• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Tiga Relasi dalam Perkawinan

Badriyah Fayumi Badriyah Fayumi
13/08/2020
in Hukum Syariat, Keluarga, Rekomendasi
0
cara menegur anak yang baik dalam Islam

cara menegur anak yang baik dalam Islam

316
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Rabbana Hab Lana Min Azwajina wa Dzurriyatina Qurrata A’yun Waj’alna Lil Muttaqina Imaman
… (Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan dan keturunan kami sebagai permata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa).

Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa doa nan singkat yang terdapat dalam Surat al-Furqan/25 ayat 74 ini ada tiga hal sangat penting sekaligus yang kita mohonkan kepada Allah; pasangan hidup yang menjadi permata hati dan penyejuk jiwa; anak keturunan yang menjadi permata hati dan penyejuk jiwa orang tua; dan suami, istri, dan anak-cucu menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Tiga permohonan ini memperlukan proses panjang untuk mewujudkannya. Namun, doa ini insya Allah terkabul jika kita membangun dan menjaga dengan baik tiga relasi dalam perkawinan: relasi suami-istri (relasi marital), relasi orang tua-anak (relasi parental), dan relasi keluarga dengan lingkungan sosial, masyarakat, bangsa, dan umat (relasi sosial).

Samara dalam Relasi Marital

Semua pasangan suami-istri berharap pasangannya menjadi qurrata a’yun atau permata hati dan penyejuk jiwanya. Jalan menuju ke sana sudah dijelaskan juga oleh Alquran yakni bersama mewujudkan keluarga sakinah yang dipenuhi mawaddah dan rahmah, sebagaimana disebut dalam ayat 21 Surat ar-Ruum/30.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Zawj (pasangan hidup) dalam ayat ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah, karena dengan zawj-nya suami dan istri akan mendapatkan ketentraman dan tempat berlabuhnya jiwa (sakinah). Modal untuk meraih sakinah juga sudah diberikan Allah, yakni mawaddah dan rahmah yang ditanamkan dalam hati kedua pasangan.

Banyak tafsir dari kata mawaddah wa rahmah. Yang paling populer adalah cinta dan kasih sayang. Jika dikaitkan dengan kata baynakum (di antara kalian) dalam ayat ini, mawaddah dan rahmah akan menjadi hubungan timbal-balik yang saling membahagiakan jika dimaknai seperti ini: Mawaddah adalah cinta yang ada dalam pernyataan “aku mencintaimu karena aku bahagia bersamamu”.

Sedangkan rahmah adalah kasih sayang yang terwujud dalam kalimat “aku menyayangimu karena aku ingin membuatmu bahagia”. Mawaddah adalah cinta kepada pasangan karena dorongan mendapatkan kebahagiaan dari pasangannya. Sementara rahmah adalah kasih kepada pasangan karena kemauan dirinya untuk membahagiakan pasangannya. Sungguh indah relasi marital pasutri yang mawaddah wa rahmahnya selalu berjalan seiring. Suami berbahagia dengan istrinya yang membahagiakannya. Istri pun demikian.

Relasi marital yang hanya berisi mawaddah tanpa rahmah akan menjadikan perkawinan di jurang bahaya. Misalnya, suami atas nama cinta selalu menuntut istrinya melayani dirinya, tak peduli apakah istri kelelahan atau tak mampu. Atau, atas nama cinta, suami bertindak posesif, overprotektif, dan pencemburu berat hingga membuat istri tersiksa.

Di sisi lain istri, karena dorongan ingin dibahagiakan suami, selalu menuntut suami di luar batas kemampuannya. Atas nama pengorbanan dalam cinta, suami pun menjadi korban tuntutan yang tak berujung. Mawaddah tanpa rahmah akan melahirkan cinta dominatif dan miskin empati.

Rahmah saja tanpa mawaddah juga bisa menjadikan kebahagiaan perkawinan bertepuk sebelah tangan. Misalnya, suami sudah berusaha maksimal membahagiakan istri, tapi istrinya tak pernah menganggap cukup usaha suaminya. Atau, istri sudah mengorbankan dirinya demi suami, tapi suami tidak menghargai hal itu. Demi keutuhan keluarga, salah satu pasangan mengalah meski merasakan ketidakadilan.

Rahmah tanpa mawaddah membuat sakinah yang sejati sulit tercapai. Dengan mawaddah wa rahmah yang ada dan terjaga secara seimbang di hati suami dan istri, Insya Allah, keluarga akan menjadi tempat yang memberi ketentraman dan kebahagiaan (sakinah). Saat itulah suami menjadi penyejuk jiwa penentram hati bagi istrinya (qurrata a’yun), dan istri pun demikian bagi suaminya.

