Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu –bahkan sampai saat ini– media sosial menyuguhi kita dengan pemberitaan-komentar-kritik kepada salah satu dai perempuan kondang: Ustadzah Oki Setiana Dewi. Pasalnya, cuplikan ceramah beliau beberapa tahun silam, kembali mencuat dan memicu kontroversi.
Disinyalir oleh banyak pihak, isi ceramah tersebut tidak ramah perempuan, menormalisasi KDRT terhadap perempuan serta melabel perempuan salihah ‘hanya’ mereka yang berhasil bersabar atas segala tindak tanduk suaminya. Termasuk pemukulan yang dilakukan ketika sedang marah.
Banyak website maupun media sosial yang melalui para content creatornya menayangkan ulang video ini disertai berbagai kritik. Sebagian cukup ramah dan sopan. Tak lebih sekedar untuk mengingatkan kealpaan. Namun, tak sedikit pula yang memberikan kritik pedas bahkan melakukan labelling negatif. Mulai dari misoginis, alumni patriarkhi, antek-antek normalisasi KDRT hingga sejumlah cacian buruk pun dilontarkan. Misalnya dengan mengatakan dai ini tidak berpendidikan dan sejumlah contoh lainnya.
Melihat fenomena ini, saya jadi teringat teori Mubadalah yang digagas oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir sejak beberapa tahun silam. Sesingkat pemahaman saya, teori ini menghendaki adanya hubungan resiprokal, timbal balik dan kesalingan antara dua pihak. Nah, contoh yang sering kali diberikan dan dijadikan kajian adalah relasi antara laki-laki dan perempuan. Namun, bukankah terlalu sempit jika teori seindah ini hanya dibuat terbatas pada satu relasi saja? Hemat saya, teori ini cukup makro untuk bisa mencakup relasi sesama manusia secara lebih umum atau bahkan antara manusia dengan alam.
Nah, sekarang kenapa tidak kita coba saja menerapkan teori mubadalah ini terhadap video dan diskusi atasnya yang belakangan ini viral? Melalui tulisan ini saya akan mengemukakan beberapa poin yang bisa kita jadikan pertimbangan agar kita bisa lebih resiprokal serta lebih ramah. Bukankah, hei? Kita adalah bangsa yang masyhur akan keguyuban, akur dan ramah meski kita memiliki tingkat kemajemukan yang tinggi. Berikut poin-poin tersebut:
- Mari kenal dulu, siapa Ustadzah Oki?
Terdapat tiga poin yang perlu kita cermati. Pertama, ceramah tersebut disampaikan beberapa tahun silam. Ketika mindset yang dimiliki bisa saja berbeda dengan sekarang (hal ini dikonfirmasi oleh Kiai Faqih melalui laman Facebook beliau). Lantas adilkah jika hal itu digunakan untuk menghakimi kondisi sekarang? Tentu saja tidak. Kedua, jangan sepakati bahwa beliau tidak berpendidikan! Mari kita cek wikipedia dan temukan deretan pengalaman pendidikan yang beliau tempuh. Kita tidak bisa menilai orang lain tidak berpendidikan hanya karena berbeda, bukan?
Poin ketiga, jangan lupakan bahwa kita adalah manusia. Kata manusia memiliki akar kata yang sama dengan nisyan (Arab: lupa; alpa). Jadi, mengapa tidak kita coba posisikan beliau beberapa tahun silam sedang alpa. Lalu, apakah konten ceramah itu mutlak benar dan beliau bebas kritik? Tentu saja tidak! Sangat menyakitkan jika salihah tidaknya seorang perempuan hanya dilihat dari rela-tidaknya dia dipukul. Tapi fokus kita harusnya adalah pada bagaimana menyampaikan kritik dengan santun, bukan?
- Poin ‘saling menutupi aib’
Setelah beberapa kali menonton video lengkap ceramah tersebut, saya justru menangkap poin yang berbeda. Beliau justru sedang fokus pada nasihat untuk saling menutup aib pasangan. Sebagaimana petunjuk ayat bahwa suami istri adalah saling menjadi pakaian. Walaupun, contoh yang diberikan tidak cocok dikategorikan sebagai aib yang perlu ditutupi.
Poin lainnya, dalam ceramah tersebut sangat mungkin beliau sedang sekedar memberikan contoh penerapan term ‘menjadi pakaian bagi pasangan’. Namun sayangnya, beliau bermubalaghah (melebih-lebihkan) hingga apa yang seharusnya romantis menjadi sesuatu yang menakutkan.
Lagi pula, prinsip dalam ceramah tersebut bukan untuk laki-laki yang seharusnya berpegang pada sabda Nabi saw.: “pukullah oleh kalian (perempuan yang bersalah). Tapi orang-orang pilihan di antara kalian tidak akan pernah memukul”. Dengan demikian, keseimbangan serta relasi yang resiprokal akan terjalin dengan mudah antara suami dan istri.
- KDRT-Lapor-Cerai. Siapa Korbannya?
Memukul bagaimanapun bentuknya serta dalam relasi apapun adalah tindak kekerasan. Namun bukan berarti Islam lepas sama sekali dari hal ini. Sebut saja, istri yang nusyuz atau ketika anak yang mencapai batas usia tertentu enggan salat maka dilegalkan untuk dipukul sebagai opsi terakhir mencapai islah (perdamaian). Namun, Islam memberikan batasan tegas sejauh mana memukul bisa dilakukan.
Dalam konteks keluarga, perlu kita melihat pertimbangan realitas sebagai tolak ukur pula. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga tak melulu menjadikan perempuan sebagai korban. Sesekali kita menemukan fakta suami justru sangat inferior terhadap istrinya. Kedua, KDRT sekalipun yang akhirnya mungkin akan berujung perceraian, bukankah lagi-lagi tetap akan memosisikan perempuan sebagai korban?
Tak sedikit stigma negatif dari lingkungan yang akan disandang perempuan yang menjadi korban KDRT dan perceraian. Hal ini pula yang menyebabkan banyak perempuan lebih memilih bertahan dan bersabar daripada bersuara lalu terlantar dan mendapat stigma negatif seumur hidup.
Mungkin perempuan idealnya tetap harus bersuara. Dan tentunya, bersuara tidak hanya satu cara: melapor. Jauh sebelum itu, komunikasi bisa dilakukan dengan pasangan agar rekonsiliasi terjadi. Namun jika opsi sebelumnya tidak berdampak positif, barulah pelaporan kepada pihak ‘luar’ bisa dilakukan sebagai bentuk pembelaan perempuan terhadap dirinya. Ide penanganan secara bertahap (tadrij) ini, sudah dipraktekkan oleh baginda Nabi semenjak 15 abad silam.
- Normalisasi KDRT atau Normalisasi Bullying?
Mari kita lihat ulang fenomena ini. Karena dikhawatirkan kritik yang dilontarkan sebagian pihak justru menjadi buah simalakama. Tujuan awalnya mungkin ingin mengubah mindset mayoritas perempuan bahwa KDRT itu normal. Namun jika disampaikan dengan cara yang kurang santun justru tanpa disadari menanamkan mindset bahwa normal membully orang yang sedang salah.
Bukankah lebih elok jika kita menegur dengan santun, tanpa labelling maupun mencela. Mari bersama ejawantahkan tagar #womensupportwomen yang beberapa waktu silam viral di jagat medsos. Ujung-ujungnya, tak lain agar kita bisa melestarikan budaya toleran bangsa ini, yang di dalamnya terdapat nilai kesantunan dalam berucap maupun bertindak. Allahu A’lam. []