Mubadalah.id – Islam merupakan agama yang telah banyak memberikan contoh bagaimana menempatkan laki-laki dan perempuan secara setara dan adil secara hakiki.
Sebagai Muslim, perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki Lima Rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji bagi yang mampu. Keduanya sama-sama diperintahkan untuk melakukan kebaikan dan dilarang melakukan keburukan.
Namun demikian, Islam juga memberikan perhatian khusus pada kondisi khas perempuan secara biologis. Misalnya perempuan digugurkan kewajiban shalatnya selama menstruasi tanpa harus menggantinya, dan digugurkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan dengan menggantinya di hari lain.
Perempuan juga diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan menggantinya di hari lain selama hamil atau menyusui.
Islam juga memberikan perhatian khusus pada realitas sosial perempuan. Misalnya, penegasan bahwa Allah tidak menyalahkan, bahkan mengampuni, seorang budak perempuan yang tidak punya daya untuk menolak dilacurkan padahal ia ingin menjaga kesuciannya (QS. an-Nuur, 24:33).
Kemudian, pertimbangan posisi lemah perempuan sebagai istri dalam kasus dhihaar. Sehingga laki-laki sebagai suami wajib membayar kafarat atau denda (QS. al-Mujaadilah, 58:3).
Lalu, kepastian adanya bagian waris untuk perempuan menyikapi tradisi monopoli waris oleh laki-laki (QS. an-Nisaa’, 4:11). Juga termasuk kepastian pengakuan terhadap nilai kesaksian perempuan yang sebelumnya teramputasi total oleh laki-laki (QS. al-Baqarah, 2:282 dan an-Nuur, 24:6-9).
Lima Prinsip Dasar
Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan mempunyai lima prinsip dasar:
Pertama, memandang proses turunnya al-Qur’an secara berangsur dan bertahap (tadriij) sebagai hidaayah (petunjuk) tentang pentingnya dialog antara nash agama dengan realitas kehidupan.
Sikap arif kita perlukan dalam merespons realitas kehidupan yang beragam ini dengan mempertimbangkan kesiapan masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
Penerapan ajaran Islam yang berstatus sebagai “Sasaran Antara” harus tetap kita sikapi sebagai sesuatu yang sementara sambil mempersiapkan kondisi yang memungkinkan tercapainya “Sasaran Akhir” ajaran Islam.
Kedua, mempertimbangkan pengalaman nyata perempuan sekaligus sebagai individu, umat Islam, warga negara Indonesia, dan warga dunia dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan.
Faktanya, selama lebih dari 1400 tahun sejak Rasulullah SAW wafat, telah terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan. Termasuk perubahan peran dan posisi perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Ketiga, menempatkan nilai-nilai keislaman secara tidak terlepas dari nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Ajaran Islam tidak boleh menjadi justifikasi atas tindakan tidak manusiawi dan perpecahan bangsa.
Keempat, memperhatikan perlunya membangun secara sekaligus kesalehan individual dan kesalehan sosial (struktural).
Kelima, memastikan metode apa pun yang digunakan dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan mesti memperhatikan kondisi khas perempuan. Baik secara biologis maupun sosial yang berbeda dari laki-laki. []