Mubadalah.id – Munculnya kasus intoleransi di SMKN 2 Padang beberapa hari yang lalu, mengingatkan saya pada masa-masa kuliah di S1. Saat itu saya memiliki teman organisasi eksternal yang kebetulan kuliah di kampus berlabel salah satu organisasi Islam. Dia adalah seorang penganut Nasrani yang taat. Namun setiap mengikuti mata kuliah agama Islam, ia diwajibkan menggunakan jilbab saat di kelas. Untuk dapat nilai lulus, ia harus berjilbab dan menggunakan pakaian layaknya seorang muslimah, bukan hanya sekedar menggunakan kain penutup rambut.
Di waktu yang bersamaan, saya juga mendengar keluh kesah seorang teman muslim saya yang dipaksa melepas jilbab karena diterima di sekolah yang berbasis Nasrani. Padahal ia seorang guru mata pelajaran matematika. Ia hanya memiliki dua pilihan, bekerja di lembaga tersebut namun melepas jilbab, atau tidak jadi bekerja dan menjadi pengangguran. Padahal ia sudah melalui tahapan seleksi yang lumayan ketat, namun larangan tersebut baru disampaikan saat ia diterima.
Pemaksaan dan pelarangan penggunaan jilbab merupakan salah satu fenomena konflik sosial di tengah pluralitas beragama. Penyebab terdekatnya adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Masalah mayoritas dan minoritas ini timbul dikarenakan kekuatan dan kekuasaan kelompok mayoritas lebih besar dari pada kelompok minoritas sehingga timbul konflik yang tak terelakan.
Fakta yang sering terjadi, kejadian pelarangan penggunaan jilbab seringkali dianggap sebagai diskriminasi, karena muslim menjadi objek yang tertindas. Berdasarkan teori spiral keheningan (spiral of silence) hal ini terjadi karena masyarakat mayoritas cenderung mengancam individu yang dianggap melanggar aturan mayoritas dengan adanya isolasi. Dengan demikian kelompok minoritas akan merasa takut terhadap isolasi orang-orang yang berkuasa.
Sedangkan kasus pertama seringkali dianggap perlakukan non diskriminasi. Menurut teori Hierarchy-enhancing legitimising myths / HE-LMs, hal ini terjadi karena pihak yang dominan cenderung memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Maka pemaksaan penggunaan jilbab bagi Nasrani di lingkungan kampus berlabel Islam dianggap sebagai konsekuensi. Konsekuensi sebagai minoritas, dan konsekuensi memilih kampus berlabel organisasi Islam.
Padahal kedua kasus di atas adalah sama-sama kasus diskriminasi. Swim (dalam Baron & Byrne, 1997) menyatakan bahwa diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap orang yang menjadi objek prasangka seperti rasial, etnik, dan agama. Menurut Fulthoni (2009), diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, dan agama.
Maka kehadiran SKB 3 menteri yang diumumkan pada 3 Februari lalu merupakan angin segar bagi seluruh perempuan. Dimana mereka bisa menentukan untuk menggunakan jilbab atau tidak sesuai dengan kata hatinya, dan niat dari dalam dirinya. Tanpa ada pelarangan maupun pemaksaan.
Namun sayangnya, banyak yang tidak setuju dengan SKB ini. Tuduhan yang banyak disampaikan adalah dugaan kriminalisasi agama, liberal, dan tuduhan lainnya. Tak hanya ditujukan pada kementrian yang mengeluarkan SKB, namun tuduhan itu juga ditujukan pada semua pihak yang mendukung SKB tersebut. Tuduhan itu muncul karena pemahaman atas SKB yang parsial dan salah kaprah. Banyak yang menyangka SKB ini bertujuan untuk melarang penggunanaan jilbab.
Padahal telah jelas dalam SKB tersebut bahwa pada intinya, ketiga kementerian sepakat untuk melarang pemaksaan dan mengecam tindakan pelarangan penggunaan jilbab. Semangat dan ruh dari SKB yang bertujuan untuk menjaga eksistensi ideologi negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus mendapat dukungan yang maksimal.
Selain itu sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai toleransi berdasarkan “Ketuhanan Yang maha Esa”, seyogyanya kita harus menolak adanya tindakan diskriminasi berbasis agama. Berdasarkan dua pengalaman di atas, bisa kita bayangkan bagaimana tidak nyamannya seseorang yang dipaksa maupun dilarang menggunakan jilbab oleh orang lain. Pemahaman atas pluralisme beragama harus ditanamkan semenjak di bangku sekolah.
Ketika kita memahami bahwa pelarangan menggunakan jilbab adalah bertentangan nilai-nilai agama dan sosial, maka begitu pula sebaliknya. Memaksa seseorang untuk menggunakan jilbabpun juga bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Hadirnya SKB ini menjadi jalan tengah yang efektif, karena menyerahkan urusan penggunaan jilbab pada individu masing-masing, bukan melarang penggunaan jilbab, akan tetapi lebih pada larangan memaksa seseorang untuk menggunakan jilbab dan larangan untuk menahan seseorang menggunakan jilbab.
Jangka panjang dari SKB ini diharapkan agar tidak ada lagi pelarangan dan pemaksaan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah. Sehingga tak lagi ada permasalahan profesi dan peran perempuan di ruang publik yang terkendala karena permasalahan penggunaan jilbab. Biarlah hijab menjadi preferensi perempuan, sehingga perempuan tak lagi merasakan diskriminasi berlapis.
SKB ini memang berangkat dari fakta pemaksaan penggunaan jilbab bagi non muslim, dan mendapat banyak penolakan karena dianggap diskriminatif. Jika kasus ini berawal dari kasus larangan penggunaan jilbab pada instansi tertentu, masih kah ada penolakan? []