Saya tipe pembaca yang jarang melakukan pre-order buku. Tapi kali ini, untuk buku Sister Fillah You’ll Never Be Alone karya Mbak Kalis Mardiasih, saya ikut pre-order. Saya sudah tertarik untuk membeli saat Mbak Kalis mengumumkan buku terbarunya dan saya mengikuti obrolan Mbak Kalis dan penerbit sebelum buku ini dicetak.
Dari empat buku Mbak Kalis, saya membaca “Muslimah yang Diperdebatkan”, “Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!”, dan tentu saja “Sister Fillah You’ll Never Be Alone”. Dua buku sebelum ini diterbitkan oleh Mojok sedangkan Sister Fillah You’ll Never Be Alone diterbitkan oleh penerbit Qanita. Dibandingkan dua buku sebelumnya, buku ini termasuk tipis dengan 125 halaman. Menariknya, sebagian halaman buku ini juga berwarna pink senada dengan warna cover buku dan memiliki ilustrasi yang memudahkan dalam memahami.
Setiap essai dalam buku ini ditulis dengan ringkas dan mudah dipahami. Berbeda dengan kedua buku Mbak Kalis sebelumnya, setiap topik yang ditulis merupakan essai pendek yang tidak lebih dari 8 halaman setiap topiknya. Sebagian hanya berisi 2-3 halaman.
Pengantar buku ini dari Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., yang memberikan gambaran tentang muslimah di awal-awal periode Islam, perempuan sebagai subjek kehidupan, pengalaman biologis dan pengalaman sosial perempuan. Mengamati buku-buku Mbak Kalis sebelumnya, pandangan Mbak Kalis banyak dipengaruhi oleh pandangan Ibu Nur tentang Keadilan Gender Islam. Mungkin hal ini juga yang membuat saya secara personal dekat dengan tulisan-tulisan Mbak Kalis, karena kami belajar pada Guru yang sama.
Apresiasi dalam buku ini diberikan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Qodir, Habib Husein Ja’far Al Hadar, Mbak Zahra Amin, dan Gita Savitri Devi. Seperti apresiasi Kyai Faqih, saya setuju bahwa selama ini buku-buku tentang perempuan yang banyak diterbitkan itu lebih banyak dinarasikan melalui perspektif laki-laki. Padahal perempuan memiliki kekhasan secara biologis dan sosial yang berbeda dengan laki-laki, yang memungkinkan laki-laki tidak bisa memahami sepenuhnya karena tidak mengalami itu.
Buku ini lahir dengan semangat untuk meramaikan buku-buku muslimah yang ditulis oleh muslimah, tidak seperti kebanyakan buku-buku muslimah yang ditulis oleh laki-laki. Melalui buku ini, Mbak Kalis mengangkat isu-isu perempuan yang berupa kasus dan sudut pandang yang jarang dibicarakan oleh ustadz-ustadz dalam buku-buku atau kajian muslimah.
Sebagai seorang perempuan, Mbak Kalis dapat bersimpati sekaligus berempati pada pengalaman biologis dan pengalaman sosial perempuan yang membuatnya mengalami marjinalisasi, subkoordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda. Mungkin ini yang alpa pada topik-topik yang dibicarakan dalam pengajian. Para pembicara dalam pengajian jarang membicarakan isu-isu yang dialami perempuan dan lebih banyak berbicara seputar hukum (halal-haram).
Isu-isu perempuan yang merupakan masalah sosial seperti tingkat kematian Ibu saat melahirkan, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, pendidikan bagi perempuan, tafsir teks yang maskulin dan merugikan perempuan, dan sebagainya. Kebanyakan mereka hanya membahas hukum, halal haram dan mendefinisikan perempuan untuk begini dan begitu, yang mana dinarasikan dengan sudut pandang maskulin.
Jadi, standar kemanusiaan perempuan yang kita terima sekarang masih banyak menggunakan standar kemanusiaan laki-laki. Padahal eksistensi kemanusiaan perempuan itu ada, penting dan khas.
Salah satu hal menarik yang saya temukan dalam membaca buku ini ketika Mbak Kalis mengatakan, “Saya bahkan lebih memilih istilah ‘keragaman’ atau ‘keberagaman’ daripada menyebut perbedaan”. Bahwa “keberagamaan” dalam Islam lebih terdengar damai dan merangkul dari pada “perbedaan” yang seolah memisahkan. Mungkin setelah ini saya akan mengganti kata “perbedaan” menjadi “keberagaman” pada konteks tertentu.
Satu hal terakhir yang saya amati, buku Sister Fillah memiliki bahasa yang lebih formal dan reflektif. Dua buku sebelumnya juga menyampaikan kritik, namun diceritakan secara persuasif. Dalam Sister Fillah, saya tidak menemukan kata atau kalimat personal yang “blak-blakan” seperti “…jadi kalian yang takut sama perempuan berpendidikan tinggi itu maunya dapat pasangan yang lulusan apa? Sekolah rakyat? Yah…kan udah nggak ada lagu, Akhi”. Atau, “Saya jarang membuka channel YouTube pengajian. Duh, ketahuan kurang beriman”.
Selebihnya, buku ini masih sama seperti buku-buku sebelumnya dengan penceritaan “Mbak Kalis banget”, yang mempertanyakan kembali apa yang sudah ada dan menjadi perpanjangan suara bagi kaum-kaum yang tidak atau kurang berdaya.
“Untuk semua perempuan yang mengambil keputusan, berani bersuara dengan segala risiko, terima kasih sudah ikut berbagi cerita dan saling menguatkan.” Sister Fillah, You’ll Never Be Alone. Mari kita saling mendengarkan, membantu dan menguatkan. []