• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

3 Aspek Pembaruan Fiqh Zakat yang Perlu Perspektif Perempuan

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
07/06/2019
in Featured, Personal
0
Aspek Pembaruan Fiqh Zakat

3 perspektif mubadalah penting untuk diintegrasikan dalam pembaruan fiqh zakat.

171
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Fiqh zakat sebagai salah satu konsep distribusi harta dalam Islam untuk tujuan keadilan sosial perlu dipastikan agar perempuan dan laki-laki, keduanya, menjadi subyek yang setara, bekerjasama dan saling tolong-menolong, dalam hal akses, kontral, serta pemanfaatan konsep tersebut.

Secara teori, zakat merupakan institusi keuangan dalam Islam yang diharapkan bisa berperan banyak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi ummat kontemporer, terutama yang berkaitan dengan ketimpangan kepemilikan sumber-sumber ekonomi.

Zakat sering diproyeksikan sebagai simbol ekonomi keadilan dan kerakyatan. Ia diyakini dapat menempatkan sumber-sumber ekonomi pada tempat yang semestinya, sehingga secara kreatif akan sanggup menumbuhkan daya produktifitas anggota masyarakat dalam mencari dan mengembangkan pendapatan mereka.

Pada waktu yang sama, ia dapat menjadi media ‘keamanan sosial’ yang dengan efektif bisa menenangkan hubungan antara yang berpendapatan lebih dengan yang kurang, sehingga tidak timbul gejolak sosial dalam suatu masyarakat. Dus, efek domino dari implementasi zakat yang komprehensif akan menyasar produksi, investasi, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan menyelesaikan kesenjangan ekonomi.

Untuk itu, perspektif mubadalah perlu masuk secara integral dalam 3 aspek perumusan aspek pembaruan fiqh zakat berikut ini:

Baca Juga:

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1. Aspek Muzakki. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus didorong secara politik dan sosial agar menjadi orang-orang kaya yang mampu mengeluarkan zakat untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Perempuan harus dilibatkan dalam pelatihan dan pembukaan enterpreneurship yang menempa mereka menjadi orang-orang yang kelak menjadi muzakki.

2. Aspek Mustahiq. Perempuan harus dipastikan teridentifikasi dalam delapan ashnaf zakat yang menjadi mustahiq. Jangan sampai hanya masuk pada kategori fakir miskin, padahal banyak perempuan yang bisa masuk dalam kategori fi sabilillah, ibn sabil, gharim, dan riqab. Tentu saja, dengan pemaknaan baru dari semua ashnaf ini yang ditawarkan para ulama kontemporer, terutama Yusuf al-Qaradawi dan KH Masdar Farid Mas’udi. Terutama amil, atau pengelola zakat. Sampai saat ini, masih sedikit sekali lembaga-lembaga zakat yang secara sistematis memasukkan perempuan sebagai pengurus utama yang ikut mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam pengelolaan dana zakat.

3. Aspek kelembagaan dan manajemen. Perspektif perempuan harus masuk pada aspek ini untuk memastikan pengalaman hidup perempuan, baik sebagai muzakki maupun mustahiq, benar-benar muncul secara nyata menjadi pertimbangan dalam merumuskan seluruh lini kelembagaan dan manajemen zakat. Dalam mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan fakir miskin misalnya, jangan sampai hanya berangkat dari pengalaman laki-laki, atau cukup didefinisikan oleh laki-laki saja.

Sebagai langkah awal, misalnya, bisa dengan memastikan para perempuan terlibat dalam lembaga-lembaga amil zakat, baik yang pemerintah maupun swasta. Atau dengan mendirikan lembaga-lembaga amil sendiri, yang secara sadar menggunakan perspektif dari pengalaman-pengalaman dalam realitas kehidupan perempuan. Para pengurus lembaga ini tidak harus ekslusif yang berjenis kelamin perempuan, tetapi diusahakan yang memiliki perspektif pentingnya melakukan pemberdayaan perempuan.

Di sisi lain, secara faktual, juga sesungguhnya banyak perempuan, dan lembaga-lembaga, yang lebih memahami realitas kehidupan perempuan dan sudah bekerja secara profesional dalam hal pemberdayaan perempuan. Termasuk lembaga-lembaga yang menjadi pusat penanganan krisis dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka seharusnya dilibatkan secara aktif dan diberi akses untuk mengelola dana zakat, oleh pemerintah maupun komunitas.

*) Penjelasan lebih detail mengenai topik ini bisa ditemukan di Bab VI dari Buku “Qira’ah Mubadalah”.

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID