Mubadalah.id – Dalam pergaulan sosial masyarakat yang plural di Indonesia, menyampaikan dan menjawab salam antar umat yang berbeda agama adalah sesuatu yang niscaya. Seorang warga yang muslim sangat mungkin berhadapan pada situasi untuk memulai atau menjawab salam dari non-muslim.
Bahkan, beberapa orang sering menghadapi hal tersebut dan biasa melakukanya. Namun, bagi banyak kalangan masih ragu dan bertanya tentang bagaimana cara menjawab salam dari non-muslim.
Ada dua pandangan dalam hal ini. Pertama yang memandang bahwa memulai dan menjawab salam adalah bagian dari doa dan ibadah. Kedua yang memandangnya sebagai bagian dari relasi dan pergaulan sosia. Yang memandang pertama ada yang melarangnya, karena doa dan ibadah hanya berlaku bagi orang yang sudah masuk Islam. Ada yang membolehkannya, selama tidak terkait dengan doa keselamatan di akhirat, hanya untuk kebaikan-kebaikan sosial di dunia saja.
Pandangan kedua yang memandangnya sebagai relasi sosial kemasyarakatan, juga ada yang melarangnya sama sekali. Dengan alasan, orang-orang yang bukan muslim dianggap tidak berhak sama sekali untuk memperoleh salam maupun jawaban salam. Anggapannya mereka orang-orang yang salah, sesat, bahkan musuh, yang tidak patut memperoleh kebaikan sama sekali dari orang Islam, baik dalam bentuk menerima salam atau jawaban salam.
Pandangan lain, karena bagian dari pergaulan sosial, maka semua yang baik untuk penguatan relasi sosial adalah baik, dan minimal dibolehkan. Dalam kaidah fiqh, hukum asal dari semua pergaulan sosial adalah boleh (al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Karena itu, memulai dan menjawab salam adalah baik dan minimal dibolehkan.
Salam sebagai Pergaulan Sosial
Mungkin lebih tepat memandang praktik memulai salam terhadap non-muslim dan menjawab salam darinya sebagai bagian dari pergaulan sosial, bukan ibadah ritual. Dalam pergaulan sosial, tentu saja perlu kita sadari apa yang telah ditegaskan oleh al-Qur’an, maupun fakta sosial, bahwa manusia itu tercipta berbeda-beda secara agama. Karena tercipta berbeda-beda, maka yang kita perlukan adalah bagaimana mengelola perbedaan ini. Termasuk mengenai cara menjawab dari non-muslim yang baik dan sesuai dengan ajaran sosial Islam.
Beberapa ayat al-Qur’an sudah menegaskan bahwa perbedaan agama di dunia ini adalah bagian dari keputusan Allah Swt sendiri (QS. Al-Maidah, 5: 48), untuk saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujurat, 49: 13), bahkan bisa saling berlomba, antar umat yang berbeda agama, dalam mewujudkan kebaikan (QS. Al-Baqarah, 2: 148). Beberapa ayat juga menegaskan bahwa, berbuat baik terhadap umat yang berbeda agama itu tidak terlarang sama sekali (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8).
Sebagai pergaulan sosial, Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengingatkan kita tentang tetangga yang berbeda agama, yang tetap memiliki hak sebagai tetangga, yang harus kita hormati, dan kunjungi. Yakni dengan saling menjaga, dan saling menolong satu sama lain (Ihya’ Ulumuddin, juz 2, hlm. 329–333 [Kairo: Dar al-Hadits, 1994]). Pernyataan ini merujuk pada berbagai teks hadits Nabi Muhamamd Saw tentang pentingnya hak tetangga sebagai bagian dari keimanan (Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6082, 6084 dan 6088).
Teladan Nabi
Dalam berbagai catatan kita Hadits juga, Nabi Muhammad Saw berkawan dan memiliki tetangga yang berbeda agama, yang saling berkunjung dan saling mengundang untuk makan bersama (Musnad Ahmad, hadits nomor 13403 dan 14068). Dalam pergaualan ini, tentu saja: akan terjadi saling memulai atau menjawab salam. Dalam hal menjawab salam ini, Nabi Saw selalu berpesan untuk selalu lembut dan baik dalam berelasi dengan yang berbeda agama (Sahih Bukhari, hadits nomor 6093).
Teks-teks ini bercerita tentang teladan Nabi Muhammad Saw. yang mengajarkan kepada kita tentang pergaulan sosial dengan yang berbeda agama. Artinya, prinsip dasarnya adalah Islam menganjurkan pergaulan sosial yang baik dengan yang berbeda agama. Pandangan yang melarang salam dan sejenisnya hanya berlaku pada mereka yang berbeda agama yang menjadi musuh dalam peperangan.
Karena, dalam Islam, prinsip dan dasar adalah persaudaraan dan relasi yang baik antarmanusia. Terutama pada kondisi damai, atau tidak dalam peperangan, kita dituntut untuk mengembangkan lebih banyak lagi perdamaian dan kebaikan-kebaikan. Prinsip inilah yang menjadi inspirasi yang terekam dalam teladan Nabi Muhammad Saw.
Cara Menjawab Salam dari Non-Muslim
Jika prinsip pergaulan sosial yang baik dengan non-muslim, maka soal cara menjawab salam non-muslim adalah hal teknis belaka. Prinsipnya adalah segala sesuatu yang menguatkan pergaulan sosial yang baik adalah baik dan dianjurkan.
Misalnya, jika umat warga bangsa memulai dengan ucapan “Selamat Pagi”, kita bisa menjawab juga dengan “Selamat Pagi”. Begitupun jawaban untuk “Selamat Siang” dan “Selamat Malam”, atau yang lain. Atau, jika ada yang memulai dengan “Assalamu’alaikum”, bisa kita jawab dengan “Wa’alaikum salam”.
Sama halnya ketika ada yang memulai dengan bahasa daerah, atau ungkapan dari tradisi agama masing-masing, jika kita mampu: bisa menjawabnya yang sesuai dengan bahasa daerah dan tradisi tersebut. Minimal dengan ungkapan “Terimakasih”, dengan senyum yang cukup mengirim sinyal kebaikan kepada mereka, sebagai sesama warga bangsa yang bersatu dan bersaudara. Demikian ini, sesunggunya, adalah bagian dari akhlak baik yang Nabi Muhammad Saw ajarkan kepada kita. Wallahu a’lam bish-showab. []