“Cobalah bentar kawan, kan deposit 20 ribu juga sudah bisa. Entar kalau menang ambil aja uangnya dan ngga usah main lagi. Lumayan, kan. Kalau kalah, ya ngga papa. Kan, cuma dua puluh ribu. Atau kamu mau aku depositkan dulu?”
Mubadalah.id – Pliss, jika kamu bertemu teman seperti ini, mending kamu pergi dari circle itu. Meski kondisi kantongmu sedang terjepit sekalipun, jangan coba-coba menaruh harapan pada judi online.
Iya, saya tahu bahwa kamu hanya coba-coba. “Sekali aja, ngga papa kan? cuma dikit, kok” katamu dalam hati. Namun, perihal “cuma” ini yang kerap kali melalaikan. Ini bukan soal banyak atau sedikit, menang atau kalah. Namanya judi tetap haram, Bro. Pernah baca Surah Al-Maidah ayat 90, kan?
Baik miras, tuak, judi atau yang sekarang popular disebut slot adalah perbuatan keji yang dilarang oleh agama. Apa masih kurang dampak judi online yang kerap kali muncul di berita?
Fenomena Judi Online
Meningkatnya kasus judi online (judol) belakangan ini memang cukup miris dan dramatis. Bahkan data dari Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan bahwa perputaran transaksi judi online telah menyentuh angka 174 triliun. Itu semester I 2024. Ketika memasuki semester II angkanya sudah mencapai 283 triliun, kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana.
Meski pemerintah lewat Kominfo telah memblokir berbagai situ judol (Lihat Judi Online Bikin Warga RI Miskin, Kominfo Blokir 3,3 Juta Situs), akan tetapi industri judol pun tidak pernah kehabisan akal.
Situs bandar55 misalnya. Menurut Alvin (2022), situs judol ini juga menerapkan Integrated Marketing Communication (IMC) untuk mendapatkan pemain baru dan mempertahankan pemain lama. Strategi marketing yang lumrah dilakukan di perusahaan ini menekankan pada upaya direct marketing, personal selling, sales promotion, advertising, interactive marketing, dan word of mouth.
Menariknya, strategi IMC yang dilakukan di situs Bandar55 dan – mungkin – di situs judol lainnya ini menggunakan informasi palsu dan manipulatif. Tujuannya tidak lain untuk mengelabuhi para pemain judol supaya tetap bertahan dalam praktik ilegal ini.
Bahaya Judi Online
Di era digital, banyak hal semakin mudah dilakukan, termasuk judi. Tidak hanya menyasar orang yang berduit, orang yang nol duit pun kerap terjerumus dalam judi online. Lebih miris lagi, PPATK menyebut bahwa 11% pemain judol adalah remaja usia 10 hingga 20 tahun. Artinya dari 4 juta orang, 440.0000 pelaku judol adalah kalangan remaja.
Judi online memang sekilas terlihat begitu menggiurkan. Hanya dengan modal sedikit, setiap orang bisa melakukan deposit. Tentu dengan iming-iming gacor selangit. Ya, siapa sih yang ngga mau kaya mendadak. Memang sepertinya budaya instan perlahan-perlahan mulai menjadi karakter bangsa. Dan semoga asumsi saya ini salah.
Sebenarnya dampak nyata dari judol ini sudah sering masuk pemberitaan. Mulai dari anggota TNI yang bunuh diri, karyawan minimarket yang membawa kabur uang majikan, hingga polwan yang membakar suami yang kecanduan judol. Memang secara perlahan judol tidak hanya merusak moral. Namun juga merusak tatanan sosial, ekonomi, keluarga, hingga nyawa.
Judi Online dan Femisida
Lebih lanjut, dapatkah judi online juga menjadi pemicu aksi femisida? Setelah Komnas Perempuan menetapkan bahwa pinjaman online menjadi salah satu penyebab femisida, saya rasa judi online dalam tahap akut juga bisa demikian.
Orang yang sudah kecanduan judol tidak menutup kemungkinan akan melakukan berbagai hal, termasuk mengajukan pinjaman online. Akibatnya pelaku akan terjebak dalam lingkaran setan – gali lobang tutup lobang. Tekanan ekonomi yang demikian bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga orang terdekat di keluarganya.
Kasus yang terjadi di Sumedang (6/9/2024) misalnya. Seorang suami yang terlilit utang karena kecanduan judi online tega membunuh istrinya sendiri. Kasatreskrim Polres Sumedang, Uyun Saeful Uyun menjelaskan, pelaku merasa kesal karena istrinya tidak mau membayarkan utangnya. Sikap dominasi terhadap perempuan ini pun yang kemudian menutup hati nurani dan mengakibatkan femisida.
Aksi femisida atau pembunuhan terhadap perempuan belakangan ini memang menjadi perhatian khusus Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyebutkan bahwa pihaknya telah menerima aduan sebanyak 290 kasus femisida sepanjang tahun 2024. Belum kasus lain yang tidak dilaporkan.
Aksi femisida tidak sama dengan pembunuhan biasa. Sikap dominasi, superioritas, maupun misogini terhadap perempuan kerap kali melatarbelakangi aksi ini. Femisida merupakan titik puncak dari aksi kekerasan terhadap perempuan akibat budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.
Dalam lingkup rumah tangga, kecanduan judi online tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan KDRT. Sementara itu, eskalasi dari kekerasan terhadap perempuan ini pun dapat menggiring pada aksi yang lebih brutal, yakni femisida.
Cerdas Digital Cerdas Finansial
Melihat dampak yang begitu bahaya, sudah selayaknya kita bersama-sama memerangi judol. Di antara cara yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang literasi digital dan literasi finansial.
Literasi digital menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Hal ini mengingat bahwa sekarang kita tidak bisa lepas dari teknologi. Literasi digital mencakup empat pilar yang harus dikuasai, meliputi kecakapan digital, budaya digital, keamanan digital, dan etika digital.
Sementara itu, literasi finansial akan membantu setiap individu dalam mengelola keuangan. Pemahaman akan literasi finansial dapat membuat individu menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait masalah keuangan, termasuk judi online.
Harapannya, baik literasi digital maupun literasi finansial ini dapat membekali masyarakat supaya lebih waspada dan tidak mudah tergiur dengan janji manis judi online di ruang digital. Meskipun kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja, judi online bukanlah solusi. Tindakan ini akan menggiring kita menuju lingkaran setan yang tidak hanya dilarang oleh agama, tetapi juga merusak moral, mental, dan masa depan bangsa. []