• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Stop Hate Speech dengan Membudayakan Kalimat Thayyibah

Dapat kita lihat sendiri bagaimana al-Qur’an getol menyuarakan agar jangan sampai umat manusia berhias dengan moralitas tercela. Agama selalu menghimbau agar batin dan lahir kita penuh dengan moralitas terpuji

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
20/12/2022
in Buku
0
Hate Speech

Hate Speech

441
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Hate speech, atau yang terkenal pula dengan istilah siaran atau ujaran kebencian, adalah sebentuk ekspresi kebencian terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan, ras, warna kulit, etnis, gender, disabilitas dan seterusnya dengan tujuan melakukan kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan.

Baik menyebarkannya melalui visualisasi tulisan dan gambar, maupun secara verbal, baik langsung maupun lewat saluran media. Definisi ini kami sadur dari beberapa unsur pengertian hate speech dalam buku Menangkal Siaran Kebencian Perspektif Islam (hal. 14-15) karya kiai Husein Muhammad dan Siti Aminah.

Dari definisi di atas, kita dapat menangkap substansi dari siaran kebencian yang terdiri sekurang-kurangnya dari tiga unsur. Pertama, adanya ekspresi kebencian. Kedua, dilakukan dengan maksud kekerasan, diskriminasi atau permusuhan, dan ketiga, menyebarkan ekspresi tersebut baik secara visual maupun verbal.

Benci dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “perasaan sangat tidak suka”. Artinya, ia adalah sebuah perasaan yang persis sama seperti marah. Jika memang berbeda, mungkin hanya beda level saja. Marah-atau ghadhab dalam bahasa Arab-memiliki definisi yang cukup beragam. Di antaranya terdapat dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Allamil Ghuyub (hal. 435) karya syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili (w. 1322 H), sebagai berikut:

وأما الغضب فهو غليان دم القلب لطلب الإنتقام

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

“Marah adalah kondisi mendidihnya darah dalam jantung yang mendorong seseorang untuk mencaci maki, mencela dan menuntut balas atas perlakuan yang membuatnya sampai pada kondisi tersebut.”

Substansi Siaran Kebencian

Jika siaran kebencian kita artikan sebagai ekspresi, maka ia hanyalah wajah tampak luar. Artinya, pasti terdapat sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih parah di dalamnya. Satu substansi yang tidak layak terpatri dalam kalbu kaum beriman. Yakni substansi moralitas tercela (akhlaq sayyi’ah atau madzmumah). Islam sangat tegas memerangi moralitas tercela ini.

Bahkan, baginda Nabi Muhammad diutus Allah Swt tiada lain kecuali dalam misi menyempurnakan moralitas terpuji (akhlaq karimah). Ketika moralitas terpuji telah sempurna, habislah moralitas tercela yang menggelapkan itu. Bahkan, al-Qur’an secara detail (tafshili) merinci dengan jelas apa saja bentuk moralitas tercela yang harus dihindari setiap insan.

Di antaranya dalam surah al-Hujurat (11), Allah berfirman:

‌يَٰٓأَيُّهَا ‌ٱلَّذِينَ ‌ءَامَنُواْ ‌لَا ‌يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari yang merendahkan. Dan, jangan pula kaum perempuan merendahkan kaum perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih rendah dari yang merendahkan.

Dan, janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelar yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka itulah orang-orang yang zalim.”

Pesan Al-Qur’an

Dapat kita lihat sendiri bagaimana al-Qur’an getol menyuarakan agar jangan sampai umat manusia berhias dengan moralitas tercela. Agama selalu menghimbau agar batin dan lahir kita penuh dengan moralitas terpuji. Terbukti, memanggil dengan gelar yang berkonotasi mengejek pun masuk dalam rincian yang surah al-Hujurat ayat 11 larang. Sebagaimana penjelasan di atas.

Padahal, panggilan adalah laku yang biasanya berawal dari candaan dan gurauan. Namun, karena biasanya berakhir pada saling balas mengejek yang tidak jarang berbuah kebencian dan permusuhan, maka al-Qur’an melarangnya.

