• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Tidak Bisa Masak = Bukan Istri Baik?

Humairatul Khairiyah Humairatul Khairiyah
31/05/2020
in Keluarga
0
220
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kemampuan memasak saya memang tidak bisa diandalkan. Saya hanya bisa masak yang standar-standar saja. Itu pun sering diiringi dengan keasinan, kurang bumbu, terlalu pedas, gosong, dan segala macamnya. Bahkan waktu dulu awal-awal nikah, saya sempat menggosongkan dua panci sampai bolong. Suerrr…

Dengan kemampuan memasak saya yang buruk itu, saya sempat jadi bulan-bulanan orang sekitar sebelum menikah. Saya ditakut-takuti bahwa perempuan yang tidak bisa masak tidak akan disukai suami, perempuan yang nggak bisa masak akan ditinggalkan oleh suami. Maklumlah, di lingkungan patriarki, memasak dianggap sebagai salah satu kemampuan yang wajib dikuasai oleh perempuan.

Meskipun begitu, saya tetap nekat untuk nikah haha. Ya, masa’ cuma gara-gara nggak bisa masak, trus nggak jadi nikah kan, ya? Hehe. Lagian, siapa bilang memasak cuma tugas istri? Ayo…tidak ada aturan baku kan bahwa istri harus bisa masak? Itu hanyalah aturan yang diciptakan oleh cara pandang masyarakat patriarkis. Padahal kalau mau adil, memasak harusnya jadi tugas semua orang dalam sebuah rumah. Kan semuanya ikut makan.

Sehubungan dengan hal ini, ada yang menarik dalam film Ki and Ka (2016) yang saya tonton beberapa hari lalu. Film ini bercerita tentang seorang laki-laki bernama Kabir (Arjun Kapoor) yang ingin menjalani kehidupan seperti ibunya, yaitu menjadi seorang ibu rumah tangga.

Baginya, ibu rumah tangga adalah seniman terhebat yang ada di dunia. Ibunya bisa mengurus rumah dengan baik, membuat masakan paling enak dan mendidik anak dengan penuh cinta. Namun, ayahnya menginginkan Kabir menjadi seperti dirinya serta menghina keinginan Kabir untuk mengurus rumah tangga. Ia sangat menentang keinginan Kabir. Tapi Kabir tetap bersikukuh dengan keinginannya.

Baca Juga:

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

Perjanjian Pernikahan

Lalu ia bertemu dengan Kia (Kareena Kapoor). Kia sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik; tidak bisa memasak dan mengurus rumah tapi sangat sukses dalam karir. Mereka bertemu dan setuju untuk menikah dengan posisi si suami di rumah mengurus rumah dan memasak sementara si istri pergi bekerja dengan nyaman. Selama mereka melakoni hal itu, tentu saja ada banyak  masalah. Tapi mereka bisa menyelesaikan masalah itu dan kembali hidup baik-baik saja dan bahagia dengan peran masing-masing. 

Bagi saya, ini menarik. Pandangan orang umum soal laki-laki di rumah saja; memasak, mencuci, dan lain-lain sedangkan perempuan bekerja di luar rumah itu sangatlah buruk. Rumah tangga begini akan jadi bahan pergunjingan orang-orang sekitar. Film ini justru menunjukkan  bahwa ketika laki-laki mengurus rumah itu sama sekali bukan pilihan buruk.

Laki-laki bahkan bisa mengurus rumah dengan lebih baik. Rumah Kia yang dulunya sangat berantakan menjadi sangat rapih bahkan didekorasi dengan sangat cantik dan unik oleh Kabir, Kia yang sebelumnya makan sembarangan karena tidak bisa masak malah mendapatkan makanan sehat dan makan dengan teratur. Uang masuk dan keluar menjadi sangat jelas pembukuannya.

Sementara itu Kia bekerja tanpa beban dan karirnya terus melesat. Film ini membuktikan bahwa laki-laki di rumah itu juga keren kok, begitu pula bahwa perempuan bekerja di luar itu juga tidak buruk selama suami istri saling berlaku baik dan memikirkan kebahagiaan pasangannya.

