“Monggo, Pak; monggo, Budhe; nderek langkung, Mbah; badhe tindak masjid, Pak? badhe tindak peken, Bu?”
Mubadalah.id – Kalimat di atas adalah sedikit ungkapan yang sering kita dengarkan sepanjang perjalanan ketika berpapasan dengan orang lain. Sebagai keturunan orang Jawa, kebiasan sopo aruh ini memang perlu kita kenalkan kepada anak-anak sebagai calon pemimpin masa depan.
Meskipun dalam realitasnya, sopo aruh yang kita sampaikan tentu akan mendapat respons yang berbeda-beda. Ada yang menanggapi dengan ramah, ada yang cuek, ada pula yang salah tingkah. Biasanya, dua respons terakhir yang saya sebutkan tadi muncul karena dua sebab.
Pertama, belum saling kenal; kedua, sedang sibuk. Namun bagi sesama orang Jawa (bukan bermaksud Jawasentris), sikap ramah dengan tutur halus serta senyuman merupakan respons yang sering mereka berikan kepada orang yang menegur sapa duluan.
Lebih Dekat dengan Sopo Aruh
Sopo aruh secara sederhana dapat kita artikan sebagai tegur sapa. Suatu kalimat sapaan yang biasa kita gunakan ketika bertemu orang lain. Biasanya sopo aruh menggunakan Bahasa Jawa halus (krama), terlebih kepada orang yang belum saling mengenal.
Sopo aruh dalam konteks Islam layaknya sebagai ucapan salam. Sebuah doa keselamatan yang kita sampaikan dalam bahasa Jawa. Meskipun secara makna, sopo aruh tidak selalu berarti keselamatan, namun fungsinya selalu menuju pada hal tersebut.
Tindhak-tandhuk dan tutur kata halus merupakan laku kehidupan yang membawa aura positif sehingga menarik hal-hal positif pula. Percekcokan dan perkelahian menjadi hal yang musykil terjadi kecuali jika memang ada miskomunikasi karena perbedaan tradisi.
Tradisi ini secara sepintas terlihat begitu sepele. Namun jika kita mampu mempelajari nilai filosofisnya, sopo aruh memiliki dampak positif yang luar biasa. Apalagi di era yang serba medsos di mana generasi muda sekarang selalu sibuk dengan gadgetnya.
Bahkan tak jarang pula kita jumpai anak-anak muda yang berjalan tanpa memandang jalan. Mereka terlalu fokus atau pura-pura fokus pada layar kotaknya tersebut. Seolah-olah jalan yang mereka tempuh adalah shiratal mustaqim dan sekelilingnya adalah hutan-hutan tak berpenghuni. Hal ini membuat mereka kurang peduli terhadap lingkungan terdekatnya. Begitulah media sosial, jika tidak kita gunakan secara bijaksana, dapat mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat.
Sopo Aruh sebagai Representasi Karakter
Sopo aruh dapat menjadi tolok ukur kepribadian seseorang atau setidaknya membentuk semacam citra dalam pandangan masyarakat. Mereka yang sering mengucapkan kata sederhana seperti “Monggo, Bu, Monggo, Pak” ketika berpapasan dengan siapa saja yang mereka jumpai akan dianggap sebagai sosok yang ramah.
Tentu sopo aruh ini selalu bareng dengan senyuman. Sebagaimana Hadis menjelaskan bahwa senyuman adalah sedekah dan setiap sedekah tentu mendatangkan keberkahan. Tidak heran jika orang seperti ini akan disukai oleh masyarakat sehingga banyak yang bersimpati kepadanya.
Berbeda dengan mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah tegur sapa dengan orang lain. Dalam pandangan masyarakat Jawa, mereka akan dianggap sebagai sosok yang angkuh, sombong, dan kurang bersahabat.
Saya teringat perkataan nenek saya. Suatu ketika ada kabar buruk yang menimpa tetangga kami, nenek saya menanggapi, “wah yo pantes, lha wong dekne anggak tenan, ketemu ae ora tau nyopo kok! (wah, ya pantas, dia saja sombong orangnya, kalau bertemu tidak pernah menyapa!”
Meskipun sebagai tetangga rasa apatis itu sebenarnya juga tidak dibenarkan, namun masalah sederhana karena tidak mau menyapa dapat mengurangi rasa simpati dari masyarakat lainnya. Pada akhirnya ketika ia mendapat musibah atau hal yang kurang mengenakkan, masyarakat lain juga merasa berat untuk menolongnya. Etika dan nilai sosial seperti ini memang telah menjadi landasan yang mengakar dalam pola kehidupan masyarakat Jawa.
Sebuah Refleksi
Sopo aruh menjadi tradisi yang mempererat hubungan sosial dan mencegah permusuhan. Kata basa-basi yang secara nalar tidak perlu kita tanyakan karena jawabannya kita sudah tahu ternyata memainkan peran penting dalam lanskap kehidupan bermasyarakat.
Tradisi ini bukan berarti masyarakat Jawa ingin tahu-menahu perihal urusan orang lain, melainkan sebagai bentuk kehangatan dan keakraban untuk menghargai keberadaan orang tersebut. Setiap daerah tentu memiliki ciri khas masing-masing. Akan lebih indah jika tradisi mulia seperti ini dapat ditularkan kepada siapa saja tanpa memandang suku dan latar belakang sosialnya.
Apalagi masyarakat Jawa yang tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara hendaknya tetap menjaga kearifan lokal sopo aruh ini. Dengan demikian saya merasa yakin bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia akan tetap terjaga, karena cita-cita besar bisa dimulai dari hal yang sederhana. []