Mubadalah.id – Berapa banyak sih dari kita yang katanya paham dan aware akan isu-isu kesehatan mental tapi sebenarnya tidak benar-benar mengerti dan care dengan persoalan tersebut. Seberapa jauh kita telah memberi ruang dan dukungan sosial kepada mereka para penyintas? Di mana sebagian besar tidak sadar bahwa mereka membutuhkan dukungan dan pertolongan medis.
Penghakiman sosial yang mereka terima sebagai penyintas disabilitas mental justru membuat mereka semakin jauh dari kesadaran untuk mencari dukungan dan pertolongan, dan tak jarang pada pilihan untuk menarik diri.
Kita selalu memaksa mereka untuk tetap baik baik saja saat kondisi psikologis mereka tidak cukup baik. Yakni dengan meyakinkan bahwa mereka dalam keadaan yang baik dan harus selalu bersyukur. Kalimat seperti ini bagi penyintas justru adalah penghakiman bahwa mereka pribadi yang suka mengeluh dan tidak bersyukur. Alih-alih menguatkan, kalimat semacam ini justru membuat mereka tidak mampu untuk memvalidasi diri mereka sendiri.
Peristiwa psikologis yang mereka alami sering kali dianggap berlebihan. Bahkan permasalahan mereka kita anggap tidak terlalu penting. Hal ini terlihat dari upaya kita mendengarkan sekaligus memberi instruksi dan solusi saat mereka menceritakan pengalaman yang mereka anggap sebagai permasalahannya. Inilah penyebab mengapa mereka sering kali merasa tak kita dengar, dan kita pahami.
Memahami Kesehatan Mental
Pada kenyataannya persoalan mental hanya para profesional pahami, dan individu-individu yang tertarik dengan isu tersebut. Bahkan para profesional sekali pun masih ada yang tidak memahami secara utuh mengenai kesehatan mental. Namun, seberapa besar sih persentase orang yang memiliki pemahaman dan ketertarikan mengenai isu-isu kesehatan mental?
Sejauh ini belum ada riset yang mengamati seberapa besar jumlah masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai kesehatan mental. Kita lebih fokus pada seberapa besar peluang gangguan pada penyintas disabilitas mental itu dapat terjadi, tanpa mempertimbangkan apakah masyarakat paham atau tidak mengenai isu kesehatan mental itu sendiri.
Artinya tidak banyak dari kita yang paham secara utuh mengenai isu mental sehingga merasa telah memberi dukungan sosial kepada penyintas dengan penguatan verbal. Di mana hal itu justru melemahkan penyintas. Ini terjadi bukan karena kita tidak peduli dengan persoalan mental, melainkan minimnya pengetahuan yang komperhansif atau menyeluruh dan mendalam mengenai kesehatan mental.
Di luar faktor pengaruh keturunan, di sini saya mencoba mengamati persoalan kesehatan mental yang akibat faktor lingkungan dan pola hidup para penyintas. Cara atau latar belakang kehidupan sangat mempengaruhi bagaimana cara pandang dan perkembangan psikologis dan alam bawah sadar manusia.
Faktor Kekerasan sebagai Pemicu Disabilitas Mental
Dalam tulisan ini sebenarnya saya ingin mengajak teman-teman untuk mengamati permasalahan kesehatan mental akibat faktor kekerasan. Apapun bentuk kekerasannya, semua akan berdampak terhadap psikologis korbannya.
Seorang anak yang terbiasa hidup menjadi korban kekerasan, akan menginternalisasi kekerasan sebagai suatu hal yang normal dan wajar. Bahkan mungkin menjadi budaya yang paling efektif untuk mempertahankan apa yang menurutnya baik. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana kekerasan yang terjadi sejak dini mempengaruhi perkembangan cara berpikir dan psikologis anak.
Mengutip dari laman website Unair, Ika Yuniar Cahyani, Psikolog Unair menjelaskan bahwa “dampak psikologis akibat kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindak agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan masih banyak lagi lainnya.