Ketika saya masih kuliah dulu, saya juga punya teman yang suaminya di rumah; mengerjakan tugas domestik dan mengurus anak-anak sedangkan si istrinya kuliah dan bekerja. Hal itu sama sekali tidak membuat kehidupan rumah tangga mereka jadi hancur, mereka bahagia-bahagia saja dengan kondisi itu. Anak-anak dan rumah mereka benar-benar terurus dengan baik. Bagi masyarakat patriarki, keluarga seperti ini pasti  terlihat mengerikan, padahal enggak juga kan? 

Dalam kondisi ini, peran kesetaraan gender amat sangat penting. Kesetaraan gender bukanlah soal laki-laki harus masuk dapur, harus melakukan tugas domestik sebanyak mungkin, harus menyediakan banyak waktu untuk mengurus anak. Kesetaraan gender bukanlah soal perempuan harus bekerja di luar dan mendapatkan posisi lebih tinggi dari laki-laki. Kesetaraan gender bukan untuk mengalahkan laki-laki. Tidak.

Kesetaraan gender berarti bahwa laki-laki dan perempuan dianggap setara dari sisi kemanusiaannya. Artinya, perempuan dan laki-laki harus saling bekerjasama untuk mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah, mawadah warahmah sebagaimana yang dicita-citakan dalam Alquran.

Kalau kata Faqihuddin Abdul Qadir dalam bukunya Qiraah Mubaadalah, pola relasi yang harus dibangun dalam rumah tangga itu adalah muasyarah bil ma’ruf sebagaimana yang dicantumkan oleh QS: Annisa’: 19. Waasyiruuhunna bilma’ruuf. Saling bergaul dengan baik, saling berbuat baik. Saling memikirkan kebahagiaan pasangan.

Bukankah membantu istri memasak itu baik? Bukankah membantu istri yang kesulitan mengurus rumah itu baik? Bukankah mengeluarkan kata-kata manis pada istri itu baik? Bukankah memberikan hadiah itu baik? Bukankah melebihkan uang belanja itu baik? Eh.

Bisa saja perempuan tetap di rumah dan suami bekerja di luar layaknya masyarakat umum, tapi ketika di rumah, perempuan benar-benar harus dianggap dan diperlakukan sebagaimana seorang manusia. Itu berarti bahwa ia berhak berpendapat, ia punya hak untuk diajak dalam memutuskan sesuatu, ia berhak dibantu dalam mengerjakan tugas domestik, ia berhak dilayani dan dihormati sebagaimana laki-laki menginginkan hal yang sama.

Jangan jadikan hubungan suami istri seperti hubungan tuan dan budak atau seperti pembantu dan majikan. Di mana perempuan harus melayani suami mulai dari ranjang, tugas domestik, hingga mengurus anak sendirian sementara si suami tak pernah mencoba melayani si istri. Lalu kalau si istri melakukan kesalahan, si suami berhak melakukan kekerasan. Bukankah itu namanya tidak adil dan zholim?

Jadi apakah istri harus bisa masak untuk disebut sebagai istri yang baik? Ya nggak mesti. Sayangnya masih ada laki-laki yang  ngotot bahwa istri itu harus  bisa masak. Nah, meskipun masak-memasak ini bukan tugas mutlak si istri, namun saya tetap saja punya masalah. Masalah saya ialah saya dapat suami yang juga nggak pintar masak.

Jadilah kami seperti sepasang anak burung yang baru saja belajar terbang. Kelabakan. Susah payah mengepakkan sayap. Kami harus terus belajar masak. Meskipun banyak gagalnya dari pada berhasilnya, tapi kami baik-baik saja. Kami bahagia-bahagia saja, meskipun kemampuan memasak kami begitu-begitu saja hehe.. []

 . 

Humairatul Khairiyah

Humairatul Khairiyah

Terkait Posts

Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nikah Massal

    Menimbang Kebijakan Nikah Massal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?
  • Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang
  • Perjanjian Pernikahan
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID