perseturuan, pembunuhan, peperangan, dan perusakan alam, di sisi yang lain.
Secara tertib susunan Mushaf al-Qur’an, kelompok ayat tentang Bani Israil ini (ayat 40-141 al-Baqarah) adalah yang pertama dan terpanjang. Sebelum masuk pada kompleksitas sejarah mereka, al-Qur’an mengawali dengan presentasi yang membangkitkan pada suatu memori kolektif kemanusiaan. Yaitu tentang nilai-nilai mulia yang bisa menghubungkan mereka dengan orang-orang yang beriman pada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw, yang sudah berkomitmen dengan jalan lurus (ash-shiroot al-masutaqim), yang menjadi panduan (hidayah) bagi mereka dalam menjalani kehidupan ini.
Pengantar kisah Bani Israil ini tertuang dalam ayat 40-48 Surat al-Baqarah. Bahwa kita, orang-orang yang beriman, sama persis dengan mereka. Diberi banyak anugerah oleh Allah Swt dan diminta untuk mengingat anugerah tersebut dan berefleksi bagaimana agar ia tetap lestari. Salah satunya, dengan kembali memenuhi komitmen primordial dengan-Nya (ayat ke-40 dari Surat al-Baqarah). Yaitu penguatan relasi dengan-Nya melalui ibadah-ibadah ritual dan penguatan relasi kemanusiaan dengan amal-amal kebaikan dan persaudaraan.
Substansi dari keimanan yang harus diyakini mereka, sebagaimana juga yang ada di kita, adalah sesuatu yang sesungguhnya sudah ada di dalam kesadaran mereka. Allah Swt menghadirkannya kembali, untuk diterima dan diyakini, untuk menguatkan (mushaddiqan) sesuatu yang sudah ada agar kembali menjadi panduan dalam menjalani kehidupan. “Jangan mengingkari sesuatu yang inheren, bagian dari kaliam sendiri, dan jangan menukarnya dengan sesuatu yang justru tidak bernilai sebagai panduan hidup”. (ayat ke-41).
Sesuatu yang sudah jelas benar, jangan dikaburkan atau dicampur dengan sesuatu yang batil (ayat ke-42). Ketika hal ini kadang, atau sering, terjadi, kembalilah pada kebenaran. Dengan menguatkan relasi dengan Allah Swt (seperti shalat) dan perbanyak amal-amal sosial (seperti zakat) untuk orang lain. Hal ini akan membuat mereka kembali bersama dengan orang-orang yang selalu tunduk dan loyal pada nilai-nilai-Nya (ayat ke-43).
Terkadang, atau bisa jadi sering, mereka yang dekat, membaca, bahkan pakar tentang rujukan otoritas keimanan dan pengetahuan, seperti Kitab Suci, justru lebih sering menyuruh orang lain berbuat baik. Tetapi melupakan diri mereka sendiri. Jika mereka berpikir cermat dan baik, seharusnya tidak demikian (ayat ke-44).
Tentu saja, dalam mengarungi kehidupan ini, banyak sekali godaan, rayuan, dan ujian. Terutama bagi mereka yang dekat dengan Kitab Suci, atau orang-orang yang berilmu tentang keimanan, maupun kemanusiaan. Untuk itu, mereka harus selalu menguatkan diri, bersabar dan berkomitmen pada jalan lurus, dan berdoa kepada-Nya. Al-Qur’an mengakui, berkomitmen ini berat, tetapi orang-orang yang stabil dan tenang bisa melaluinya (ayat ke-45).
Yaitu, mereka yang yakin akan bertemu dengan Tuhan mereka, Allah Swt. Keyakinan ini yang membuat mereka, apapun yang terjadi dalam kehidupan, akan selalu kembali pada jalan lurus-Nya (ayat ke-46).
Orang-orang Bani Israil, dengan anugerah besar yang diberikan Allah Swt, dan kualitas lebih dalam berbagai hal, seharusnya mereka gunakan untuk kebaikan sebagai ungkapan syukur pada-Nya (ayat ke-47).
Karena anugerah besar dan kualitas prima yang dimiliki itu, jika tanpa iman dan amal, tidak akan ada gunanya di mata Allah Swt. Terutama, ketika mereka harus menemui-Nya di hari kiamat. Hari dimana masing-masing orang akan dimintai pertanggung-jawaban atas amal dan perbuatannya. Hari dimana apa yang dimiliki, anugerah, ras, posisi, tidak akan bisa menolong seseorang sama sekali (ayat ke-48).
Ajaran, nilai, dan anjuran yang disebutkan ayat-ayat ini, sekalipun secara literal ditujukan kepada Bani Israil, tetapi ia juga ada dalam kesadaran kita. Bahkan ia masuk menjadi bagian dari penjelasan “jalan lurus” yang sudah diperkenalkan di Surat al-Fatihah sebagai ash-shiroot al-mustaqiim.
Dalam membaca sejarah manusia, siapapun, dimanapun dan kapanpun, di tangan mereka pasti ada nilai-nilai yang sama (kalimatun sawaa’) yang bisa mempertemukan mereka dengan kita. Temukan nilai tersebut dan ajaklah mereka untuk berkomitmen bersama untuk membangun peradaban yang lebih baik bagi kemanusiaan dan semesta alam (QS. Ali Imran, 3: 64).
Tentu saja kita harus selalu waspada dengan berbagai kemungkinan, yaitu penyangkalan, pengingkaran, dan bahkan permusuhan, bahkan dari kalangan internal orang-orang beriman sendiri, yang kita kenal sebagai orang-orang munafik. Tetapi, ini semua, tidak menyurutkan komitmen kita, untuk selalu berbuat baik kepada siapapun, yang berbuat baik kepada kita.
Seperti yang dikatakan Nabi Muhammad Saw tentang orang-orang munafik di Madinah, yang hidup bersama dan bertetangga. “Kami akan tetap baik kepada mereka, karena mereka juga masih baik kepada kita”, kata Nabi Saw ketika diprovokasi untuk mengeksekusi orang-orang munafik itu.
Dalam konteks yang lebih luas, Nabi Saw lebih aktif untuk menyatakan agar kita menebar perdamaian dan berbagi kepada semua orang, yang kita kenal atau tidak kita kenal. Karena misi utama kerasulan Nabi Muhammad Saw adalah kasih sayang kepada semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Kita memerlukan strategi kewaspaan, tetapi basisnya tetap nilai kebaikan, kemaslahatan, kemanusiaan, dan kasih sayang. Wallahu a’lam.