• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Syahidnya Mahasin al-Khatib dan Konspirasi Human Shields-nya Israel

Mahasin al-Khatib seniman perempuan Palestina. Dengan goresan digitalnya, melukiskan rasa sakit rakyat Palestina menjadi cerita.

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
27/10/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Mahasin al-Khatib

Mahasin al-Khatib

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah. Id — Syahidnya Mahasin al-Khatib sesungguhnya tak terlepas dari narasi konspirasi Human Shieldsnya Israel. Inilah yang membuat Mahasin al-Khatib berjihad melawan Israel. Dan perempuan itu tampak frustasi meski tak putus asa. Karena menjalani hari dalam bayangan Malaikat Izrail melalui bom Israel. “Tidak bisakah kita semua mati saja dan selesai dengan semuanya (perang)?” (16 Januari 2024).

Ujaran bernada protes itu berisi keletihan Mahasin al-Khatib.  Penjajahan Israel membawa Mahasen pada titik, kematian adalah lebih baik. Supaya Israel berhenti membunuh warga sipil secara brutal.

Maklum Mahasin Protes sebagai Perjuangannya

Harus maklum, saya kira, perempuan Palestina itu menggerutu, entah ke siapa. Yang jelas, Mahasin al-Khatib tetap pasrah ke Tuhan. “Jadi, kita tidak punya siapa-siapa lagi selain Tuhan Pencipta Alam.” Tandas Mahasen beberapa hari sebelum ajalnya.

Saya tidak tahu Mahasen marah ke siapa. Ke Tuhan? Realitas sosio-politik? Umat Muslim yang bermental minoritas? Yang jelas marah ke Israel. Tapi bisa saja menggerutu Ke Tuhan karena membiarkan Israel membunuh tak sedikit hambanya, katanya, banyak penghafal Alquran.

Atau menggugat realitas yang seolah tak memberi ruang pilihan sebagai “desain” orang Palestina merdeka –  konsekuensi keterlepmaran: “Geworfenheit” dalam istilah Martin Heidegger. “Rasanya kita tidak lagi berarti bagi siapa pun. Dunia sudah muak dengan perjuangan kita.” Kata Mahasin, 26 Agustus 2024.

Baca Juga:

Nakba Day; Kiamat di Palestina

Pesan dan Harapan Perdamaian dalam Perayaan Dua Paskah di Tanah Suci Palestina

Evakuasi Warga Palestina, Antara Solidaritas dan Potensi Kehilangan Identitas

Kenapa Amerika Serikat Membela Israel Habis-habisan?

Atau boleh jadi, Mahasin dongkol ke umat Muslim dan negara-negara Arab  yang tak berbuat banyak selain memberikan dukungan moril atau materi. Tapi tak bisa membujuk Israel berhenti membombardir Gaza, apa lagi memaksanya diam.

Sebagaimana ucapan Mahasin al-Khatib. “Paman saya berkata: “Orang Arab mengkhianati kita sebelum orang Yahudi (Israel) melakukannya. Kalau mereka punya kebaikan, mereka pasti sudah mengakhiri penjajahan ini sejak lama”.

Alasan negara Arab diam adalah geopolitik, aturan PBB, teritorial nasional, dll. Di saat yang sama, Israel buta aturan hukum Internasional Humanetarian, apalagi hukum Tuhannya orang Gaza.

Suasana Gaza 19 Oktober 2024

Kala itu, saya melihat dari layar, langit Gaza merah buram menyeramkan. Penuh asap  berkobar api. Dentuman bom, raungan Pesawat  tempur Israel seram menggema. Tanahnya amis dengan aliran darah segar manusia, darah merah menyala.  Menjadi saksi bisu perjuangan Mahasin al-Khatib yang mengekspresikan melalui karikatur digitalnya.

Dan saya ragu, Tuhan tidak betah di sana dengan suasana yang Mahasen rasakan? Atau Tuhan sedang tidak di sana? Apakah Tuhan  dengar berita tragis menimpa Gaza? Atau sebagaimana saya, Tuhan sedang menonton mortir Israel meruntuhkan infrastruktur Gaza. merusak lingkungan. Dan membunuh warga sipil Gaza? Saya sungguh tidak tahu kala itu Tuhan sedang apa. Tapi warga Gaza melimpahkan harapannya kepada Dzat yang kita sebut Tuhan, Allah al-Qahhar, al-Jabbar.

Dalam suasana mencekam, 19 Oktober 2024 lalu di kamp pengungsi Jabalia, Gaza. Lagi-lagi  Israel membombardir Gaza Utara dengan bom mematikan. Targetnya adalah perempuan, Mahasen al-Khateeb.

Mahasin al-Khatib seniman perempuan Palestina. Dengan goresan digitalnya, melukiskan rasa sakit rakyat Palestina menjadi cerita. Setiap tarikan kuasnya adalah teriakan jiwa yang tertindas. Setiap gambar adalah tamparan terhadap dunia (muslim khususnya) yang tak berdaya.

Hari itu pula Mahasin mencurahkan jiwa seni terakhirnya. Melukis saat Shaban al-Dalu – pemuda penghafal Alquran –  terbakar hidup-hidup karena kebiadaban Israel. Lalu karyanya  tersebar di media sosial, layaknya jeritan penghabisan. Benar Israel membunuhmu, Mahasin al-Khatib. Membungkam suaramu selamanya –  tapi tidak dengan semangat juangmu.

Human Shields

Itulah kebiadaban Israel! Namun, Israel memiliki narasi mereka sendiri menggunakan konspirasi “human shields” – perisai manusia. Human shields atau dalam Hukum Islam masyhur dengan istilah tatarrus adalah penggunaan warga sipil secara sengaja untuk melindungi fasilitas militer, personel, atau tempat-tempat strategis dari serangan musuh.

Dalam hukum internasional (demikian hukum Islam), penggunaan perisai manusia ialah pelanggaran dan kejahatan. Sebagaimana dalam Konvensi Jenewa IV (1949) dan turunan dan protokol tambahannya. Termasuk Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional (1998).

Israel sering berargumen bahwa kelompok Hamas, yang berbasis di Gaza, menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia dengan menempatkan pusat-pusat komando militer, peluncur roket, atau gudang senjata di area yang padat penduduk. Mereka promosikan argumen yang lebih tepat propaganda itu ke dunia. Tuk mendapat dukungan membantai warga sipil Gaza.

Konspirasi “Human Shields”-nya Israel

Negara Adikuasa banyak terpana dan menelan narasi busuk klise Israel yang semut Nabi Sulaiman pun bosan mendengar. Alasannya, karena Hamas ialah teroris yang wajib musnah. Maka, dunia menganggap rakyat Gaza adalah “perisai manusia” kelompok bersenjata Hamas. Bahkan membantu kelompok sang teroris. Seakan-akan Mahasin al-Khatib dan keluarganya yang tak bersenjata adalah ancaman yang layak binasa.

Pertanyaannya, siapakah yang berwenang memberikan status “teroris” dan “bukan teroris”? Apa yang diharapkan dari PBB, yang ada dalam genggaman Amerika dan sekutunya Israel, menentukan kelompok ini bermoral. Lainnya teroris?

Narasi konspirasi “human shields” – yang menyatakan bahwa warga sipil Gaza sebagai perisai hidup oleh kelompok militan Hamas – tersebar luas.  Media internasional ikut serta menyebarkan fitnah Israel semisal  The Jerusalem Post.

Dengan konspirasi jahat itu, Israel absah secara hukum membasmi warga sipil karena alasan menyerang Hamas melalui konspirasi “human shields”. Sebagaimana tulisan Nicola Perugini and Neve Gordon; A Legal Justification for Genocide. Dan Israel melimpahkan ke Hamas dosa dan kejahatan pembunuhan masal warga sipil Gaza yang mereka lakukan.

Mahasin Al-Khatib Punya Kebenaran Berbeda

Namun, Mahasin al-Khatib, tahu kebenaran yang berbeda. Bahwa konspirasi “human shields” adalah siasat licik Israel yang dapat sponsor dari Amerika untuk membasmi warga Gaza Utara, bukan semata tentara Hamas. Israel ingin melikuidasi tanah Gaza sebagai proyek “Israel Raya”.

Cukup kita intip narasi Israel tentang ini, mulai dari akademisi,  politisi, serta militer mereka, terkait pembasmian Gaza Utara: mati atau pergi. Bisa baca analisis Meron Rapoport dengan tajuk: A plan to liquidate northern Gaza is gaining steam. Demikian pula laporan Amnesti Internasional.

Mahasin al-Khatib menulis: “Ibu saya berkata: Jangan rayakan kematian Al-Sinwar, karena pertempuran Israel bukanlah melawan Hamas. Pertempuran mereka (Israel) adalah melawan seluruh rakyat dan pemilik sah tanah Gaza” (Mahasen, 17/16 Oktober 2024). Maka tak perlu heran konspirasi “human shields” menjadi dalih Israel. Berkelit dari kejahatan dan berkamuflase menjadi pahlawan.

Kesyahidan Mahasin al-Khatib

Saat  Mahasin al-Khatib mati syahid bersama orang-orang sekitar rumahnya, narasi “human shields” merupakan fitnah dan penghinaan terkeji yang lebih menyakitkan daripada serpihan bom yang menghancurkan tubuhnya.

Tapi Mahasin sadar, meskipun tubuhnya hancur, karyanya akan terus berbicara. Goresan tangannya yang lembut, namun tajam, akan menembus propaganda yang Israel bangun bertahun-tahun.  Setiap garis, ia membangun benteng perlawanan yang tak bisa hancur oleh bom.

Baginya, kematian adalah bagian dari takdir rakyat Palestina, tetapi kebenaran adalah sesuatu yang abadi. “Akankah semua ini (Penjajahan) berakhir? Atau akankah kita tetap di sini (Gaza), menanti kematian dengan penuh harap?”.

“Setelah mengalami pengungsian berkali-kali, Kami tahu tidak ada jalan keluar. Di mana pun kamu berada, kematian akan menjemputmu.” (Mahasin, 7 Oktober 2024).

Mahasin al-Khatib, Kini tubuhmu menjadi abu, tetapi ingatanmu terus menghidupkan narasi yang ingin kau sampaikan: bahwa rakyat Palestina adalah korban, bukan pelaku. Mereka adalah manusia, bukan alat perang: “Human Shields”.

Ketika Israel terus berusaha mencuci otak dunia dengan konspirasi “human shields”, seni Mahasin menjadi saksi abadi – bahwa ada  yang lebih kuat daripada bom. Lebih tajam daripada peluru. Dan tak akan pernah bisa dibungkam: Kebenaran Tuhan tentang Kemanusiaan! []

Tags: GazaHuman ShieldsIsraelMahasin al-KhatibMati SyahidPalestinazionis
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version