• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Tradisi Berpuasa Bukan Hanya Milik Agama Islam

Tradisi berpuasa sebenarnya sudah ada sejak sebelum Islam datang. Dalam agama lain juga melaksanakan puasa meskipun memiliki tradisi dan aturan yang berbeda

Laily Nur Zakiya Laily Nur Zakiya
14/04/2023
in Featured, Publik
0
Tradisi Berpuasa

Tradisi Berpuasa

569
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan, ampunan, rahmat serta kasih sayang dari Allah Swt kepada umat-Nya. Oleh karena itu setiap umat Islam diwajibkan berpuasa pada bulan ramadhan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al Baqarah:183)

Dengan tradisi berpuasa seorang muslim berarti tengah membiasakan diri untuk menjalani ibadah yang dapat meningkatkan dan menyempurnakan ketakwaannya kepada Allah Swt. Juga sebagai sarana atau cara manusia dalam mengontrol, mengendalikan diri dari setiap hawa nafsu atau keinginan.

Puasa Ramadan tidak hanya bersifat vertikal (hablumminallah), tetapi juga horisontal (hablumminannas).  Tradisi berpuasa Ramadan mengajarkan umat muslim untuk meningkatkan solidaritas dan empati terhadap sesama. Selain itu juga dapat meningkatkan kepedulian sosial dan membantu mengurangi kesenjangan sosial antara individu dan kelompok.

Sementara itu, tradisi berpuasa sebenarnya sudah ada sejak sebelum Islam datang. Dalam Studies in Islamic History and Institutions (1968) menyebutkan sudah banyak orang Arab pra Islam yang menjalankan esensi menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu. Seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadikan puasa sebagai identitas mereka. Dalam agama lain juga melaksanakan puasa meskipun memiliki tradisi dan aturan yang berbeda.

Baca Juga:

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Noble Silence: Seni Menghormati Waktu Hening untuk Refleksi Keimanan

Budha

Sebagaimana agama Buddha yang menyebut puasa sebagai Uposatha. Waktu pelaksanaan puasa tergantung aliran Buddha yang umatnya ikuti. Akan tetapi mereka sama-sama mengikuti perhitungan kalender Buddhis. Di mana ketika puasa umat Buddha masih boleh untuk minum. Namun tidak boleh makan.

Ada delapan aturan selama berpuasa atau yang mereka sebut uposatha-sila. Antara lain tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan kegiatan seksual, tidak berbohong, tidak makan pada siang hari hingga dini hari. Selain itu tidak menonton hiburan atau memakai kosmetik, parfum, dan perhiasan.

Puasa lainnya oleh Budhis dilakukan pada tanggal 1 dan 15 berdasarkan kalender bulan dengan aturan puasa vegetaris. Atau tidak boleh mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk hewani, dan tidak mengkonsumsi bawang-bawangan.

Katolik

Dalam agama Katolik juga mengenal istilah berpantang dan berpuasa. Pelaksanaannya selama 40 hari, terhitung dari hari Rabu Abu hingga Jumat Agung dan wajib bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun. Saat berpuasa, mereka hanya diizinkan untuk makan kenyang sekali saja dalam sehari.

Sementara itu, berpantang wajib bagi mereka yang berusia 14 tahun ke atas. Dilakukan dengan cara menghindari diri dari melakukan hal-hal yang mereka sukai. Seperti makan daging, garam, atau merokok.

Menurutnya, berpuasa dan berpantang merupakan cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menyatukan pengorbanan umat Katolik dengan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib.

Hindu

Puasa atau Upawasa dalam agama Hindu bersifat wajib dan tidak wajib. Upawasa yang wajib misalnya Upawasa Siwa Ratri. Di mana umat Hindu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam. Lalu puasa Nyepi, yang mereka lakukan dengan cara tidak makan dan minum sejak fajar hingga fajar keesokan harinya.

Puasa lain yang bersifat wajib yakni puasa untuk menebus dosa yang mereka lakukan selama tiga hari, puasa tilem, dan purnama.

Yahudi

Puasa atau Ta’anit dalam agama Yahudi  terbagi menjadi dua. Yaitu pada hari besar, Yom Kippur dan Tisha B’Av, juga pada hari kecil, misalnya puasa Esther dan puasa Gedhalia.

Ketika puasa, umat Yahudi dilarang makan dan minum, berhubungan seks, mengenakan sepatu kulit. Juga terlarang menggosok gigi pada hari Yom Kippur dan hari Sabat. Jika puasa selain puasa Yom Kippur jatuh para hari Sabat, para Rabbi akan memutuskan hari pengganti untuk berpuasa.

Konghucu

Dalam kepercayaan Konghucu puasa ada dua jenis. Yakni puasa rohani dan jasmani. Puasa rohani mereka lakukan dengan menjaga diri dari hal-hal yang dianggap asusila. Sementara puasa jasmani mereka lakukan pada bulan Imlek. Sebagai sarana untuk mensucikan diri dan melatih diri. Baik itu menjaga perilaku, perkataan, dan agar diri kita terpenuhi cinta kasih.

Puasa mereka lakukan pada tanggal 8 bulan pertama Imlek dari pukul 05.30 hingga 22.00. Diawali dengan mandi keramas dan berakhir setelah sembahyang. Dilakukan dengan cara berpantang makan daging secara bertahap. Ada yang hanya sehari, dua hari, dan seterusnya hingga berpantang permanen.

Demikian puasa-puasa yang juga menjadi tradisi selain agama Islam. Di mana ternyata memiliki perbedaan tata cara dan aturan-aturan dengan puasa umat Islam saaat ini. Akan tetapi puasa yang mereka lakukan memiliki tujuan dan substansi yang sama. Yakni membentuk manusia yang bertakwa dengan menahan semua yang dapat merusak ibadah puasa.

Definisi menahan maksudnya bukan hanya menahan dari makan dan minum. Namun juga menahan dari perbuatan tidak baik seperti marah, benci, intoleransi, menghina, berbuat kekerasan dan sebagainya. Ini menandakan bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan empati, toleransi, dan mencintai perbedaan. []

Tags: agamaibadahpuasaramadanTradisi
Laily Nur Zakiya

Laily Nur Zakiya

Aktif di Komunitas Puan Menulis. Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang. Ig: @laa.zakiya

Terkait Posts

Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version