• Login
  • Register
Rabu, 4 Oktober 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Sudahkah Ada Ruang dan Dukungan bagi Penyintas Disabilitas Mental?

Seorang anak yang terbiasa hidup menjadi korban kekerasan, akan menginternalisasi kekerasan sebagai suatu hal yang normal dan wajar

Anita Maria Supriyanti Anita Maria Supriyanti
27/07/2023
in Personal
0
Penyintas Disabilitas Mental

Penyintas Disabilitas Mental

943
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berapa banyak sih dari kita yang katanya paham dan aware akan isu-isu kesehatan mental tapi sebenarnya tidak benar-benar mengerti dan care dengan persoalan tersebut. Seberapa jauh kita telah memberi ruang dan dukungan sosial kepada mereka para penyintas? Di mana sebagian besar tidak sadar bahwa mereka membutuhkan dukungan dan pertolongan medis.

Penghakiman sosial yang mereka terima sebagai penyintas disabilitas mental justru membuat mereka semakin jauh dari kesadaran untuk mencari dukungan dan pertolongan, dan tak jarang pada pilihan untuk menarik diri.

Kita selalu memaksa mereka untuk tetap baik baik saja saat kondisi psikologis mereka tidak cukup baik. Yakni dengan meyakinkan bahwa mereka dalam keadaan yang baik dan harus selalu bersyukur. Kalimat seperti ini bagi penyintas justru adalah penghakiman bahwa mereka pribadi yang suka mengeluh dan tidak bersyukur. Alih-alih menguatkan, kalimat semacam ini justru membuat mereka tidak mampu untuk memvalidasi diri mereka sendiri.

Peristiwa psikologis yang mereka alami sering kali dianggap berlebihan. Bahkan permasalahan mereka kita anggap tidak terlalu penting. Hal ini terlihat dari upaya kita mendengarkan sekaligus memberi instruksi dan solusi saat mereka menceritakan pengalaman yang mereka anggap sebagai permasalahannya. Inilah penyebab mengapa mereka sering kali merasa tak kita dengar, dan kita pahami.

Daftar Isi

    • Memahami Kesehatan Mental
  • Baca Juga:
  • Serigala Betina dalam Diri Perempuan: Mengenalkan Psikologi Feminis
  • Berdakwahlah dengan Tanpa Kekerasan
  • 5 Dampak Psikologi bagi Anak Korban Perceraian
  • Kurangnya Sensitivitas APH dalam Penanganan Kasus KDRT
    • Faktor Kekerasan sebagai Pemicu Disabilitas Mental
    • Menelisik Gangguan Mental Bipolar
    • Ketika Penyintas Menolak Dukungan Sosial

Memahami Kesehatan Mental

Pada kenyataannya persoalan mental hanya para profesional pahami, dan individu-individu yang tertarik dengan isu tersebut. Bahkan para profesional sekali pun masih ada yang tidak memahami secara utuh mengenai kesehatan mental. Namun, seberapa besar sih persentase orang yang memiliki pemahaman dan ketertarikan mengenai isu-isu kesehatan mental?

Baca Juga:

Serigala Betina dalam Diri Perempuan: Mengenalkan Psikologi Feminis

Berdakwahlah dengan Tanpa Kekerasan

5 Dampak Psikologi bagi Anak Korban Perceraian

Kurangnya Sensitivitas APH dalam Penanganan Kasus KDRT

Sejauh ini belum ada riset yang mengamati seberapa besar jumlah masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai kesehatan mental. Kita lebih fokus pada seberapa besar peluang gangguan pada penyintas disabilitas mental itu dapat terjadi, tanpa mempertimbangkan apakah masyarakat paham atau tidak mengenai isu kesehatan mental itu sendiri.

