Fiqh zakat sebagai salah satu konsep distribusi harta dalam Islam untuk tujuan keadilan sosial perlu dipastikan agar perempuan dan laki-laki, keduanya, menjadi subyek yang setara, bekerjasama dan saling tolong-menolong, dalam hal akses, kontral, serta pemanfaatan konsep tersebut.
Secara teori, zakat merupakan institusi keuangan dalam Islam yang diharapkan bisa berperan banyak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi ummat kontemporer, terutama yang berkaitan dengan ketimpangan kepemilikan sumber-sumber ekonomi.
Zakat sering diproyeksikan sebagai simbol ekonomi keadilan dan kerakyatan. Ia diyakini dapat menempatkan sumber-sumber ekonomi pada tempat yang semestinya, sehingga secara kreatif akan sanggup menumbuhkan daya produktifitas anggota masyarakat dalam mencari dan mengembangkan pendapatan mereka.
Pada waktu yang sama, ia dapat menjadi media ‘keamanan sosial’ yang dengan efektif bisa menenangkan hubungan antara yang berpendapatan lebih dengan yang kurang, sehingga tidak timbul gejolak sosial dalam suatu masyarakat. Dus, efek domino dari implementasi zakat yang komprehensif akan menyasar produksi, investasi, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan menyelesaikan kesenjangan ekonomi.
Untuk itu, perspektif mubadalah perlu masuk secara integral dalam 3 aspek perumusan aspek pembaruan fiqh zakat berikut ini:
1. Aspek Muzakki. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus didorong secara politik dan sosial agar menjadi orang-orang kaya yang mampu mengeluarkan zakat untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Perempuan harus dilibatkan dalam pelatihan dan pembukaan enterpreneurship yang menempa mereka menjadi orang-orang yang kelak menjadi muzakki.
2. Aspek Mustahiq. Perempuan harus dipastikan teridentifikasi dalam delapan ashnaf zakat yang menjadi mustahiq. Jangan sampai hanya masuk pada kategori fakir miskin, padahal banyak perempuan yang bisa masuk dalam kategori fi sabilillah, ibn sabil, gharim, dan riqab. Tentu saja, dengan pemaknaan baru dari semua ashnaf ini yang ditawarkan para ulama kontemporer, terutama Yusuf al-Qaradawi dan KH Masdar Farid Mas’udi. Terutama amil, atau pengelola zakat. Sampai saat ini, masih sedikit sekali lembaga-lembaga zakat yang secara sistematis memasukkan perempuan sebagai pengurus utama yang ikut mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam pengelolaan dana zakat.
3. Aspek kelembagaan dan manajemen. Perspektif perempuan harus masuk pada aspek ini untuk memastikan pengalaman hidup perempuan, baik sebagai muzakki maupun mustahiq, benar-benar muncul secara nyata menjadi pertimbangan dalam merumuskan seluruh lini kelembagaan dan manajemen zakat. Dalam mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan fakir miskin misalnya, jangan sampai hanya berangkat dari pengalaman laki-laki, atau cukup didefinisikan oleh laki-laki saja.
Sebagai langkah awal, misalnya, bisa dengan memastikan para perempuan terlibat dalam lembaga-lembaga amil zakat, baik yang pemerintah maupun swasta. Atau dengan mendirikan lembaga-lembaga amil sendiri, yang secara sadar menggunakan perspektif dari pengalaman-pengalaman dalam realitas kehidupan perempuan. Para pengurus lembaga ini tidak harus ekslusif yang berjenis kelamin perempuan, tetapi diusahakan yang memiliki perspektif pentingnya melakukan pemberdayaan perempuan.
Di sisi lain, secara faktual, juga sesungguhnya banyak perempuan, dan lembaga-lembaga, yang lebih memahami realitas kehidupan perempuan dan sudah bekerja secara profesional dalam hal pemberdayaan perempuan. Termasuk lembaga-lembaga yang menjadi pusat penanganan krisis dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka seharusnya dilibatkan secara aktif dan diberi akses untuk mengelola dana zakat, oleh pemerintah maupun komunitas.
*) Penjelasan lebih detail mengenai topik ini bisa ditemukan di Bab VI dari Buku “Qira’ah Mubadalah”.