Mubadalah.id – Madilog merupakan akronim dari materialisme, dialektika, dan logika. Sebuah pemikiran salah satu pahlawan republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, yang ia tulis dalam sebuah buku pada kisaran tahun 1942-1943 M, atau tepatnya dua tahun sebelum Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melihat fakta sejarah di atas, maka perempuan harus baca buku tersebut.
Menurut Alm. Dr. Alfian (Peneliti Politik LIPI), Madilog merupakan magnum opus-nya Tan Malaka. Kenapa tidak? Dalam Madilog, seluruh intisari pemikirannya ia tuliskan dalam buku setebal 462 halaman tersebut. Madilog pun berbeda dengan karya-karya Tan Malaka yang lainnya yang biasanya membahas ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, dan sejarah. Dalam Madilog, ia lebih mengarah ke ilmu-ilmu mutlak (sains) melalui pendekatan filosofis.
Tujuan Tan Malaka menulis Madilog tidak lain ialah untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu pemikiran irasional nan mistik yang sejak saat itu tengah mendarah-daging dalam benak masyarakat pribumi. Menurutnya, sebelum melancarkan revolusi kemerdekaan melawan imperialisme, logi masyarakat harus dimerdekakan terlebih dahulu dari segala rupa ‘logika mistika’ seperti pesugihan, dukun, sesajen, mitologi, dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan tentang siapa Tan Malaka. Tentunya, berbicara mengenai sosok Tan Malaka tidak akan rampung jika ditulis dalam kolom yang hanya memuat 1000 kata. Dalam tulisan ini, saya hendak membatasinya dalam lingkup pemikirannya yang ia tulis dalam Madilog, serta hubungannya dengan keadilan dan kesetaraan gender.
Perempuan Harus Baca Buku Madilog!
Secara sekilas, judul tulisan ini memang terkesan seksis dan diskriminatif karena memunculkan kesan bahwa hanya perempuan harus baca buku Madilog. Namun, bukan berarti laki-laki juga tidak harus membacanya. Saya menulis kata ‘perempuan’ di judul tulisan ini karena, setuju atau tidak, hingga hari ini kaum perempuan lah yang selalu menjadi korban dari logika mistika seperti dimaksud Tan Malaka, khususnya di Indonesia.
Saya ambil contoh bahwa masih marak di masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa perempuan itu lemah, kodratnya ikut laki-laki, atau perempuan itu tugasnya 3M (macak-masak-manak). Lebih parah, pernyataan-pernyataan salah kaprah tersebut menjadi sebuah mitologi, bahkan dianggap sebagai takdir yang sifatnya mutlak, kodrati, tidak bisa diubah, karena turun langsung dari kahyangan, hingga menjadi suatu ‘norma’ yang tidak boleh dilanggar.
Berangkat dari kondisi tersebut, menurut saya, salah satu upaya supaya masyarakat (khususnya perempuan) untuk dapat mendobrak mitos yang menjadi stereotip tersebut adalah dengan perempuan harus baca buku Madilog Tan Malaka. Kenapa?
Pertama, dalam Madilog dijelaskan bahwa logika mistika merupakan ‘penyakit’ masyarakat yang tak kunjung sembuh dan harus dibumihanguskan. Seperti dijelaskan di atas, Madilog menjadikan logika sebagai suatu cara berpikir untuk memerdekakan seseorang dari pemikiran / mitologi yang tengah membelenggunya.
Contohnya terkait mitos bahwa perempuan itu harus kalem, pendiam, santun, dan sopan agar sesuai dan tidak menyalahi norma. Perempuan itu kodratnya di dapur, sumur, dan kasur. Sehingga, jika terdapat perempuan yang melakukan peran publik, maka ia harus tetap melakukan peran domestiknya. Ironis bukan? Hal itu lah yang kemudian ditentang Tan Malaka melalui Madilog.
Kedua, Tan Malaka juga menjelaskan mengenai istilah ‘dialektika’ (merupakan pengembangan pemikiran dari Friedrich Hegel dan dijembatani oleh L Feuerbach dan Karl Marx). Secara sederhana, dialektika adalah tesis-antitesis-sintesis, yang jika ditarik dalam konteks logika mistika tadi, maka mitos terkait peran domestik adalah tugas perempuan secara kodrati merupakan suatu ‘premis’ yang menjadi ‘tesis’ yang dengannya akan muncul antitesis sehingga mendapatkan suatu sintesis. Sehingga, mitos tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak, akan tetapi dapat berubah dan diubah, berdialektika.