Rendahnya pengetahuan terhadap bentuk dan bahaya kekerasan serta minimnya pemahaman kesehatan mental/psikologis, menjadikan kekerasan sebagai suatu hal yang perlu kita pertahankan. Efek luar biasanya yang berdampak terhadap psikologis sehingga mempengaruhi tumbuh kembang. Khususnya pada cara berpikir, tak jarang membentuk kecenderungan karakter menyimpang yang tidak mereka sadari sebagai dampak dari kekerasan
Dari sekian banyak tragedi kekerasan yang saya dengar langsung dari korban penyitas kekerasan, saya sepakat dengan pendapat mba Ika selaku psikolog Unair, bahwa kekerasan berdampak terhadap kesehatan mental anak. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban kekerasan fisik, verbal dan seksual ketika dewasa melakukan perilaku penyimpangan. Di mana membuat dia menjadi pribadi yang dijauhi dan dikucilkan orang lain.
Menelisik Gangguan Mental Bipolar
Setelah menelisik lebih jauh, dengan bantuan profesional ternyata Ia terdiagnosa gangguan mental bipolar. Di mana dengan diagnosa itu membuat ia menjadi pribadi yang mudah marah dan tersinggung. Lalu mudah membatalkan janji karena perubahan suasana hati tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Melukai diri sendiri yang menurut orang awam sebagai suatu hal yang tidak masuk akal dan perilaku menyimpang lainnya.
Mirisnya tidak ada kesadaran bahwa ia membutuhkan pertolongan medis lebih lanjut. Bahkan dukungan sosial untuk pulih juga tidak dia dapatkan
Ia selalu yakin bahwa dia dapat pulih jika sepenuhnya melakukan ibadah dan berserah diri kepada Tuhan, sehingga pernyataan yang Ia yakini adalah Ia bisa menjadi obat bagi diri sendiri. Dari sekian panjang proses saya untuk meyakinkannya kalimat terakhir yang mungkin bisa saya utarakan adalah “Hai sahabat semoga kamu baik baik saja ya.”
Bukan membenarkan penyimpangan yang penyitas gangguan mental lakukan. Tetapi yang ingin saya sampaikan adalah secara psikologis cara berpikir dan bersikap yang terbentuk sekian lama dalam tekanan kekerasan, tentu membentuk sikap dan kepribadian demikian.
Penyimpangan adalah konsekuensi dari pengalaman tragis dan traumatis yang korban alami. Sehingga membuat korban bingung dalam mengambil setiap keputusan apakah harus menerima nilai-nilai dari luar diri dia, atau membuat dia tetap merasa aman.
Ketika Penyintas Menolak Dukungan Sosial
Analogi sederhananya ia harus memilih antara mempertahankan apa yang menurutnya membuat ia tetap tenang dan aman, atau memilih menerima nilai baru yang membuat ia khawatir dan ketakutan.
Aman dan tenang karena telah terbiasa dengan proses kekerasan bagi definisi para penyintas menjadi suatu pola cara hidup. Di mana menurut penyintas adalah biasa dan normal. Bahkan jauh dari kekhawatiran dan ketidakpastian kehidupan. Sehingga tak jarang penyintas memilih bertahan dalam cara hidup yang ia lewati demikian.
Karena adanya semacam ikatan entah ikatan emosional, ketergantungan ekonomi, figur dan lain sebagainya. Alih-alih juga berharap pelaku kekerasan pasti akan berubah. inilah pola yang selalu dan akan terus terulang.
Jadi kita tidak perlu kaget mengapa korban kekerasan menolak dukungan sosial yang kita berikan. Hal ini terjadi bukan karena ia tidak butuh dukungan, melainkan ia tidak memiliki kesadaran bahwa ada permasalahan pada dirinya yang perlu ia selesaikan dengan kata lain tidak memiliki self awerness.
Kita juga tidak perlu merasa aneh terhadap penyimpangan yang ia lakukan, karena sebenarnya dalam mengambil keputusan ia juga berhadapan dengan gejolak batin yang tak semuanya bisa ia jelaskan dengan akal sehat.
Perlu kita sadari meski secara rasional tindakan penyimpangan yang penyintas lakukan tidak dapat kita benarkan. Namun tindakan mereka juga tidak sepenuhnya bisa kita salahkan. Ada faktor penting yang perlu kita pertimbangkan. Yaitu pengalaman emosional yang tidak semua orang bisa mengerti dan pahami, sehingga ini perlu kita perhitungkan dalam memberi dukungan terhadap korban kekerasan dan penyintas disabilitas mental. []