Mubadalah.id – Fakta-fakta sosial hari menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan fisik dan kecerdasan intelektual yang relatif sama dengan laki-laki. Bahkan dalam banyak kenyataan hari ini, secara fisik dan mental perempuan justru lebih tangguh dan kuat daripada laki-laki.
Ketika laki-laki menyerah dan tak berdaya terhadap tekanan ekonomi yang bertubi-tubi dan melelahkan, akibat krisis yang panjang, perempuan justru tampil lebih kuat untuk bekerja demi menolong keluarganya dengan seluruh risiko yang harus ditanggungnya.
Cerita banyaknya Pekerja Rumah Tangga (PRT) memperlihatkan bahwa tugas dan kewajiban mereka sungguh amat berat. Meski dalam kontrak atau perjanjian telah ada aturan waktu, tetapi pada kenyataannya mereka bekerja tanpa kenal istirahat yang cukup.
Kenyataan ini menunjukkan dengan jelas bahwa pekerjaan PRT sesungguhnya tidaklah ringan sebagaimana dipersepsi banyak orang selama ini.
Kehadiran perempuan di ruang publik untuk kerja-kerja sosial, ekonomi, budaya dan politik telah menjadi bagian dari sejarah Islam masa Nabi dan para sahabatnya.
Khadijah, istri Nabi adalah pedagang besar yang sukses dan Aisyah, juga istri beliau, di samping perempuan paling cerdas adalah pemimpin politik terkemuka pada masanya. Ini berarti bahwa perempuan bukan hanya entitas reproduktif tetapi juga produktif.
Kita sungguh-sungguh tidak habis mengerti, meski konon secara norma agama dan tradisi, bahwa perempuan harus selalu berada di rumah bersama suami dan anak-anaknya dan tidak boleh pergi jauh meninggalkan mereka.
Tetapi realitas telah memperlihatkan kepada kta betapa banyak perempuan yang direlakan, kadang-kadang dipaksa keluarganya, termasuk suaminya, bekerja ke luar negeri dengan iringan doa untuk menjadi TKW berikut risikonya sendiri yang amat berat.
Bukankah ini merupakan kenyataan pandangan yang ambigu? Norma agama tampaknya tak mampu membendung arus besar PRT perempuan ke luar negeri.
Intelektual Perempuan
Secara intelektual fakta-fakta sosial juga memperlihatkan bahwa perempuan telah banyak yang memiliki keahlian relatif lebih baik dan lebih cerdas daripada laki-laki.
Jika fakta masih menunjukkan jumlah laki-laki yang ahli lebih banyak dari perempuan. Maka hal itu bukan soal potensi inheren perempuan, bukan karena kodrat perempuan. Tetapi hasil dari konstruksi sosial yang ditanamkan berbad-abad yang membatasi ruang pendidikan kaum perempuan.
Dan konstruksi inilah yang kemudian melahirkan ketidakadilan dan kekerasan sebagaimana yang sudah kita kemukan. Ketidakadilan dan kekerasan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak manusia.
Jika PRT adalah manusia miskin dan berkualitas rendah, sementara perempuan juga dipandang sebagai entitas subordinat laki-laki. Maka kekerasan terhadap PRT perempuan menjadi berganda, sebagai PRT dan sebagai perempuan itu sendiri. Maka kekerasan terhadap mereka adalah pelanggaran hak-hak asasi berganda.