Artinya tidak banyak dari kita yang paham secara utuh mengenai isu mental sehingga merasa telah memberi dukungan sosial kepada penyintas dengan penguatan verbal. Di mana hal itu justru melemahkan penyintas. Ini terjadi bukan karena kita tidak peduli dengan persoalan mental, melainkan minimnya pengetahuan yang komperhansif atau menyeluruh dan mendalam mengenai kesehatan mental.

Di luar faktor pengaruh keturunan, di sini saya mencoba mengamati persoalan kesehatan mental yang akibat faktor lingkungan dan pola hidup para penyintas. Cara atau latar belakang kehidupan sangat mempengaruhi bagaimana cara pandang dan perkembangan psikologis dan alam bawah sadar manusia.

Faktor Kekerasan sebagai Pemicu Disabilitas Mental

Dalam tulisan ini sebenarnya saya ingin mengajak teman-teman untuk mengamati permasalahan kesehatan mental akibat faktor kekerasan. Apapun bentuk kekerasannya, semua akan berdampak terhadap psikologis korbannya.

Seorang anak yang terbiasa hidup menjadi korban kekerasan, akan menginternalisasi kekerasan sebagai suatu hal yang normal dan wajar. Bahkan mungkin menjadi budaya yang paling efektif untuk mempertahankan apa yang menurutnya baik. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana kekerasan yang terjadi sejak dini mempengaruhi perkembangan cara berpikir dan psikologis anak.

Mengutip dari laman website Unair, Ika Yuniar Cahyani, Psikolog Unair menjelaskan bahwa “dampak psikologis akibat kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindak agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan masih banyak lagi lainnya.

Rendahnya pengetahuan terhadap bentuk dan bahaya kekerasan serta minimnya pemahaman kesehatan mental/psikologis, menjadikan kekerasan sebagai suatu hal yang perlu kita pertahankan. Efek luar biasanya yang berdampak terhadap psikologis sehingga mempengaruhi tumbuh kembang. Khususnya pada cara berpikir, tak jarang membentuk kecenderungan karakter menyimpang yang tidak mereka sadari sebagai dampak dari kekerasan

Dari sekian banyak tragedi kekerasan yang saya dengar langsung dari korban penyitas kekerasan, saya sepakat dengan pendapat mba Ika selaku psikolog Unair, bahwa kekerasan berdampak terhadap kesehatan mental anak. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban kekerasan fisik, verbal dan seksual ketika dewasa melakukan perilaku penyimpangan. Di mana membuat dia menjadi pribadi yang dijauhi dan dikucilkan orang lain.

Menelisik Gangguan Mental Bipolar

Setelah menelisik lebih jauh, dengan bantuan profesional ternyata Ia terdiagnosa gangguan mental bipolar. Di mana dengan diagnosa itu membuat ia menjadi pribadi yang mudah marah dan tersinggung. Lalu mudah membatalkan janji karena perubahan suasana hati tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Melukai diri sendiri yang menurut orang awam sebagai suatu hal yang tidak masuk akal dan perilaku menyimpang lainnya.

Mirisnya tidak ada kesadaran bahwa ia membutuhkan pertolongan medis lebih lanjut. Bahkan dukungan sosial untuk pulih juga tidak dia dapatkan

Ia selalu yakin bahwa dia dapat pulih jika sepenuhnya melakukan ibadah dan berserah diri kepada Tuhan, sehingga pernyataan yang Ia yakini adalah Ia bisa menjadi obat bagi diri sendiri. Dari sekian panjang proses saya untuk meyakinkannya kalimat terakhir yang mungkin bisa saya utarakan adalah “Hai sahabat semoga kamu baik baik saja ya.”

Bukan membenarkan penyimpangan yang penyitas gangguan mental lakukan. Tetapi yang ingin saya sampaikan adalah secara psikologis cara berpikir dan bersikap yang terbentuk sekian lama dalam tekanan kekerasan, tentu membentuk sikap dan kepribadian demikian.

Penyimpangan adalah konsekuensi dari pengalaman tragis dan traumatis yang korban alami. Sehingga membuat korban bingung dalam mengambil setiap keputusan apakah harus menerima nilai-nilai dari luar diri dia, atau membuat dia tetap merasa aman.

