Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, saya dikirimi link berita oleh seorang teman. Isinya tentang perkawinan yang ketiga kalinya dari seorang tokoh Islam terkenal di Indonesia dengan seorang perempuan dari Pesantren tersohor. Perkawinan ini dilangsungkan pada 3 Januari 2021, sementara beliau bercerai dengan istrinya pada 16 Desember 2020. Artinya, ketika istrinya sedang menjalani ‘iddah yang sangat ketat, ehh kurang dari 1 bulan sang tokoh ini dengan kebebasannya menikah lagi dengan perempuan lain.
Masa ‘iddah yang sedang dijalani oleh istrinya, yakni kesempatan untuk rekonsiliasi (rujuk), dicederai oleh menikahnya sang suami secara sepihak. Sementara istrinya ber-‘iddah di rumah, dia bersuka ria dan bersenang-senang dengan perempuan lain. Sembari kirim berita, teman saya ini menyisipkan pertanyaan: adilkah? Teman saya juga bertanya: mengapa perempuan wajib ‘iddah, sementara laki-laki tidak wajib ‘iddah? Bisakah dalam pandangan hukum Islam laki-laki ber-‘iddah sebagaimana perempuan?
Mengapa Perlu ‘Iddah?
Kewajiban ‘iddah—masa tunggu pasca putusnya perkawinan—memang selama ini hanya ditimpakan pada istri (perempuan). Sementara suami (laki-laki) tidak tersentuh kewajiban ‘iddah sama sekali. Al-Qur’an menyebut secara rinci ketentuan masa ‘iddah ini. Apabila sang istri saat dicerai tidak hamil dan masih haid, masa ‘iddah-nya 3 qurû‘, yakni 3 kali haid/suci (QS. al-Baqarah: 228).
Akan tetapi, apabila sang istri menopause, ‘iddah-nya 3 bulan (QS. ath-Thalâq: 4). Apabila putus perkawinan karena suami wafat dan istri tidak sedang hamil, ‘iddah-nya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah: 233). Apabila istri sedang hamil, ‘iddah-nya hingga melahirkan (QS. ath-Thalâq: 4). Sedangkan apabila istri belum disetubuhi, maka tidak ada ‘iddah sama sekali (QS. al-Ahzâb: 49).
Apa alasan Syâri‘ (Allah SWT) mewajibkan perempuan ber-‘iddah? Banyak ulama menyebutkan alasannya adalah untuk mengetahui kebersihan rahim perempuan dari benih suami yang menceraikannya (li ma‘rifati barâ‘ati ar-rahmi). Hal ini tersirat pada definisi ‘iddah yang dirumuskan al-Khâṭib al-Syirbînî dalam kitabnya Mughnî al-Muhtâj, yakni nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
Alasan ini sepintas ma‘qûl (rasionable), karena ada ketentuan jika istri belum disetubuhi, maka tidak ada masa ‘iddah. Istri yang belum disetubuhi sudah pasti rahimnya bersih dan kosong dari benih suami yang menceraikannya, karenanya ‘iddah tidak diterapkan padanya.
Jika alasannya adalah untuk mengetahui kebersihan rahim, maka sebetulnya tidak perlu menunggu terlalu lama hingga 3 kali haid/suci atau 3 bulan atau 4 bulan 10 hari. Dalam waktu sekali haid saja sudah cukup bukti bahwa perempuan tersebut tidak hamil.
Artinya, perempuan itu sudah bersih dari benih suami yang menceraikannya. Sekali haid ini diafirmasi oleh ketentuan masa ‘iddah bagi perempuan yang langsung ditalak tiga atau khulu‘ (cerai atas inisiatif istri). Karena dengan mengalami haid berarti perempuan tersebut sudah dipastikan tidak hamil, yakni rahimnya bebas dari benih suami sebelumnya.
Bahkan dengan teknologi kandungan yang canggih dewasa ini, untuk mengetahui rahim berisi atau bersih dari benih seseorang cukup diselesaikan dalam hitungan jam melalui tes urine (test pack), USG, atau yang lainnya. Tidak perlu menunggu hingga 3 kali haid/suci atau 3 bulan atau 4 bulan 10 hari.
‘Iddah adalah Masa Rekonsiliasi
Oleh karena itu, saya memahami alasan ‘iddah ini bukan untuk mengetahui kebersihan rahim perempuan, melainkan untuk melakukan rekonsiliasi (rujû‘) dan stabilisasi mental. Selama masa ‘iddah, suami dan istri diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk melakukan rekonsiliasi (rujuk).
Dengan demikian, masa ‘iddah adalah masa refleksi, stabilisasi mental dan spiritual untuk menentukan betul-betul pisah atau kembali lagi (rujuk). Jika menentukan pisah sekalipun, maka suami atau istri telah mantap, stabil mentalnya, dan tegar spiritualnya untuk menentukan langkah dan sikap berikutnya.
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan muthallaqah (istri dicerai) yang tidak ber-‘iddah karena belum disetubuhi? Mengapa tidak diwajibkan rekonsiliasi?
Disepakati bahwa maksud utama nikah adalah agar suami dan istri bisa melampiaskan nafsu seksualnya (wathi‘, jimâ‘, bersetubuh) secara halal. Dengan demikian, apabila ada laki-laki dan perempuan telah menikah, tetapi belum bersetubuh sama sekali, lalu bercerai, maka sesungguhnya mereka identik dengan belum menikah.
Oleh karena itu, apabila suami dan istri bercerai sebelum bersetubuh, mayoritas ulama (jumhûr ‘ulama) menyatakan tidak ada kewajiban ‘iddah. Artinya, tidak perlu ada rekonsiliasi dan refleksi untuk masa tertentu, mau rujuk atau tetap cerai. Posisi mereka seperti orang yang belum menikah.
Akan tetapi, mazhab Hanafi berpendapat lain, menyatakan bahwa seorang istri yang ditalak sementara dia belum disetubuhi, baik ditalak hidup ataupun talak mati, tetap wajib menjalani masa ‘iddah selama tiga bulan. Artinya, tetap diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan kemungkinan rekonsiliasi dalam masa tiga bulan. Pendapat mazhab Hanafi ini memperkuat pendapat yang saya kemukakan terkait tujuan ‘iddah.
Nah, jika alasan ‘iddah ini adalah untuk melakukan rekonsiliasi, refleksi, serta stabilisasi mental dan spiritual untuk menentukan betul-betul cerai atau rujuk, bukan untuk mengetahui kekosongan rahim, maka hal ini tidak saja dibutuhkan oleh istri (perempuan), tetapi juga dibutuhkan oleh suami (laki-laki). Sebagaimana ajaran tasrîhun bi ihsân, agar tidak gegabah dan penuh dengan amarah, suami juga membutuhkan masa yang memadai untuk refleksi, menstabilkan mental dan spiritualnya dalam memutuskan betul-betul cerai atau rujuk kepada istrinya yang telah dijatuhkan talak.
Masa ‘iddah bagi suami sangat penting. Meski talak sudah dijatuhkan, tetapi suami harus diberi kesempatan untuk merevisi keputusannya melalui rekonsiliasi (rujuk) atau berefleksi kembali tentang kemaslahatan cerai dan kemaslahatan rujuk bagi dirinya, istrinya, dan anak-anaknya (jika sudah memiliki anak).
Sebab keputusan final cerai atau rujuk, termasuk keputusan menikah dengan perempuan lain pasca cerai, berdampak tidak saja pada kehidupan dirinya, melainkan juga pada anak-anaknya. Meski sudah bercerai, anak-anak tetaplah anak-anaknya. Tidak ada mantan anak.
Suami Harus ‘Iddah
Menggunakan kerangka mubâdalah-nya Faqihuddin Abdul Kodir, saya memahami ‘iddah ini adalah ajaran mubâdalah (reciprocity, timbal balik). Meskipun teksnya hanya ditujukan untuk perempuan (istri), tetapi oleh karena kemaslahatan ini dibutuhkan juga oleh laki-laki sebagai suami demi tercipta kemaslahatan bersama dan menolak kemafsadatan bersama, maka suami juga diwajibkan menjalani ‘iddah.
Atas nama kesetaraan dan keadilan (al-musâwah wa al-‘adâlah), masa ‘iddah yang harus dijalani oleh suami adalah sama dengan masa ‘iddah yang juga dijalani oleh istrinya.
Dengan menjalani masa ‘iddah bersama (suami dan istri), maka keputusan final, baik keputusan cerai ataupun rujuk, akan diambil dengan pertimbangan yang matang, mantap, dan dengan kesadaran yang mendalam. Bukan dengan amarah, sesaat, spontan, atau penuh dengan dendam karena ketidakcocokan yang mendahuluinya.
Pertimbangan matang ini pun sangat diperlukan untuk menentukan langkah berikutnya setelah cerai, apakah akan menikah lagi dengan orang lain atau akan menjalani hidup melajang, dan juga menentukan arah kehidupan anak-anaknya. Inilah makna, hikmah, dan rahasia ‘iddah yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maha Benar Allah Yang Maha Adil bagi makhluk-Nya laki-laki dan perempuan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []