Mubadalah.id – Hal klise lain yang kerap kali kita dengar di dunia sains tentang perempuan adalah, bahwa perempuan kurang dalam kemampuan berpikir logis dibandingkan laki-laki. Stereotype yang terus melekat menjadikan perempuan dikatakan lebih emosional dan jarang menggunakan logika karena kemampuan berpikir secara logis hanya dimiliki kaum pria saja. Kondisi ini pula yang menggiring adanya stigma bahwa perempuan tidak pandai dalam bidang matematika, terlebih saat terjun ke dunia kerja.
Namun, apakah benar demikian? Apakah saat ini hal yang menyatakan bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan dari akalnya adalaha 100% benar? Atau itu hanya sebatas pelabelan yang dihadirkan untuk memerangkap perempuan agar tidak lagi berkembang?
Penting untuk kita ketahui bahwa, dalam perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang matematika terdapat banyak sekali tokoh ilmuwan perempuan yang mungkin hingga hari ini belum pernah kita kenal. Padahal jika kita mau menelurusi akan ada sangat banyak ilmuwan perempuan dari barat maupun muslim yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
Matematikawan Perempuan yang Terlupakan
Dalam bidang sains dan matematika nama Einstein sangat mahsyur dengan teorema relativitasnya. Namun, siapa sangka kalau pada tahun 1800an juga ada seorang matematikawan perempuan, yang bahkan Einstein mengakui kejeniusannya di bidang matematika dan fisika. Dia adalah, Amalie Emmy Noether yang oleh banyak ilmuwan laki-laki pada waktu itu disebut-sebut sebagai perempuan paling penting dalam sejarah matematika.
Bahkan, sama halnya dengan Einstein, Emmy Noether mencetuskan Teorema Noether yang merupakan teori yang menghubungkan hukum kekekalan alam semesta dengan simestri di alam semesta, yang menurut banyak pihak teorema ini memiliki urgensi yang sama seperti halnya teori relativitas Einstein. Namun nama Emmy tidak seterkenal Einstein dalam bidang matematika dan fisika, sebab dia perempuan.
Selain Emmy, ada juga Sutayta Al Mahamli sosok ilmuwan muslim perempuan ahli matematika yang mungkin sangat asing bagi kita. Sutayta memiliki keahlian dalam bidang aritmatika dan juga aljabar. Meskipun namanya tidak seterkenal Al Akhwarizmi, hadirnya Sutayta sebagai salah satu ilmuwan muslim perempuan menunjukkan bahwa pada saat itu (sekitar akhir abad ke-10) perempuan juga memiliki ruang yang sama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan pada saat itu Sutayta juga mendalami ilmu Faroid (perhitungan waris) sehingga, kemampuannya dalam bidang matematika tidak diragukan lagi.
Pada abad ke-10 ini peradaban besar Islam di Spanyol tepatnya di Kordoba, juga lahir sosok ilmuwan perempuan muslim bernama Lubna al Qurthuba. Dalam akun Twitter Islam & Science menuliskan bahwa Lubna sangat ahli dalam ilmu eksakta. Lubna juga memiliki dedikasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, yang ditunjukkan dari bagaimana dia dalam merawat buku-buku di perpustakaan kala itu. As-Suyuthi menyebutkan bahwa Lubna juga memiliki kemahiran dalam bidang gramatikal dan ilmu ‘arudh.
Kisah para ilmuwan perempuan ini, mengindikasikan bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan Barat maupun Islam, perempuan juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya. Mereka juga mampu bersaing dengan ilmuwan-ilmuwan mahsyur yang kita kenal dan dituliskan dalam banyak buku pengetahuan saat ini.
Jangan Jauhkan Perempuan dari Matematika dan Logika
Perempuan secara inheren dianggap tidak logis disebabkan karena mereka dianggap lebih emosional dan mengedepankan perasaan. Padahal, sebuah penelitian di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat memberikan kesimpulan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dalam bidang matematika bukan karena dari segi biologis mereka, akan tetapi kultur dan sosial-budaya masyarakat yang membentuk hal tersebut. Sehingga pada dasarnya kondisi perempuan yang secara inheren dianggap tidak logis, bukan sebab mereka perempuan.
Akan tetapi label yang dilekatkan oleh sistem patriarki terhadap perempuan-lah yang membuat mereka tambah dijauhkan dari dunia matematika dan logika yang dianggap sebagai ilmu yang memiliki sifat maskulin. Meski saat memasuki dunia perkuliahan jumlah perempuan yang memiliki minat dalam bidang ini cukup banyak, saat terjun di ranah profesional jumlahnya mengalami penyusutan.
Hal ini disebabkan selain banyaknya stigma negatif terhadap perempuan, pekerjaan-pekerjaan dalam bidang matematika dan logika masih sangat minim role model yang dapat dijadikan panutan bagi anak- anak perempuan kedepannya. Sebagaimana dituliskan dalam laporan yang dikeluarkan oleh UNESCO dan Korean Women’s Development Institute.
Selain itu, meskipun mampu bersaing dengan laki-laki di dunia kerja, upah yang diterima oleh perempuan kerap kali tidak setara dengan laki-laki. Sehingga, dalam kondisi ini dukungan dan saling support untuk perempuan-perempuan yang memiliki potensi untuk berkembang dan bersaing dalam bidang matematika harus terus kita kawal.
Sebagai bentuk pemberdayaan agar keilmuan yang berkembang juga memiliki perspektif perempuan. Meskipun secara tidak langsung, mungkin sebagian dari kita berpikir jika ilmu-ilmu matematika yang rumit tidak semuanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan adalah dinamis dan tidak berhenti.
Jika kemudian peran perempuan dalam salah satu bidang mengalami ketimpangan tentunya akan berdampak ke depan akan sulit memenuhi peran perempuan lainnya di ruang publik, karena sudah dianggap biasa jika perempuan tidak berperan apa-apa. Apakah kita masih akan bertahan pada kondisi tersebut? Sudah tugas kita sebagai perempuan untuk secara sadar terus merefleksikan dan menuliskan bahwa ada banyak peran ilmuwan perempuan dalam sejarah yang mungkin tak sempat dituliskan dalam buku-buku pembelajaraan saat ini. []