Ini berarti, bahwa moralitas tercela tidak selalu berawal dari permusuhan. Bahkan, tak kalah potensial berawal dari senda gurau yang berlebihan. Maka dari itu, untuk memproteksi terjadinya hal semacam ini penting kita membiasakan kalimat thayyibah dalam relasi sosial sehari-hari.

Pentingnya Membiasakan Kalimat Thayyibah

Bicara tentang bagaimana menangkal siaran kebencian (hate speech), berarti bicara bagaimana membudayakan nilai komunikasi yang baik dalam relasi sosial umat manusia. Karena relasi sosial yang baik, tercermin dari hubungan komunikasi yang indah.

Dan, Islam sudah sejak lama mengajarkan bagaimana membangun komunikasi yang indah tersebut, yang ramah, sarat nilai kasih sayang, menunjukkan kelembutan dan seterusnya, melalui satu terma yang kita sebut kalimat thayyibah (al-kalimat at-thayyibah).

Dalam banyak hadis, baginda Nabi sering kali menyeru dan memotivasi umatnya agar tidak lepas dari kalimat thayyibah dalam setiap komunikasi mereka. Sampai-sampai, tidak sedikit para pakar hadis (al-muhadditsun) menyantumkan satu bab khusus tentang kalimat thayyibah. Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H), salah satu di antaranya.

Dalam masterpeicenya, Shahih Muslim, ia menulis satu bab yang berjudul “Bab al-Hattsi ‘ala as-Shadaqah walau bi Syiqqi Tamrah aw Kalimat Thayyibah wa Innaha Hijabun min an-Nar” (Bab Motifasi untuk Bersedekah Walaupun dengan Sepotong Kurma atau Mengucapkan Kalimat Tayibah. Sungguh Hal Itu sebagai Penghalang Api Neraka). 

Termasuk hadis yang bernaung dalam bab tersebut adalah riwayat dari sahabat ‘Adiy bin Hatim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ، فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya bersedekah dengan sepotong kurma, jika pun belum ada, cukuplah dengan kalimat tayibah.”

Maksud Hadis “Anjuran Kalimat Thayyibah setelah Anjuran Bersedekah”

Hadis di atas tidak sedang menempatkan kalimat tayibah sebagai opsi lain dari sedekah, alias jika sudah sedekah, maka boleh tidak menggunakan kalimat tayibah. Tidak sekali pun. Melainkan keduanya harus berjalan beriringan dengan sasaran yang berbeda, namun dalam misi relasi sosial yang sama. Anjuran bersedekah membawa misi sosial dengan cara saling berbagi dengan sesama. Jangan sampai kita asyik makan kurma, sedang saudara kita hanya menonton dan menelan ludah keringnya.

Demikian dengan kalimat thayyibah. Ia juga membawa misi sosial yang besar. Namun dalam ranah komunikasi verbal dan visual. Artinya, keduanya tetap tidak dapat kita pisahkan. Jangan sampai gara-gara pernah bersedekah kurma, kemudian tanpa berat hati mencaci maki dan menyebut-nyebut pemberiannya. Jelas bukan demikian cara menjaga diri dari neraka seperti yang dimaksud hadis di atas.

Lalu, mengapa dalam hadis disebut seolah berhierarki, anjuran mengucapkan kalimat thayyibah setelah tidak mampu bersedekah? Mengapa demikian? Alasan sederhananya, karena saudara kita yang tengah menahan lapar dan dahaga, perih lambung dan tenggorokannya, tidak akan terobati hanya dengan kalimat thayyibah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []

 

 

Tags: bukuHate Speechhusein muhammadislamKalimat ThayyibahUjaran Kebencian
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Herland

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

16 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

25 April 2025
Buku Sarinah

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

23 April 2025
Toleransi

Toleransi: Menyelami Relasi Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman

23 Maret 2025
Buku Syiar Ramadan Menebar Cinta untuk Indonesia

Kemenag RI Resmi Terbitkan Buku Syiar Ramadan, Menebar Cinta untuk Indonesia

20 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version