Kesalehan Ortu dan Anak dalam Relasi Parental

Relasi ayah-ibu dan anak dalam keluarga sangat menentukan terkabulnya doa di atas. Di sini, keluarga Nabi Ibrahim patut menjadi acuan relasi parental yang ideal. Nabi Ibrahim adalah orang tua yang selalu berdoa untuk anaknya, menjadi contoh yang baik, mendidik anak dengan tempaan yang kuat, tapi penuh keyakinan kepada Allah, dan melibatkan anak dalam aktifitas orang tua hingga anak terbentuk jiwa, karakter, dan akhlaknya.

Hajar, sang ibu, juga pribadi luar biasa. Ketabahan dan pengorbanannya sangat heroik. Lebih dari itu cintanya kepada anak dalam satu garis dengan cinta kepada Allah, dan selalu satu visi dengan suami. Hasilnya, Ismail kecil pun sudah memiliki kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual yang sangat mengagumkan.

Ketika drama penyembelihan disampaikan sang ayah, Ismail menjawab dengan amat mengagumkan. “Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan {Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai orang yang sabar.” (QS. ash-Shaffat/37: 102). Subhanallah. Ismail kecil telah menjadi qurrata a’yun ayah dan ibunya! Ismail dewasa terlebih lagi. Ia menjadi nabi, mewujudkan doa sang ayah.

Relasi marital yang didasari iman, kesatuan visi, dan mawaddah wa rahmah akan menjadi modal penting bagi terbangunnya relasi parental yang baik. Orang tua yang saleh adalah akar yang kuat bagi terwujudnya anak yang saleh. Ketika anak bertumbuh dengan kesalehan, saat itulah ia menjadi qurrata a’yun kedua orang tuanya.

Kesatuan Visi dalam Relasi Sosial

Ayah, ibu, dan anak yang saling menjadi qurrata a’yun di dalam keluarga bukanlah ujung akhir cita ideal sebuah keluarga muslim. Sebuah keluarga diharapkan melahirkan manusia-manusia unggulan dan pilihan, yang sanggup mengajak, memengaruhi, dan mengarahkan lingkungan sosialnya, masyarakatnya, umatnya, dan bangsanya maju melesat menjadi pribadi yang unggul karena ketakwaannnya. Semua anggota keluarga menjadi imamam lil muttaqin (pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa).

Menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa tak harus menjadi imam masjid, pemimpin ormas Islam, kepala kantor, atau direktur perusahaan. Setiap penyebar kebaikan dan pelaku kebaikan yang berangkat dari ketakwaan, kemudian diikuti orang lain, adalah pemimpin orang-orang yang bertakwa. Apapun komunitas, profesi, dan pekerjaanya. Keluarga Nabi Ibrahim, lagi-lagi, patut menjadi role model keluarga pemimpin orang-orang yang bertakwa.

Ayah, ibu, dan anak, semua menjadi inspirasi dan teladan umat manusia sepanjang zaman. Keluarga Rasulullah saw. dan Khadijar ra. adalah juga pemimpin orang-orang yang bertakwa. Nabi dan Khadijah saling membahu dalam perjuangan hingga menjadikan dakwah Islam berhasil dan diikuti miliaran manusia hingga sekarang. Putri Nabi, Fatimah ra., adalah pemimpin yang menjadi teladan kesalehan seorang perempuan, kehebatan seorang ibu, kesetiaan seorang istri, dan kesederhanaan seorang putri Nabi yang juga kepala negara.

Kesatuan visi yang berangkat dari kesalehan dan ketakwaan adalah kunci sebuah keluarga menjadi imaman lil muttaqin. Dari situlah, mengalir pola asuh, pola didik, cara pandang terhadap kehidupan, dan pilihan-pilihan hidup.

Dari relasi marital yang sakinah, mawaddah wa rahmah, berlanjut ke relasi parental yang saling membahagiakan karena kesalehan, hingga berujung relasi sosial di mana suami-istri-anak menjadi tim yang sukses memimpin orang-orang yang bertakwa. Itulah tiga relasi dalam doa singkat yang selalu kita panjatkan. Sungguh bahagia sebuah keluarga dan sungguh beruntung sebuah masyarakat jika tiga relasi ini terjaga dengan sempurna. []

*) Artikel yang sama pernah dimuat di Majalah Noor

Badriyah Fayumi

Badriyah Fayumi

Ketua Alimat/Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID