• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rujukan Ayat Quran

Tuntunan Qur’ani Agar Tidak Tersakiti Poligami (Bagian 1)

Ada berbagai kemungkinan terkait perdamaian antara suami dan istri pada kondisi dimana, sang suami sudah mulai berpaling dari istrinya dan membangkang dari komitmen bersama. Semua pilihan pasti sulit, dan masing-masing, biasanya akan bertahan dengan keinginannya masing-masing.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
06/06/2021
in Ayat Quran, Featured, Rekomendasi, Rujukan
0
Tuntunan

Tuntunan

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perempuan manapun, hatinya, pasti merasa sakit jika dipoligami. Namun, poligami adalah fakta dan nyata. Selama laki-laki masih terus merasa berkuasa, dan ada perempuan, yang karena berbagai faktor tertentu, mau menerimanya, maka poligami tak akan sirna. Suka, atau tidak suka, ia akan tetap ada di sekeliling kita.

Karena itu, agar tidak tersakiti akibat pernikahan poligami, mungkin perlu mendengar secara runut beberapa tuntunan Qur’ani. Tuntunan ini disebutkan tiga ayat al-Qur’an secara berturut-turut dalam surat an-Nisa (4: 128-130). Tiga ayat ini hampir jarang ada dalam kesadaran kita, umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.

Ketiga ayat ini adalah satu kesatuan, yang penting dirujuk, terutama pada kasus-kasus pernikahan poligami. Kita mulai dengan ayat yang pertama (QS. An-Nisa, 4: 128). Ayat ini berbicara tentang perasaan seorang perempuan terhadap suaminya yang sudah mulai oleng komitmenya.

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (النساء، 128).

“Jika ada seorang perempuan yang khawatir suaminya berbuat nusyuz (membangkang dari komitmen pernikahan) atau berpaling (darinya, kepada perempuan lain), maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk berdamai. Berdamai itu baik, sekalipun (bisa jadi sulit, karena) nafsu-nafsu diri itu cenderung kikir (egois, mementingkan diri sendiri). Jika kalian semua berbuat baik (kepada yang lain), dan bertakwa (menahan diri dari perbuatan buruk kepada yang lain), maka sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dengan segala apa yang kalian lakukan”. (QS. An-Nisa, 4: 128).

Baca Juga:

Merawat Fondasi Pernikahan dengan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

Mewujudkan Perjanjian yang Kokoh Dalam Pernikahan

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Apakah ada perempuan yang khawatir, atau takut, suaminya akan melepas komitmen pernikahannya dan berpaling kepada perempuan lain? Banyak.

Apakah ada laki-laki yang berpaling dari istrinya kepada perempuan lain dan berpikir melepaskan pernikahan sahnya demi perempuan tersebut? Banyak.

Nah, ayat ini berbicara tentang sepasang suami istri, dimana yang istri khawatir, karena sang suami sudah mulai berpaling kepada perempuan lain. Khawatir sang suami tidak lagi memiliki komitmen penuh, tidak mencintainya, atau bisa jadi malah melepaskan dan menceraikannya.

Jika ini terjadi pada sepasang suami istri, apa nasihat al-Qur’an?

“Maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk berdamai”, kata ayat tersebut.

Mengapa ayat ini menyebut “tidak ada dosa”, padahal “berdamai” adalah sesuatu yang baik?

Hal ini sebenarnya mirip dengan pernyataan motivasi kita kepada pasutri tersebut: “Ayolah, tidak ada salahnya toh untuk berdamai dulu?”

Mengapa kita bilang demikian? Karena biasanya, pasutri yang sudah pada kondisi tersebut, yang terpikir adalah berpisah daripada sakit hati jika terus dalam pernikahan yang salah satunya mulai oleng komitmennya.

Artinya, di hadapan perempuan tersebut ada dua opsi: bercerai karena sang suami sudah tidak lagi berkomitmen, atau berdamai dengan suami dan terus dalam pernikahan. Begitupun bagi seorang suami dalam posisi demikian, kemungkinan dua opsi tersebut juga sama: menceraikan istri yang tidak diinginkannya lagi dan memilih perempuan lain, atau berdamai kembali kepada sang istri.

Nah, al-Qur’an menyarankan: “Ayolah berdamai saja, tidak ada salahnya kok dengan mencoba berdamai”. Al-Qur’an tahu, pilihan beberapa perempuan adalah berpisah, jika mendapati suaminya berperangai demikian. Dan ini sah serta dibolehkan al-Qur’an, karena pernikahannya sudah melenceng dari tujuan awal untuk bisa memperoleh sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS. Ar-Rum, 30: 21).

Bolehkah perempuan berpisah dari pernikahan yang tidak lagi diinginkannya? Boleh dong, seperti kisah Habibah ra dan Barirah ra pada masa Nabi Saw . Tetapi, di samping pilihan berpisah yang tentu boleh, al-Qur’an juga menawarkan pilihan lain:

“Cobalah berdamai saja, tidak ada salahnya kok. Berdamai itu baik. Sekalipun, pasti masing-masing itu akan bertindak egois”, kata al-Qur’an. Pertanyaannya, apa yang dimaksud berdamai? Apa saja pilihan yang tersedia dalam perdamain ini?

Tentu saja, ada berbagai kemungkinan dan pilihan terkait perdamaian antara suami dan istri pada kondisi dimana, sang suami sudah mulai berpaling dari istrinya dan membangkang dari komitmen bersama. Semua pilihan pasti sulit, dan masing-masing, biasanya akan bertahan dengan keinginannya masing-masing. Inilah yang disebut “jiwa yang kikir” (wa uhdhirat al-ansfus asy-syuhh), atau tepatnya adalah egois: ia yang mementingkan diri sendiri.

Salah satu pilihan yang mungkin adalah: sang laki-laki mau kembali berkomitmen dengan istrinya, memutus relasinya dengan perempuan lain tersebut, meminta maaf pada istrinya. Tentu saja, ia harus menyadari bahwa istrinya akan merasa sakit akibat ulahnya, sulit menerimanya begitu saja. Ia juga harus memberi istrinya kesempatan untuk meluapkan emosinya. Sang suami sadar bahwa relasi mereka pada hari-hari ke depan akan sulit, tidak sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Dalam hal ini, laki-laki diminta tidak egois, mau memahami dan menyadari, sambil menemani istrinya pulih dari rasa sakitnya. Perempuan juga, tentu, diminta tidak egois. Jika ingin berdamai: melangkahlah dan terimalah. Laki-laki pasti sulit untuk melangkah menanggalkan egonya dan berbuat baik kepada istrinya. Perempuan, apalagi, yang merasa dikhianati, akan lebih sulit lagi melangkah, untuk menerima dirinya dikhianati, dan kembali menerima suaminya, yang sudah tidak seperti dulu lagi.

Bagi laki-laki pasti sulit, karena egonya kuat. Bagi perempuan pun pasti sulit karena egonya juga kuat. Jika masing-masing egonya dibiarkan menguasai diri, maka proses perdamaian tentu akan sulit. Di sinilah, al-Qur’an mengingatkan: wa uhdhirat al-ansfus asy-syuhh. Bahwa masing-masing pasti memikirkan egonya sendiri, sehingga perdamaian akan sulit.

Tetapi al-Qur’an membuka wawasan lain, bahwa jika keduanya mau, dan benar-benar memilih berdamai, maka tidak ada yang mustahil. Al-Qur’an, bahkan mendorong:

“Ayolah, berdamai itu baik, cobalah masing-masing mau berbuat baik kepada yang lain, lalu masing-masing juga menahan diri dari segala perbuatan yang akan merusak proses damai tersebut, Allah Swt pasti melihat, memahami, dan mendukung proses damai kalian berdua, sehingga berhasil”.

Ada tiga kata kunci di ayat ini yang ditawarkan al-Qur’an. Yaitu, shulh (damai), ihsan (berbuat baik), dan taqwa (menahan diri). Bahwa untuk berdamai itu masing-masing pihak harus ada kemauan dan komitmen untuk berbuat baik kepada pihak lain, dan menahan diri dari segala hal yang akan merusak proses damai tersebut. Bisa perkataan, perbuatan, bahkan sekedar sikap tertentu.

Jika ihsan dan taqwa ini dilakukan, oleh sami dan istri, Allah Swt akan melihat mereka terus menerus (khabiran) dan membantu mereka bisa sukses dalam proses perdamaian ini. Allah Swt akan membantu mereka kembali menjadi pasangan suami istri yang berkomitmen bersama, saling menghadirkan kehidupan yang penuh cinta kasih, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Seperti kata hadits qudsi, Allah akan membantu hamba-hamba-Nya yang saling membantu satu sama lain (wallhu fi ‘awn al-‘abdi ma dama al-‘abd fi awn akhihi, Sahih Muslim, no. hadits: 7028).

Ini salah satu opsi untuk berdamai, tanpa bercerai. Mereka kembali menjadi sepasang suami istri pada posisi awal, dimana sang istri tidak lagi khawatir atau takut, suami juga tidak lagi merusak komitmen dengan berpaling kepada perempuan lain. Keduanya, suami dan istri, terus menerus diminta al-Qur’an untuk saling berbuat baik satu sama lain (ihsan) dan saling menjaga diri (taqwa), berusaha terus dan waspada, serta tidak lupa berdoa kepada Allah Swt.

Opsi lain, di hadapan pasutri tersebut: adalah memberi kesempatan suami untuk menikahi perempuan tersebut. Alias poligami. Lalu, apa kata al-Qur’an tentang poligami ini? Kita baca ayat berikutnya (QS. An-Nisa, 4: 129). (Bersambung ke tulisan ini)

Tags: hukum keluarga IslamistriMonogamiNusyuzperceraianperkawinanpernikahanpoligamisuami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Menikah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

15 Juli 2025
Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Penindasan Palestina

    Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID