Mubadalah.id – Jika merujuk ayat poligami surat an-Nisa ayat 3 maka secara literal terjemahan, fokus ayat tersebut adalah anjuran pada dua hal: pertama berbuat adil kepada anak yatim.
Kedua ketika berpoligami juga harus berdasarkan pada moralitas keadilan. Jika khawatir tidak mampu adil, seharusnya mencukupkan diri dengan satu istri saja, agar tidak terjadi kezaliman dan kenistaan.
Banyak orang yang tidak begitu paham kaitan pemeliharaan anak yatim dengan kebolehan poligami, seperti dalam ayat tersebut.
Hal ini pernah Urwah bin Zubair ungkapkan di hadapan Aisyah bint Abu Bakr ra, istri Rasulullah Saw. Urwah bin Zubair, anak Asma kakak Aisyah ra, bertanya mengenai kaitan pemeliharaan anak yatim dengan kebolehan poligami dengan dua istri, tiga, atau empat. Aisyah ra menjawab:
“Wahai kemenakanku!, Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secura adil. Sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain.”
“Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain.”
Hampir seluruh kitab tafsir mengutip pernyataan Aisyah ra ini sebagai dasar penafsiran ayat ketiga surat an-Nisa. Dalam pernyataan di atas, Aisyah mengaitkan antara pemeliharaan anak yatim dengan kebiasaan berpoligami. Memang ada keterkaitan antara keduanya, yaitu kemungkinan terjadinya penyelewengan dan penistaan terhadap orang yang lemah, anak yatim dan perempuan.
Ayat ini kemudian memandang perlu penekanan moralitas keadilan dan kejujuran. Ayat sebelumnya juga berbicara tentang pemeliharaan anak yatim. Tepatnya mengenai keharusan memberikan hak harta, larangan mencampur adukkan dan memakan harta mereka.
Biasanya, seorang wali akan lebih mudah menyeleweng dan tidak jujur, jika yang di bawah perwaliannya adalah orang yang dalam posisi relasi timpang seperti anak yatim dan perempuan.
Pandangan Ath-Thabari
Dalam bacaan Nurjannah Ismail terhadap penafsiran ath-Thabari, bahwa ayat 2 dan 3 dari surat an-Nisa menjelaskan mengenai perempuan yatim. Jika ia sudah dewasa hendaklah hartanya diserahkan kepadanya, karena ia akan menikah dan berumah tangga.
Tetapi biasanya dalam adat Arab pada saat itu, timbul niat pada diri wali untuk menikahinya. Sehingga perempuan yatim itu tidak perlu keluar dari rumahnya dan hartanya pun tidak akan keluar dari genggamannya. Kecantikannya bisa dipersunting, hartanya bisa tetap dikuasai.
Sementara maharnya akan diberikan sesuai kehendak sang wali. Ini adalah niat jahat dan perilaku semena-mena terhadap perempuan yatim, yang diperingatkan ayat 3 an-Nisa itu.
Daripada melangsungkan niat jahat itu, ayat an-Nisa memperkenankan untuk menikahi perempuan lain saja, bukan perempuan yatim yang di bawah asuhannya itu. Bisa dua, tiga, atau empat, yang biasanya sang wali akan berpikir untuk membayar dengan mahar yang patut. Karena yang ia nikahi adalah perempuan dari keluarga lain, yang harus ia hormati.
Maka dari penjelasan yang sederhana ini, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa ayat an-Nisa ayat 3 tidak sedang membicarakan poligami, apalagai menganjurkannya. []