Ketika Penyintas Menolak Dukungan Sosial

Analogi sederhananya ia harus memilih antara mempertahankan apa yang menurutnya membuat ia tetap tenang dan aman, atau memilih menerima nilai baru yang membuat ia khawatir dan ketakutan.

Aman dan tenang karena telah terbiasa dengan proses kekerasan bagi definisi para penyintas menjadi suatu pola cara hidup. Di mana menurut penyintas adalah biasa dan normal. Bahkan jauh dari kekhawatiran dan ketidakpastian kehidupan. Sehingga tak jarang penyintas memilih bertahan dalam cara hidup yang ia lewati demikian.

Karena adanya semacam ikatan entah ikatan emosional, ketergantungan ekonomi, figur dan lain sebagainya. Alih-alih juga berharap pelaku kekerasan pasti akan berubah. inilah pola yang selalu dan akan terus terulang.

Jadi kita tidak perlu kaget mengapa korban kekerasan menolak dukungan sosial yang kita berikan. Hal ini terjadi bukan karena ia tidak butuh dukungan, melainkan ia tidak memiliki kesadaran bahwa ada permasalahan pada dirinya yang perlu ia selesaikan dengan kata lain tidak memiliki self awerness.

Kita juga tidak perlu merasa aneh terhadap penyimpangan yang ia lakukan, karena sebenarnya dalam mengambil keputusan ia juga berhadapan dengan gejolak batin yang tak semuanya bisa ia jelaskan dengan akal sehat.

Perlu kita sadari meski secara rasional tindakan penyimpangan yang penyintas lakukan tidak dapat kita benarkan. Namun tindakan mereka juga tidak sepenuhnya bisa kita salahkan. Ada faktor penting yang perlu kita pertimbangkan. Yaitu pengalaman emosional yang tidak semua orang bisa mengerti dan pahami, sehingga ini perlu kita perhitungkan dalam memberi dukungan terhadap korban kekerasan dan penyintas disabilitas mental. []

Tags: Disabilitas MentalkekerasanKesehatan MentalpsikologiSelf Love
Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti

Anita Maria Supriyanti panggil aja An biar ga repot, kadang suka nulis tapi lebih sering malas nulis. punya cita cita jadi penulis yang sok misterius.

Terkait Posts

Pendaki

Beragam Mitos Stereotip Negatif kepada Pendaki Perempuan

3 Oktober 2023
Al-Sittīn Al-‘Adliyah Perempuan

Ngaji Al-Sittīn Al-‘Adliyah (5): Mengapa Harus Menghormati Perempuan?

2 Oktober 2023
Bidadari Surga

Obyektifikasi Perempuan dalam Narasi Bidadari Surga

1 Oktober 2023
Nafsun wahidah

Muhammad Abduh: Jika Nafsun Wahidah adalah Adam, Maka Adam yang Mana?

30 September 2023
Tadarus

Refleksi Tadarus Subuh: Banyak Perempuan Masa Nabi Saw Ikut Bela Negara

29 September 2023
Ning Sheila Hasina

Melawan Catcalling dengan Elegansi ala Ning Sheila Hasina

29 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • mubadalah

    Prinsip Mubadalah adalah Prinsip untuk Kesetaraan dan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Kesalingan Dalam Mencari Nafkah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 9 Konsep Keluarga Maslahah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Teladan Nabi dalam Pemberian Stimulasi Fisik Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Relasi Suami Istri adalah Kesalingan dan Kerjasama
  • Perempuan Guru Mengaji di Sabuah
  • Makna Hadis Istri Bersujud kepada Suami dalam Perspektif Mubadalah
  • Serigala Betina dalam Diri Perempuan: Mengenalkan Psikologi Feminis
  • Hadis Suami Saleh dan Istri Salihah dalam Perspektif Mubadalah

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist