• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Upaya Lembaga Pendidikan Mencegah Ekstremisme

Pengarusutamaan toleransi juga dapat didesain dengan membangun ruang perjumpaan dan menjembatani dialog antar siswa.

Fina Nihayatul Fina Nihayatul
17/10/2020
in Pernak-pernik, Publik
0
238
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Selama 15 tahun terakhir, isu ekstremisme kekerasan telah banyak diperbincangkan mayarakat global. Dalam hal ini, dunia pendidikan tidak luput dari persoalan tersebut. Berbagai kajian dan studi mengenai ekstremisme dan kekerasan di sekolah telah banyak dilakukan, baik oleh akademisi maupun masyarakat sipil. Misalnya, survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017 menyebutkan bahwa pengaruh intoleransi dan radikalisme menjalar banyak sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia.

Survei tersebut juga menyebutkan bahwa kondisi keberagaman siswa dan mahasiswa dapat dikatakan sebagai kondisi “api dalam sekam”. Artinya kondisi ini menunjukkan bahwa ada potensi yang harus diwaspadai dari keberagaman tersebut.

Studi lainnya dari SETARA Institute terhadap siswa SMA di Jakarta dan Bandung menunjukkan bahwa 2,4% siswa telah masuk dalam kategori intoleran aktif atau radikal. Beberapa studi di atas menunjukkan bahwa intoleransi dan radikalisme semakin marak memasuki dunia sekolah. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat apabila tidak segera ditindaklanjuti, kondisi tersebut dapat berkembang menjadi lebih ekstrem dan mengarah ke terorisme.

Sebenarnya, fenomena terlibatnya siswa-siswi dalam tindakan ekstremisme terjadi karena beberapa faktor. Mulai dari kelabilan dalam berpikir, kurangnya daya kritis, temperamen dan emosi yang meluap, pencarian identitas religius, kebijakan sekolah, pengaruh guru, pengaruh komunitas, organisasi dan alumni, pengaruh dan tekanan peer group atau teman sebaya hingga internet sebagai eco chamber dalam proses radikalisasi.

Untuk itu, dalam rangka menangani permasalahan tersebut, institusi pendidikan sebagai tempat bernaung anak-anak muda, setelah keluarga dirumah, menjadi stakeholder penting yang memiliki otoritas dalam mengatasi permasalahan ini. Di samping itu, pada Februari 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan PVE (Preventing Violent Extremisem) sebagai agenda resmi mereka.

Baca Juga:

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Agenda ini mengedepankan cara-cara non militer (soft approaches) sebagai paradigma dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan ekstremisme kekerasan. Maka dari itu, lembaga pendidikan diharapkan menjalankan peran penting dalam mengawal pencegahan ekstremisme kekerasan.

Adapun peran tersebut diantaranya: Pertama, berkaitan dengan kebijakan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Maarif  Institute pada 2018, infiltrasi radikalisme di Sekolah masuk melalui tiga pintu, yaitu alumni, guru dan kebijakan kepala sekolah. Hal ini senada  dengan apa yang disampaikan Wahyu (narasumber dalam WGWC (Working Group on Women C/PVE) Talk 11: Mengapa siswa kita menjadi radikal).

Berdasarkan pengalaman Wahyu, menjelaskan bahwa kebijakan Kepala Sekolah dalam mengatur jam kegiatan seluruh ekstrakurikuler turut membatasi pergerakan dan intervensi alumni dalam organisasinya. Dengan kata lain, sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan yang dapat mengontrol forum-forum yang diikuti oleh organisasi sekolah, mengingat banyak forum informal yang tidak terkontrol oleh sekolah.

Kedua, peningkatan kapasitas guru sebagai pendidik yang memiliki waktu berinteraksi dengan siswa, dan guru menjadi salah satu kunci dalam pencegahan ekstremisme kekerasan. Dalam hal ini kita bisa merujuk pada Guru Agama dan Guru PPKN atau Budi pekerti. Peningkatan kapasitas ini berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran.

Misalnya, penggunaan dialog dalam kelas. Ketika kondisi begini guru bisa menjadi moderator yang menengahi dialog antara anak-anak yang berbeda pendapat di kelas. Selain itu, guru juga bisa mengembangkan counter narasi dengan memberikan ruang bagi siswa-siswi untuk membuat dan mencari pembanding atas narasi yang mereka percayai, bukan membatasi mereka dengan kata “nggak boleh” atau “jangan”. Hal ini dapat menjadi katalis bagi siswa untuk mengembangkan daya kritis mereka.

Ketiga, pengarusutamaan toleransi. Selain kebijakan, pengembangan model pembelajaran dengan pengarusutamaan toleransi penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, toleransi tidak hanya berarti toleransi antar siswa yang berbeda agama, melainkan juga suku, ras dan kepercayaan. Toleransi internal atau toleransi pada yang se-agama juga menjadi bahasan menarik.

Misalnya seperti yang dicontohkan Akhyar (Penanggap dalam WGWC Talk 11: Mengapa siswa kita menjadi radikal) bahwasanya dalam intervensinya di 8 Sekolah dan 3 Kota melalui program Rangkul bersama tim CONVEY, ia dan tim menemukan fakta menarik bahwa empati dan toleransi  internal baik guru maupun siswa tidak cukup baik dibandingkan toleransi eksternal (berbeda agama).

Pengarusutamaan toleransi juga dapat didesain dengan membangun ruang perjumpaan dan menjembatani dialog antar siswa. Kholisoh ((Penanggap dalam WGWCTalk 11: Mengapa siswa kita menjadi radikal) dari Wahid Foundation memberikan contoh dari pengalaman pendampingan projek Sekolah Damai bahwa Guru atau pihak Sekolah dapat membangun ruang perjumpaan dimulai dengan mendorong dua organisasi berbeda, misalnya Kerohanian Islam (Rohis) dengan Kerohanian Kristen (Rokris) untuk bekerjasama dalam suatu event.

Apabila pengarusutamaan toleransi dapat dilakukan, maka prinsip penyelenggaran pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asas imanusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa berdasarkan pasal 4 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 dapat terlaksana.

Tentunya beberapa tawaran peran di atas tidak akan mungkin optimal tanpa sinergi stakeholder terkait mengingat bahwa banyak faktor yang mendorong keterlibatan siswa-siswi dalam ekstremisme kekerasan. Untuk itu, membangun ekosistem sekolah bebas ekstremisme kekerasan tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah saja, melainkan juga bagi pemerintah, orang tua dan masyarakat sekitarnya. []

Tags: agamaekstremismekekerasankemanusiaanPerdamaiantoleransi
Fina Nihayatul

Fina Nihayatul

Terkait Posts

Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Islam Harus

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

3 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID