• Login
  • Register
Selasa, 13 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

3 Tips Self  Healing untuk Pelabelan “Perawan Tua”

Budaya kita memang selalu menganggap  negatif  perawan tua, janda, dan seorang istri yang tidak bisa melahirkan anak (infertilitas). Ketiga kategori tersebut  menjadi stigma buruk yang mengakar bagi masyarakat bertradisi patriarki.

Aini Arfin Aini Arfin
05/07/2021
in Personal
0
Keadilan

Keadilan

525
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Cemoohan ataupun perkataan kasar dalam  hal  pelabelan “perawan tua” acap kali  menjadi tradisi. Lebih mirisnya lagi sikap saling menjatuhkan tersebut dilakukan oleh sesama perempuan. Hal seperti itu saya alami beberapa pekan lalu hanya karena saya memilih  melanjutkan  pendidikan. Kata-katanya  membuat saya menangis  seketika dan membuat perasaan menjadi carut mawut, bahkan dia yang mengatai saya telah menyandang  status sebagai seorang ibu dan istri.

Geram rasanya, ingin rasanya saya membalas dengan kata-kata yang sama menjatuhkan dia yang berstatus sebagai ibu. Tapi sudah lah. Kata-kata perawan tua beberapa saat memenuhi pikiran saya. Jika ditelisik lebih jauh, ketika perempuan saling menjatuhkan dengan sesama perempuan, ada perasaan terancam yang sedang dirasakannya. Cemoohan yang dilontarkan ataupun dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri, dan menunjukkan posisinya yang sekarang lebih bahagia.

Mari sedikit kita renungkan, menikah atau masih single sama-sama tidak ada yang salah. Menjadi seorang ibu mendapatkan keistimewaan surga sang anak, yang nanti akan menempatkannya di bawah telapak kaki sang ibu. Begitupun seseorang yang  memilih  melajang  juga tidak disalahkan, bukan tidak mungkin keterlambatannya untuk menikah di usia yang lazim menjadi patokan masyarakat, terlebih pada masyarakat pedesaaan, dikarenakan alasan tertentu dan keadaan yang memaksanya menjadi tulang punggung keluarga.

Stereotip lain masyarakat yang sering menghubungkan sold outnya seorang perempuan dikategorikan lebih cantik dibandingkan dengan perempuan lain yang belum menikah. Alhasil, perempuan yang tidak cantik menggantinya dengan kelebihan lain dengan pencapaian seperti: prestasi akademik, bakat-bakat, ataupun karir yang bagus.

Kendati demikian, tetap saja budaya kita memang selalu menganggap  negatif perawan tua, janda, dan seorang istri yang tidak bisa melahirkan anak (infertilitas). Ketiga kategori tersebut  menjadi stigma buruk yang mengakar bagi masyarakat bertradisi patriarki. Predikat yang dicemoohkan pada kita lebih baik jangan diambil pusing dari pada hanya diingat kemudian menimbulkan luka batin dan efek yang buruk bagi kita, maka mulailah dengan tiga tips self healing di bawah ini;

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

Pertama pilihan memaafkan dan menerima apa yang sudah terjadi. Lalu bagaimana cara memaafkan dan menerimanya? Perihal memaafkan juga disebutkan dalam Al-Quran surah Ali Imron 134. Ketika ada seseorang yang memancing kemarahanmu dan engkau memilih memaafkan (kesalahan) orang yang menyakitimu, dan engkau memilih  membalasnya dengan kebaikan, ia  akan mendapatkan surga seluas langit dan bumi. Begitu juga sahabat Ali bin Abi Thalib berkata “jadilah seperti bunga  yang tetap memberikan keharuman kepada tangan-tangan yang merusaknya.”

Kedua mencoba untuk lebih mencintai diri sendiri melepaskan prasangka dan ujaran orang lain. Hal ini menjadi landasan utama untuk  bisa mencintai diri sendiri sebelum berempati dengan orang lain. Kita harus mencoba menerima dan jujur dengan kekurangan diri, daripada  berusaha menjadi sempurna dan sejahtera berdasarkan standar dan kriteria masyarakat termasuk standar kecantikan.

Maka, jadilah cantik menurut  versi diri kita sendiri yang tidak memandang apapaun dari tampilan fisik.  Teori kesejateraan Psikologis Carol D. Ryff  yang saya temukan disebuah buku memberikan sebuah gagasan di mana setiap individu bisa dikatakan sejahtera jika memiliki beberapa hal  seperti:  menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi posistif  dengan sesama, mandiri, cerdas membaca lingkungan, dan mengembangkan jati diri.

Kriteria tersebut menjadikan perempuan berdiri secara independen. Perempuan yang  berproses di tengah keterbatasan dan tekanan budaya patriarki, memiliki jalannya masing-masing untuk mensejahterakan dirinya menjadi sempurna. Sebagaimana ketika kita bisa  menciptakan hal positif dan terlepas dari kekangan tradisi.

Ketiga merefleksikan kembali pengalaman yang menyakitkan menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Saya berupaya memikirkan pengalaman yang saya alami tadi, dengan ditemani tangisan  yang keluar membasahi pipi saya. Kemudian  memahami kesedihan yang saya rasakan. Ketika berusaha ingin  membalas, saya mencoba memikirkan tindakan itu jauh ke depan.

Tidak bedakah nanti jika saya melakukan hal yang sama. Saya mengambil keputusan untuk berencana  menuliskan dan berbagi pengalaman, toh hal ini sering sekali dialami oleh banyak perempuan di luar sana. Tindakan itu saya ambil untuk melakukan terapi terhadap diri sendiri, dan berharap siapapun yang pernah mengalami pengalaman serupa bisa tergugah untuk berjuang memberikan energi posisif pada setiap diri perempuan. Bukan hanya dalam bentuk tulisan tapi dengan tidak menganggap perempuan lain sebagai saingan atau saling menjatuhkan martabat dan kehormatannya sebagai perempuan. []

 

 

 

Tags: Budaya PatriarkiGenderJandakeadilanKekerasan Berbasis GenderKesalinganKesetaraanLajangperempuanStereotipe Genderstigma
Aini Arfin

Aini Arfin

sedang menyelesaikan  study di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, suka buku dan cemilan Berusaha bermanfaat dan membahagiakan orang lain

Terkait Posts

Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Membaca Kartini

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

10 Mei 2025
Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Merapi

    Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak
  • Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha
  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version