Ketiga, Tan Malaka juga mengkritik keras pemikiran yang bersifat dogmatis, paksaan, dan pengekangan. Ia juga menegaskan bahwa kembali bahwa manusia merupakan ‘hewan yang berpikir’. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun (teolog dan sosiolog muslim), bahwa kecerdasan Homo Sapiens (manusia) berdasarkan logikanya.
Dengan begitu, pemikiran Tan Malaka sebenarnya telah mempelopori terkait kesetaraan (khususnya gender). Hal-hal yang bersifat memaksa dan mengekang, terlebih dogmatis, seperti pengekangan perempuan untuk bekerja, berkarir, berpolitik, dan lainnya, merupakan suatu kondisi dimana perempuan harus mendapatkan kemerdekaan dan hak yang sama sebagaimana laki-laki.
Keempat, dalam Bab terakhir Madilog, Tan Malaka menjelaskan terkait keteladanan Nabi Muhammad SAW. Ia membicarakan bagaimana biadabnya masyarakat Arab sebelum Islam, mulai dari perang antar suku, hingga kekerasan terhadap kaum perempuan. Sebagai seorang muslim, ia menyatakan bahwa Islam merupakan agama penerang kegelapan, bak intan yang tidak bisa dicampur oleh lumpur. Hal tersebut ia tulis dalam halaman 475 yang berbunyi:
“Dari kecil sudah mengenal susah melarat di tengah-tengah masyarakat saling sengketa dan gelap gulita itu dan dalam keadaan semacam itu bisa timbul paham perangai dan budi seperti Muhammad bin Abdullah. Tetapi memang intan itu bisa diselimuti, tetapi tak bisa dicampur leburkan oleh lumpur”.
Kelima, Madilog dapat menjadi salah satu jawaban untuk menyembuhkan kecacatan logika berpikir salah kaprah terhadap perempuan yang telah mengakar kuat di masyarakat. Dimana perempuan itu harus selalu membuntut terhadap laki-laki, karena jika ia mendahului atau mendominasi, maka perempuan tersebut dapat dipandang sebagai perempuan yang tidak beradab, tidak berbakti, hingga menyalahi kodratnya.
Kondisi tersebut merupakan gambaran bahwa logika-logika patriarkis masih marak, bahkan masih ada dan berlaku hingga saat ini di masyarakat. Berangkat dari logika salah kaprah tersebut, Madilog merupakan salah satu ‘solusi’ dalam bentuk pemikiran kritis-konstruktif sebagai suatu cara pandang baru terhadap dunia di sekitar kita untuk menciptakan kesetaraan, khususnya kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan.
Madilog Bukanlah Kitab Suci
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT Tuhan semesta alam. Begitu pula dengan Madilog Tan Malaka. Madilog bukanlah kitab suci, terlepas dari 5 alasan yang sudah saya paparkan tadi, Madilog, bagi saya memiliki beberapa kekeliruan. Pertama, terdapat premis yang ‘sesat’, dalam Madilog Tan Malaka mengaku ke-Esa-an Allah SWT tetapi meragukan sifatnya yang maha pengasih. Hal itu ia tulis dalam halaman 240 yang pada intinya bahwa tidak mungkin Allah SWT itu maha pengasih tetapi membiarkan mahluk-Nya masuk neraka.
Kedua, buku ini sangatlah ‘berat’ untuk dibaca serta sulit juga untuk dipahami secara maksimal oleh pembaca awam seperti saya. Dikhawatirkan jika pembaca dapat tergelincir menjadi atheis, sehingga saya sarankan jika setelah membaca buku ini, baiknya membaca karya lanjutannya yang berjudul “Islam dalam Madilog”.
Harapannya, dengan banyaknya perempuan yang membaca buku ini, sehingga dapat menjadi salah satu upaya dalam mendobrak logika mistika yang mengekang perempuan untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Spirit perjuangan kesetaraan dan keadilan gender tidak boleh berakhir seperti nasib dari buku ini. Jika buku ini dianggap berat dan sulit dipahami, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang ‘menyesatkan’ dan paham terlarang di negeri ini, maka nasib perjuangan keadilan dan kesetaraan gender tidak boleh demikian. []